Ke Depan Harus Lebih Garang
Orang yang cuma berpikir untuk kepentingan perutnya, maka harga dirinya serupa dengan apa yang keluar dari isi perutnya.
(Ali bin Abu Thalib)
Kalimat di atas seharusnya dipahami dan diresapi dengan sungguh-sungguh, terutama oleh para koruptor yang memang masih mempunyai harga diri untuk segera bertobat dan menyerahkan harta milik negara yang mereka korupsi.
Korupsi merupakan penyakit ganas yang menggerogoti bangsa ini. Korupsi terjadi dimana-mana dan tidak mengenal strata atau status sosial, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Ironisnya, instansi-instansi yang seharusnya menjadi pintu untuk mencegah terjadinya korupsi justru terlibat dan melibatkan diri dalam praktik korupsi. Instansi-instansi tersebut ialah Departemen Agama dan instansi pendidikan (sekolah, diknas, dan depdiknas). Di Departemen Agama, hal itu terbukti dengan mantan Menteri Agama Said Agil Al-Munawar yang dipenjara, sedangkan di instansi pendidikan terdapat dugaan penyelewengan dana BOS (bantun operasional sekolah) serta pungutan-pungutan di luar ketentuan yang terjadi di sekolah-sekolah.
Saling Mendukung
Seorang pakar hukum bernama Lawrence M. Friedman mengemukakan teori legal system-nya yang terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu substansi (berupa perundang-undangan), struktur (aparat penegak hukum), dan budaya hukum (dukungan oleh masyarakat).
Menurut Friedman, tiga komponen tersebut harus saling mendukung satu sama lain. Dengan kata lain, sekalipun struktur hukum (aparat penegak hukum) baik, apabila tidak didukung dengan komponen-komponen yang lain, yaitu substansi dan budaya hukumnya, upaya penegakan hukum tidak lebih dari sekadar blueprint atau design saja. (Aspandi, 2002)
Agar hukum tidak dapat direkayasa, disimpangi, atau diplintir oleh aparat penegak hukum maupun pencari keadilan sendiri, menurut E.Y. Kanter, rumusan hukum harus jelas, tegas, sempit, dan ketat.
Dengan kata lain, rumusan itu tidak kabur. Sebab, rumusan hukum yang kabur tidak akan dapat mendidik warga negaranya, tetapi justru membingungkan dan memberi peluang kepada para profesional hukum untuk menafsirkan sesuai dengan selera dan pandangan subjektifnya. (Aspandi, 2002)
Artinya, KPK yang bekerja sekeras apa pun, jika tidak dibarengi oleh peraturan-peraturan yang baik sehingga tidak menimbulkan celah hukum bagi koruptor untuk menyerang balik dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat untuk memberantas korupsi, rumusan tersebut akan percuma.
Baru-baru ini, DPR berniat baik dengan memasukkan usul agar anggota militer aktif yang korupsi dapat diperiksa oleh KPK dan dimasukkan dalam pembahasan UU Peradilan Militer.
Hal itu tergantung sikap masyarakat Indonesia dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Seharusnya, adagium yang berkembang di masyarakat, yaitu tidak apa-apa gajinya kecil, tetapi