Kasus sarkes Rp 15 M; PL atas perintah Gubernur NTT [02/06/04]

Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan NTT, dr. Stefanus Bria Seran mengungkapkan, proyek pengadaan sarkes (sarana kesehatan) dengan total nilai kontrak mendekati Rp 15 miliar, dilaksanakan melalui PL (penunjukan langsung) atas perintah Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H.

Bria Seran mengungkapkan itu ketika memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang kasus korupsi dana proyek tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Kupang, Senin (31/5). Sidang menghadirkan terdakwa BT (pimbagpro).

Bria Seran mengaku diperintah Gubernur Tallo untuk melaksanakan proyek tersebut melalui mekanisme PL, meski itu melanggar aturan. Alasannya, masyarakat NTT sangat membutuhkan peralatan sarkes.

Mendengar pengakuan Bria Seran yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, majelis hakim yang diketuai Henry Silaen, S.H beranggotakan, Mion Ginting,S.H dan Bernadette Samosir,S.H memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU), Susilo Hadi, S.H, Didik Sudarmadi, S.H dan Satriyo Wahyu, S.H agar menghadirkan Gubernur NTT, Piet Tallo, S.H untuk didengar keterangannya sebagai saksi pada persidangan pekan depan.

Bria Seran menjelaskan, selain masyarakat NTT sangat membutuhkan peralatan sarkes, perintah gubernur unutk mem-PL-kan proyek sarkes, karena keadaan saat itu sangat mendesak. Apabila proyek itu tidak dikerjakan, katanya, maka Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT akan kehilangan kepercayaan dari pemerintah pusat. Karena itu proyek sarkes harus dilaksanakan hingga tuntas.

Bria Seran yang diperiksa kurang lebih dua jam ini, menjelaskan, dalam pengerjaan proyek itu, mereka sebagai dinas teknis terpaksa meminta bantuan kepada Gubernur NTT dan dinas terkait lainnya untuk membantu menyelesaikan permasalahan proyek dimaksud. Sebab, kata dia, sejak awal sudah menguak di masyarakat kalau ada penyimpangan.

Kami minta bantuan Bappeda NTT membantu dalam kasus ini. Kami terpaksa melibatkan dua orang anggota DPRD NTT untuk memberikan saran terhadap kontraktor yang mengerjakan proyek itu. Tim itu dinamakan justifikasi barang, kata Bria Seran.

Selain itu, lanjut Bria Seran, proses administrasi dan teknis dilaksanakan oleh terdakwa BT dan panitia lelang. BT dan panitia lelang, dua kali mengadakan perubahan kontrak tanpa sepengetahuannya sebagai penanggung jawab proyek.

Saya tanda tangan adendum proyek itu pada tanggal 1 Januari 2003, padahal terdakwa mengubah kontrak dengan Firma Antares (kontraktor pelaksana, Red) pada bulan Desember 2002. Saya memang pernah tanya kepada terdakwa tetapi jawabannya mereka memfokuskan distribusi barang ke 56 Puskesmas di NTT. Saya juga hanya tanda tangan berita acara barang yang akan didistribusikan ke puskesmas, ujarnya.

Mendengar keterangan saksi demikian, majelis hakim mengatakan, saksi kurang melakukan pengawasan sehingga memberikan peluang terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek. Menanggapi itu, Bria Seran mengatakan, pelaksanaan proyek itu diserahkan kepada pimbagpro, yakni terdakwa BT.

Penasehat hukum terdakwa BT, Duin Palungkun, S.H, Frans Tulung, S.H dan C. Anton Mone, S.H menanyakan tentang faktor yang menjadi penyebab terlambatnya pengiriman barang ke 56 puskesmas rawat inap di NTT. Atas pertanyaan itu, Bria Seran mengatakan, keterlambatan itu datang dari Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT dan dari Jakarta. Tetapi, mereka sebagai dinas teknis mengikuti saja perintah dari atasan.

Sidang kasus ini akan dilanjutkan Sabtu (5/6) untuk mendengarkan keterangan saksi lainnya.

Untuk diketahui, sesuai audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT, pengimpangan dalam proyek dengan nilai kontrak Rp 14.948.498.300 ini merugikan negara Rp 3,38 miliar. (ris)

Sumber: Pos Kupang, 2 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan