Keadaan Darurat Korupsi

Perilaku korupsi di negeri ini telah menjalar ke seluruh lini kehidupan dan prosesnya berjalan secara sistematis serta terstruktur. Sehingga, tidak ada lagi ruang kekuasaan dan birokrasi yang tidak tercemar virus korupsi ini.

Karena itu, realita sosial tersebut layak kita sebut sebagai keadaan darurat korupsi. Sebab, seperti yang diberitakan banyak media, bantuan kemanusiaan untuk pengungsi di Poso saja dikorupsi.

Misalnya, alokasi dana untuk pengungsi korban tsunami Aceh serta Nias sedang dipertanyakan Tim Pemantau dan Rehabilitasi Aceh DPR karena ternyata hingga kini bantuan keuangan yang seharusnya sudah turun enam kali itu baru diturunkan sekali. Belum lagi korupsi besar lainnya.

Lebih dari itu, meski negeri ini telah berganti presiden, hingga saat ini ternyata belum ada yang mampu mengungkap kejahatan korupsi yang sangat membahayakan tersebut.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, tampaknya, masih tertatih-tatih dalam menangani kasus korupsi. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah masih sangat dangkal, belum menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Ibarat membunuh seekor ular, upaya pemberantasan korupsi baru mampu memukul ekornya. Begitulah, pemberantasan korupsi tersebut masih sangat parsial.

***
Mengapa demikian? Coba kita amati secara lebih detail, gerak pemberantasan korupsi itu ternyata baru mencapai titik awal kesadaran kognitif dengan aplikasi yang sangat relatif dan minim. Dengan pengertian, upaya pemberantasan korupsi tersebut belum maksimal.

Patut kita bertanya, mengapa pemerintah baru dan hanya terlihat serius menangani kasus korupsi yang baru dan nominalnya sangat kecil, sedangkan kasus lama yang nominalnya cukup besar tampak terlupakan? Atau, memang sengaja dilupakan seperti kasus BLBI, pembobolan bank BNI, serta pemberian bonus secara tidak wajar di PLN yang sangat berbelit-berbelit?

Memang, kalau mau jujur, saya pikir tidak ada satu instansi pun di negeri ini yang bersih dari noda hitam korupsi, setidaknya adalah korupsi waktu, penggunaan telepon, dan ucapan terima kasih dengan amplop atas pemberian proyek oleh seorang pejabat negara dalam sebuah instansi.

Bahkan, Presiden SBY pernah menegaskan bahwa pihaknya telah memperoleh data sejumlah korupsi di berbagai BUMN. Namun, hingga saat ini, presiden belum menyebutkan BUMN mana dan bagaimana penyelesaiannya.

Hal tersebut terjadi karena para pejabat negara, dalam hal ini presiden beserta seluruh jajarannya, belum menganggap fenomena korupsi sebagai keadaan darurat.

Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie lebih sibuk mendesak agar Menteri Negara BUMN Sugiharto memprivatisasi BUMN, meski akhirnya menampik dan setuju untuk tidak menjual saham BUMN karena harganya masih rendah daripada melakukan revitalisasi perekonomian nasional kita.

Untungnya ada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang secara tegas menentang upaya penjualan saham atau privatisasi aset BUMN itu sekadar untuk mengejar setoran APBN dan mendapatkan pinjaman USD 250 juta dari Bank Pembangunan Asia (ADB).

Dalam hal ini, perlu saya tegaskan, privatisasi itu secara substansial merupakan jelmaan lain dari proses kolonialisasi pada abad modern kini dan secara lebih substantif bisa didefinisikan sebagai pelanggaran konstitusi pasal 33 UUD 1945. Sebab, privatisasi tidak akan menguntungkan rakyat. Lihat saja saham pemerintah di Indosat yang hanya tinggal 14 persen.

Ironis bukan? Padahal, untuk mengejar setoran APBN, pemerintah bisa merevitalisasi perekonomian nasional, menangani pemberantasan korupsi secara sungguh-sungguh dan tegas.

Dengan demikian, sejumlah uang negara yang dikorupsi dalam jumlah besar itu dikembalikan -dan memang demikian idealnya. Misalnya, kasus BLBI, pembobolan Bank BNI, bonus atau tantiem PLN yang sedang merugi, termasuk korupsi di KPU.

Bahkan, menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) Uty Murphy Hutagalung, pungutan liar setiap tahun di seluruh Indonesia mencapai Rp 11 triliun. Itu jumlah yang sangat besar, tetapi hingga kini tidak pernah diberdayakan secara sungguh-sungguh.

***
Harus kita akui, pemberantasan korupsi di Indonesia -umumnya di kawasan Asia- seperti yang ditengarai Syed Hussein Alatas memiliki hambatan. Namun, betapa pun berat dan besarnya hambatan tersebut, tidak ada sesuatu yang tidak bisa diatasi jika ada keinginan kuat untuk mengatasinya.

Juga, berbagai kasus korupsi di negeri ini. Dalam hal ini, jika aparat penegak hukum serius menangani, tidak ada yang tidak bisa karena pemerintah sebenarnya memiliki instrumen untuk menangani kasus-kasus seperti itu.

Persoalannya, apakah pemerintah betul-betul serius memberantas perilaku korupsi atau semata untuk membangun opini publik dengan kebijakan politik populis guna mempertahankan kekuasaannya atau tidak?

* Mohammad Yasin Kara, anggota Komisi II DPR RI

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 29 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan