Kasus Soeripto Masuk Kejati
Berkas penyidikan kasus mark up dana pembelian dua helikopter senilai Rp 93 miliar dengan tersangka mantan Sekjen Dephutbun Soeripto, sudah dinyatakan P-21 (lengkap). Berkas ini telah dilimpahkan oleh Direktorat Kejahatan Korupsi Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Tinggi DKI.
Berkas kasus Soeripto diserahkan penyidik Polda Metro Jaya sekitar dua pekan lalu, kata Kepala Kejati DKI Rusdi Taher di sela rapat kerja (raker) jajaran Kejagung dengan Komisi III DPR di gedung MPR/DPR Jakarta kemarin.
Kasus markup pembelian heli itu sebetulnya disidik Polda Metro Jaya sejak 2002. Penyidik menetapkan Soeripto yang saat ini menjadi anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) itu sebagai tersangka. Selain itu, dua rekanan Dephutbun di masa Menhutbun Nurmahmudi Ismail juga ditetapkan sebagai tersangka. Saat itu, Soeripto sempat mendekam di sel Polda Metro Jaya, namun kemudian ditangguhkan.
Ketika ditanya tentang intervensi politik menyangkut pengungkapan kembali kasus Soeripto ini, Rusdi dengan tegas membantah. Nggak ada yang politis-politis. Kita menganggap dia sama dengan yang lain di muka hukum, jelas Rusdi. Yang pasti, mantan Kajati Bengkulu itu sudah melaporkan perkembangan kasus tersebut ke jaksa agung.
Rusdi menceritakan, penyidik menetapkan tersangka Soeripto karena audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) mengindikasikan kerugian negara di balik pembelian dua heli milik Dephutbun. Pengadaan tender dua heli diduga tanpa prosedur lelang, tetapi melalui penunjukan langsung. Itu jelas melanggar Keppres No 80/2002.
Dari hasil perbandingan harga heli dengan spesifikasi yang sama, ternyata ada selisih harga lebih, jelas Rusdi. Menurut dia, Soeripto menganggarkan pembelian dua heli Rp 93 miliar. Padahal, harga di pasar Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per unit.
Selain itu, lanjut Rusdi, penyidik punya alat bukti kuat dana pembelian itu bertentangan dengan peruntukannya. Ini karena Dephutbun kala itu mengalokasikan dana reboisasi (DR) untuk anggaran tersebut. Padahal, anggaran DR tidak boleh digunakan di luar kepentingan kehutanan seperti konservasi dan reboisasi. Ada kesalahan prosedur di balik dana yang dianggarkan untuk membeli heli tersebut, jelas jaksa senior kelahiran Makassar itu.
Apakah Kejati DKI akan menahan Soeripto? Rusdi menegaskan belum karena penanganannya masih berada di bawah kewenangan penyidik Polda Metro Jaya. Nggak tahu nanti kalau kasusnya sudah di tangan kejaksaan. Kita tunggu saja berkasnya dinyatakan P-21, jelas Rusdi. Yang jelas, untuk memanggil Rusdi, kejaksaan perlu izin presiden karena statusnya sebagai anggota DPR.
Sementara itu, Soeripto mengaku belum tahu perkembangan terbaru seputar kasus korupsinya, termasuk statusnya yang masih tersangka dan pelimpahan berkas ke Kejati DKI. Saya juga belum tahu adanya permohonan izin pemeriksaan kepada presiden, kata Soeripto yang dijagokan sebagai calon jaksa agung oleh beberapa kader PKS itu.
Masiga Bugis, pengacara Soeripto, pernah menyatakan, berdasar audit BPKP 2001, terungkap tidak ada mark up seperti yang disangkakan. Pembelian dua unit heli itu sesuai dengan prosedur. Audit tersebut dilakukan tidak lama setelah salah satu di antara helikopter itu jatuh. BPKP lantas merekomendasikan agar segera dilakukan penggantian helikopter, jelasnya.
Menurut dia, penanganan kasus Soeripto kala itu merupakan tindakan prematur yang tidak memenuhi persyaratan yuridis. Bukti permulaan juga tidak menunjukkan adanya perbuatan memperkaya diri sendiri dan penyalahgunaan wewenang. Bisa jadi penetepan Soeripto kala itu terkait aktivitas kritisnya di dunia intelijen terkait kasus bom Bali I Oktober 2002 silam. (agm/mon)
Sumber: Jawa Pos, 29 November 2005