Kasus Sisminbakum; Hartono Mendengar Pembagian 90:10

Mantan komisaris PT Sarana Rekatama Dinamika, Hartono Tanoesoedibjo, kembali hadir di persidangan perkara korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setelah pada pekan lalu hadir sebagai saksi dalam persidangan dengan terdakwa Syamsuddin Manan Sinaga, pada Senin (29/6) Hartono hadir sebagai saksi dalam sidang dengan terdakwa Romli Atmasasmita.

Menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum, yang antara lain beranggotakan Kuntadi, Syahnan, Ali Mukartono, dan Yunitha, Hartono mengatakan, biaya akses yang dibayarkan pemohon badan hukum memang masuk ke PT Sarana Rekatama Dinamika. Hartono juga mengaku tahu soal pembagian aliran biaya akses sebesar 90 persen ke PT Sarana Rekatama Dinamika dan 10 persen ke Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman.

”Secara lisan saya dengar tahun 2001. Saya baru baca perjanjiannya tahun 2008,” kata Hartono.

Jaksa juga bertanya soal pengeluaran uang di PT Sarana Rekatama Dinamika. ”Anda kan bilang ada di luar struktur, tetapi turut tanda tangan saat SRD mengeluarkan uang?” ujar jaksa. ”Tapi, tidak selalu saya. Tanda tangan pengeluaran uang ada dua orang,” kata Hartono.

”Namun, saksi turut tanda tangan, kan?” ujar jaksa. Hartono mengakui.

Hartono mengaku tahu Sisminbakum saat peresmian pada tahun 2001 karena ia diundang hadir. (idr)

Sumber: Kompas, 30 Juni 2009

{mospagebreak Title=Hartono Tanoe Akui PT Sarana Dimodali Bhakti Asset} 

Hartono Tanoe Akui PT Sarana Dimodali Bhakti Asset

Pengusaha Hartono Tanoesoedibjo mengatakan, sumber dana modal PT Sarana Rekatama Dinamika, rekanan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam proyek Sisminbakum, berasal dari PT Bhakti Asset Management. Hartono juga mengaku namanya dipinjam oleh PT Bhakti Asset sebagai kuasa pemegang saham atau nomine di PT Sarana. ”Makanya, pada 2005 saya punya satu saham di PT Sarana,” kata Hartono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin.

Hartono diperiksa sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dengan terdakwa mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Romli Atmasasmita.

Kasus ini bermula pada 2001 ketika Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum menerapkan sistem administrasi badan hukum untuk melayani permohonan pemberian dan perubahan nama perusahaan melalui situs http://www.sisminbakum.com. Dalam penyelidikan jaksa, duit yang dipungut tak masuk ke kas negara, melainkan ke rekening PT Sarana sebagai penyedia jasa aplikasi Sisminbakum sebesar 90 persen, dan ke pihak Koperasi sebesar 10 persen. Dari 10 persen ke Koperasi, pejabat Direktorat menerima 60 persen, sementara Koperasi 40 persen.

Di persidangan, Hartono mengaku tak tahu soal pendirian PT Sarana. Dia mengatakan baru masuk ke PT Sarana sebagai komisaris pada 2004 hingga 2005. ”Pengangkatan sebagai komisaris tentunya melalui rapat umum pemegang saham," katanya.

Tapi jaksa Kuntadi lantas menunjukkan notulensi rapat PT Sarana pada 2001. Dalam dokumen itu, Hartono disebutkan membuka dan memimpin rapat. Hartono berdalih dia mengikuti rapat karena diminta direksi PT Sarana. Dalam rapat itu Hartono mengatakan hanya memberi masukan untuk memperbaiki manajemen PT Sarana. ”Saat itu manajemennya kacau,” kata dia. ANTON SEPTIAN

Sumber: Koran Tempo, 30 Juni 2009

{mospagebreak title=Kasus Biaya Akses Sisminbakum, Hartono Akui Teken Rekening}

Kasus Biaya Akses Sisminbakum, Hartono Akui Teken Rekening

Sidang kasus korup­si biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkum HAM kembali menghadirkan pengusaha Hartono Tanoesoedibjo sebagai saksi. Dalam keterangannya, Hartono tetap membantah terlibat da­lam sisminbakum.

Hartono mengatakan tidak terlibat dalam pendirian PT Sarana Re­katama Dinamika, rekanan Dep­kum HAM. "Saya terlibat ka­rena pernah menjadi komisaris se­lama setahun," kata Hartono da­lam sidang di Pengadilan Nege­ri Jakarta Selatan kemarin (29/6). Si­dang itu mendudukkan mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmi­ta sebagai terdakwa.

Bukan hanya itu, saudara pengu­saha Hary Tanoesoedibjo tersebut juga membantah pernah mengikuti rapat-rapat pembentukan sis­minbakum sebelum diresmikan pa­da Januari 2001. "Saya pernah ikut sekitar empat kali pada ak­hir 2001," jelasnya.

Dengan alasan itu, Hartono menyatakan tidak mengetahui pene­tapan biaya akses sisminbakum yang mencapai Rp 1,35 juta. Namun, dia mengetahui bahwa bia­ya tersebut masuk ke rekening PT SRD. Dia juga mengatakan, sum­ber dana PT SRD dalam sisminbakum berasal dari perusahaan in­vestasi, PT Bhakti Asset Management.

Tapi, Hartono mengaku dilibatkan dalam spesimen tanda tangan pembukaan rekening PT SRD. "Saya sebagai nomine. Itu bisa saja dilakukan," tuturnya. Selain tanda tangannya, ada pula tanda tangan Dirut PT SRD Yohanes Waworuntu yang juga menjadi terdakwa dalam kasus sisminbakum.

Bantahan terlibat dalam sisminbakum pernah disampaikan Hartono dalam sidang dengan terdakwa Dirjen AHU (nonaktif) Syam­sudin Manan Sinaga. Sebelum­nya, keterangan Hartono dinilai penting. Selain terlibat di awal penyiapan sisminbakum, nama Hartono disebut dalam dakwaan Romli bersama mantan Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra.

Romli didakwa dengan empat pasal UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa menilai, terdakwa telah melakukan pungutan dengan dalih akses fee terhadap notaris. Yakni, biaya lebih selain Rp 200 ribu untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selama masa menjabat, hasil pungu­tan mencapai Rp 31,53 miliar.

Pungutan dari notaris itu dianggap merugikan negara dan menguntungkan PT SRD. Dari total pungutan itu, 10 persennya menjadi bagian Koperasi Pengayoman. Dari koperasi, terdakwa menerima Rp 1,31 miliar yang dibagi-bagikan ke pejabat di lingkungan Ditjen AHU. (fal/oki)

Sumber: Jawa Pos, 30 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan