Kasus Sisminbakum; Jaksa Periksa Yusril Ihza Pekan Depan

Kejaksaan Agung sudah melayangkan surat panggilan kepada mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra untuk diperiksa sebagai saksi terkait dugaan korupsi dalam Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum. Yusril diperiksa Selasa mendatang.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) M Jasman Panjaitan, Rabu (12/11) di Jakarta, membenarkan adanya pemanggilan itu. Namun, ia menolak menjelaskan keterangan yang dibutuhkan dari Yusril.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy juga menyatakan, kesaksian Yusril dalam perkara itu cukup penting. ”Apalagi, orang-orang yang diperiksa menyebut namanya,” katanya.

Dugaan korupsi Sisminbakum itu mengakibatkan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM Syamsuddin Manan Sinaga serta dua mantan dirjen AHU Romli Atmasasmita dan Zulkarnaen Yunus ditahan Kejagung. Romli menilai ada skenario untuk menahannya (Kompas, 11-12/11).

Pada Rabu jaksa kembali memeriksa Hartono Tanoesoedibjo, wakil pemegang saham PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), pelaksana Sisminbakum. Hartono juga diperiksa Selasa lalu.

Jaksa juga meneliti Perjanjian Kerja Sama tanggal 25 Juli 2001, yang ditandatangani Dirjen AHU Romli Atmasasmita dengan Ketua Umum Koperasi Pengayoman Pegawai Depkeh Kehakiman dan HAM (KPPDK) Ali Amran Djanah. Perjanjian itu memuat kesepakatan, dari akses fee yang diterima KPPDK, Ditjen AHU memperoleh 60 persen dan KPPDK memperoleh 40 persen.

Selain Yusril, jaksa Satuan Khusus Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Kejagung juga memanggil seorang perempuan sebagai saksi kasus korupsi Sisminbakum pada Senin depan. Saat Sisminbakum mulai diberlakukan, suami perempuan itu disebutkan menduduki jabatan penting di Depkeh dan HAM.

Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa menyatakan tak tahu-menahu rencana penangguhan penahanan Romli. Ia juga tak tahu, apakah Romli atau penasihat hukumnya mengirimkan surat permohonan penangguhan penahanan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tak sepeser pun

Dalam penjelasan tertulisnya, Rabu, Romli menegaskan tak pernah menuding Yusril terkait kasus Sisminbakum itu. Namun, Sisminbakum adalah hak, wewenang, dan keputusan Menteri Hukum dan HAM saat itu.

Romli juga mengatakan, ia dan keluarganya tidak menerima sepeser uang pun dari pengelolaan Sisminbakum. Ia juga tidak menerima uang Rp 10 juta per bulan yang disebut-sebut berasal dari PT SRD. ”Silakan Kejagung kalau mau memeriksa rekening saya,” katanya, melalui penasihat hukumnya, Juniver Girsang, Selasa malam kepada Kompas.

Menurut Romli, ia sudah melaporkan kekayaannya sebagai penyelenggara negara kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) sebagaimana dicantumkan pada Tambahan Berita Negara tahun 2002 dan 2005.

”Tuduhan saya dan keluarga di belakang PT SRD juga tak benar sama sekali,” ujarnya. Ia juga menyatakan tidak bersalah dalam hal penunjukan KPPDK dan PT SRD, termasuk penentuan akses fee dalam Sisminbinkum.

Marwan mengakui, Sisminbakum memang tak menggunakan uang negara. ”Tetapi, jangan lupa, ini memungut dari masyarakat. Pungutan dilarang, apa pun dalihnya,” ujar dia.

Marthen Pongrekun, penasihat hukum Hartono, juga menyatakan, Sisminbakum tak memakai uang negara. (idr/har/mam)

Sumber: Kompas, 13 November 2008

-------------

Dugaan Terlibat Korupsi Sisminbakum, Kejagung Panggil Yusril Ihza Mahendra

 

Yusril Ihza Mahendra kembali berurusan dengan penegak hukum. Mantan menteri kehakiman dan hak asasi manusia itu disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi akses fee Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkum HAM yang merugikan negara Rp 400 miliar.

Selasa (18/11) pekan depan Yusril dijadwalkan menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung. "Pemanggilan tersebut disebabkan nama Yusril disebut-sebut oleh tiga tersangka dan saksi-saksi," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy di Kejagung kemarin (12/11).

Marwan menjelaskan, Yusril akan dimintai klarifikasi terkait kebijakan Sisminbakum yang dibuat saat dirinya menjabat Menkeh dan HAM. Misalnya, terkait SK Menkeh dan HAM Tahun 2000 tentang Pemberlakuan Sisminbakum di Ditjen Adminsitrasi Hukum Umum (AHU) Depkum HAM.

Meski demikian, Kejagung belum melihat adanya keterlibatan mantan Mensesneg itu dalam kasus tersebut. "Kalau ada indikasi keterlibatan, hukum ya hukum," tegas mantan Kapusdiklat Kejagung itu. Hingga saat ini Kejagung baru melihat penyalahgunaan berada di level pelaksanaan kebijakan.

Selain SK tersebut, ada dua surat lagi yang diteken Yusril. Yakni, SK Menkeh dan HAM selaku pembina utama Koperasi Pengayoman tertanggal 10 Oktober 2000 tentang Penunjukan Pengelola dan Pelaksana Sisminbakum, yakni Koperasi Pengayoman dan PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD). Juga surat perjanjian kerja sama antara Koperasi Pengayoman dan PT SRD tertanggal 8 November 2000 tentang penerapan tarif akses fee. Surat yang terakhir diketahui dan ditandatangani Yusril selaku pembina utama Koperasi Pengayoman.

Selain memeriksa Yusril, tim penyidik Kejagung menjadwalkan pemeriksaan terhadap istri mantan pejabat di Depkum HAM. Hal itu terkait dugaan adanya aliran dana yang dinikmati keluarga pejabat. Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan membenarkan adanya rencana tersebut. "Nanti saja lihat hari Senin (17/11)," kilahnya soal identitas istri pejabat itu.

Sebelumnya, Yusril telah menyatakan kesiapannya memberikan keterangan kepada tim penyidik Kejagung. Namun, dia menolak jika kebijakan Sisminbakum dinilai sebagai kebijakan yang salah. "Buktikan saja. Tapi, kegiatan itu tidak menggunakan APBN," tegasnya.

Dalam kasus dugaan korupsi akses fee Sisminbakum, Kejagung telah menetapkan tiga tersangka. Yaitu, Dirjen AHU nonaktif Syamsudin Manan Sinaga serta dua mantan Dirjen AHU, Zulkarnain Yunus dan Romli Atmasasmita. Syamsudin ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejari Jakarta Selatan dan Romli ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung. Sementara Zulkarnain masih mendekam di Lapas Cipinang terkait kasus pengadaan alat identifikasi sidik jari otomatis 2004.

Kebijakan Sisminbakum berlaku sejak 2001 hingga saat ini. Hasil biaya akses fee yang seharusnya disetor ke rekening kas negara ternyata seluruhnya masuk ke rekening PT SRD, provider penyedia jasa teknologi informasi.

Dalam perjanjian kerja sama, 90 persen dari total akses fee menjadi bagian PT SRD, sedangkan 10 persen sisanya diserahkan Koperasi Karyawan Pengayoman. Dari porsi 10 persen itu, 40 persen diterima Koperasi Penayoman dan 60 persen dibagi-bagikan ke beberapa pejabat di lingkungan ditjen AHU. Di antaranya Dirjen AHU Rp 10 juta per bulan, Sesditjen AHU Rp 5 juta per bulan, direktur Rp 2 juta per bulan, dan kepala subdirektorat Rp 1,5 juta per bulan. (fal/kim)

 

Sumber: Jawa Pos, 13 November 2008

 

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan