Keadilan bagi Pembayar Pajak

Pajak tetap menjadi tulang punggung setiap pembiayaan dalam APBN. Pada 2008, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 566,2 triliun atau Rp 31,7 triliun di atas target. Jumlah itu sangat signifikan karena realisasi belanja APBNP 2008 sebesar Rp 985,3 triliun. Pada APBNP 2009, target penerimaan pajak dinaikkan menjadi Rp 726,3 triliun karena belanja membengkak menjadi Rp 1.003,07 triliun.

Betapapun, perkembangan terakhir mengenai realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir September 2009 menunjukkan kepesimisan. Pundi-pundi pajak baru terkumpul Rp 432,5 triliun atau 66,34 persen dari target. Padahal, akhir 2009 tinggal dua bulan.

Kepesimisan itu semakin tebal karena beruntunnya bencana gempa bumi seperti terjadi di Tasikmalaya 2 September 2009 (kekuatan 7,3 skala Richter) dan gempa 7,9 skala Richter Sumatera Barat 30 September 2009. Rusaknya infrastruktur mengakibatkan potensi penerimaan pajak dipastikan merosot.

Berbeda dengan Indonesia, Korea Selatan justru menurunkan kebijakan pendapatan pajak sejak awal tahun. Presiden Lee Myung Bak justru menyiapkan stimulus hingga USD 101,9 miliar pada tahun ini.

Pemerintah Singapura juga demikian. Menkeu Tharman Shanmu Garatman sudah menurunkan pajak properti, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Motivasinya jelas, dua negara sudah berkembang tersebut tidak menggunakan kebijakan ekstensifikasi pajak karena akan menjadi hambatan dalam investasi baru.

***

Ekstensifikasi pajak sebenarnya menyimpan kolom debat karena pelayanan publik oleh pemerintah kepada pembayar pajak masih minim. Singkatnya, dapat dipastikan bahwa kendatipun besar rasio pajak sampai dengan level ideal yang diharapkan, pelayanan publik ke arah lebih baik, tampaknya, tidak bisa dijamin pemerintah.

Sekarang ini rasio membayar pajak negeri ini sebesar 13,8 persen terhadap GDP. Negara benchmark sekawasan seperti Thailand disebut-sebut memiliki rasio pajak 17,28 persen GDP. Negara jiran Malaysia dikatakan 20,17 persen, bahkan negara Singapura memiliki rasio pajak hingga 22,24 persen.

Tega sekali pemerintah kita, karena jika warga negara menuntut kesejahteraan dan perbaikan pelayanan publik, pemerintah membalas balik dengan mengatakan pembayaran pajak masih kecil. Birokrat selalu berkilah, penduduk Singapura sejahtera karena membayar pajak lebih besar. Karena itu, jika penduduk Indonesia ingin sejahtera, rasio pajak mesti ditingkatkan seperti Singapura.

Pertanyaannya, benarkah besarnya rasio pajak memiliki korelasi dengan jaminan kesejahteraan para taxpayer-nya? Sekarang, mari kita melihat sedikit perbandingan antara berapa yang didapat warga Singapura dan Indonesia sehingga kita bisa mengatakan bahwa rasio pajak memang berkorelasi.

Soal pelayanan publik bidang transportasi, ruwetnya lalu lintas hingga sekarang tetap belum terpecahkan oleh pemerintah. Ironisnya untuk menyampaikan keluhan pelayanan itu, penduduk negeri ini harus membayar. Hal tersebut terjadi jika dampak kemacetan mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Warga Indonesia yang kali pertama tiba di Jakarta, misalnya, dijamin akan mudah tersesat. Informasi publik belum tersedia secara cukup di tempat-tempat umum. Sebaliknya, papan reklame dan iklan memenuhi jalan, trotoar, jembatan penyeberangan, hingga pepohonan.

Sementara itu, biaya untuk memperoleh sekolah yang layak bagi anak-anak kini tidak terjangkau. Hal tersebut betul-betul mengenaskan. Padahal, anggaran pendidikan nasional sudah dinaikkan sesuai dengan UU Sisdiknas menjadi 20 persen APBN sejak tahun ini.

Demikian halnya pelayanan kesehatan yang tetap menjadi barang mahal. Bahkan, pelayanan pemerintah terhadap korban gempa 7,9 skala Richter Sumatera Barat sampai sekarang masih belum bisa dipastikan. Pemerintah sama sekali tidak berdaya karena infrastruktur tidak memadai.

Di Singapura, penduduk negeri Singa itu membayar 22,24 persen rasio pajak terhadap GDP. Namun, pelayanan yang dinikmati penduduk Singapura jauh lebih baik seperti transportasi publik yang cepat, aman, dan nyaman.

Jalanan sangat mulus dan bebas macet kendati tidak dijaga polisi serta murah. Ongkos MRT di Singapura untuk sekali jalan menuju ke terminal berikutnya hanya SGD 1,2. Tarif itu menjadi jauh lebih murah jika pengguna MRT melakukan perjalanan sekaligus ke beberapa tujuan.

Pemerintah Singapura juga sangat concern memperbaiki pelayanan transportasi publik lainnya seperti busway yang selalu tepat waktu dan bersih. Halte busway penuh informasi dan rute yang dilalui sehingga pendatang baru pun tidak akan tersesat di Singapura. Tidak dijumpai pepohonan di Singapura penuh dengan paku dan papan iklan. Karena itu, populasi burung jalak bali mudah ditemui di trotoar jalanan Singapura. Di Indonesia, jika dijumpai, burung jenis itu tentu sudah menjadi barang buruan karena bisa dijual dengan mahal.

Trotoar untuk pejalan kaki sangat lapang, bersih, dan bebas PKL, tidak hanya jalan Orchad di jantung Singapura, namun hampir semua jalanan di negeri itu. Aliran listrik tidak pernah byarpet, aliran air tidak pernah mati, hal yang amat kontras dengan situasi pulau Batam. Jadi, rasanya tidak sangat mahal jika rasio pajak mencapai 22,24 persen GDP.

Pelayanan publik yang prima itu bisa terjadi karena dibiayai dari pajak. Sekarang menjadi tantangan pemerintah, akankah penduduk negeri ini mendapatkan jaminan pelayanan publik yang sama dengan penduduk Singapura jika rasio pajak sudah mencapai 22,24 persen? (*)

Effnu Subiyanto, alumnus MM UGM, pengamat sosial dan kebijakan publik

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan