Kasus Nursalim Segera Dihentikan; Sudah Kantongi Surat Lunas [22/07/04]

Sjamsul Nursalim, tersangka korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sebesar Rp10,5 triliun, bakal bebas dari tuntutan. Pria yang selama ini diburu aparat itu dalam waktu dekat akan mengantongi SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Itu terjadi karena konglomerat era Orde Baru tersebut sudah mengantongi SKL (surat keterangan lunas) dari pemerintah. Kepastian SKL bagi Nursalim itu diungkapkan Komisaris Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Taufik Ma?ruf Mappaenre. Itu diberikan pada akhir pembubaran BPPN April lalu, kata Taufik kepada Koran ini tadi malam.

Pengacara Nursalim, Adnan Buyung Nasution, juga menjelaskan bahwa kliennya itu sudah mengantongi SKL utang-utangnya. Penerbitan SKL tersebut akan disusul dengan keluarnya SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) terhadap Pak Sjamsul Nursalim, jelas Buyung, koordinator tim pengacara Sjamsul Nursalim, setelah menerima sertifikat ISO-9001 di Hotel Mulia, Selasa lalu.

Buyung mengaku sudah mendengar sikap Kejagung yang segera mengeluarkan SP3 terhadap kliennya. Hanya, dia tidak bisa memastikan kapan SP3 itu dikeluarkan. Sebab, hal itu merupakan kewenangan Kejagung.

Saya belum mengecek perkembangan terakhir (penerbitan SP3). Memang, diharapkan keluar pada pekan-pekan ini. Apakah hari ini (20 Juli) atau kemarin (19 Juli), saya belum cek karena belum ada kesempatan untuk menelepon Pak Sjamsul, ujar Buyung selasa lalu.

Seperti diketahui, keseriusan Kejagung menyidik Nursalim makin tidak jelas. Penyidik Kejagung seolah membiarkan Nursalim, yang kini menjalani perawatan di RS Raffles Singapura. Awal tahun lalu Kejagung berjanji mengirim tim medis ke Singapura. Tapi, belakangan rencana tersebut batal lantaran kesulitan dana.

Sebelumnya jaksa mengaku sempat kehilangan jejak. Sebab, Nursalim izin berobat ke Jepang. Setelah di cek ke Negeri Sakura itu, bos Gajah Tunggal tersebut tak ada. Nursalim baru terdeteksi di Singapura setelah diberitakan media massa.

Lantas, Kejagung meminta bantuan Interpol untuk memulangkan Nursalim ke Indonesia. Namun, itu tak pernah terealisasi hingga munculnya SKL.

Dia disangka merugikan negara Rp 10,5 triliun dengan modus operandi saat BDNI, 15 Oktober 1997, tak mampu melunasi saldo debit Rp 89 miliar. Meski saldo debitnya sedang minus, Nursalim tetap mengajukan permohonan BLBI ke BI. Dengan begitu, saldo debitnya mencapai Rp 638 miliar.

Selanjutnya, BI menyetujui untuk memberikan fasilitas diskonto (fasdis) I dan II ditambah fasilitas surat berharga pasar uang khusus (SBPUK). Karena itu, total dana yang dikucur BLBI sebesar Rp10,5 triliun per 14 Februari 1998. Ternyata, pada 14 Febuari 1998, BDNI di-BTO-kan dan tidak dapat melunasi fasdis I dan II ditambah SBPUK. Nursalim sebagai pemilik BDNI harus bertanggung jawab.

Bagaimana tanggapan Kejagung? Kapuspenkum Kemas Yahya Rahman mengaku belum tahu soal rencana penghentian penanganan perkara Sjamsul Nursalim. Tapi, mengacu pada Inpres Nomor 8/2002, secara normatif, perkara Sjamsul dapat di-SP3 karena sudah mengantongi SKL dari BPPN. Itu secara teori, setipa yang dapat SKL akan di-SP3. Tapi, apakah benar sudah dihentikan kasusnya, tanya Pak Suwandi (direktur Penyidikan Kejagung), jelas Kemas kepada koran ini tadi malam.

Suwandi yang dihubungi secara terpisah menolak berkomentar soal kepastian Sjamsul memperoleh SP3. Ini porsi jaksa agung. Biar jaksa agung dan Kapuspenkum yang berkomentar, kilahnya.

Seperti diketahui, dasar hukum SKL itu adalah Inpres Nomor 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Meyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Sedangkan pelaksana terbitnya SKL dibahas Menko Perekonomian selaku ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menkeh, Men BUMN, jaksa agung, Kapolri, dan ketua BPPN.

Menurut Taufik Ma?ruf Mappaenre, total kewajiban Sjamsul ke BPPN (28,4 triliun) telah dibayar semua. Kewajiban itu telah dibayar dengan penyerahan sejumlah aset, yakni, PT GT Tyre, tambak udang Dipasena, dan Petrochem Tyre. Sisanya, kewajiban tunai Rp 1 triliun juga telah dilunasi dengan pembayaran tunai dan penyerahan aset properti.

Soal utang antar-perusahaan milik Nursalim, yakni Dipasena ke GT Tire dan GT Petrochem Tyre senilai Rp 1,2 triliun, juga telah dihapusbukukan. Hapus buku itu dilakukan setelah Petrochem Tyre dijual kepada Garibaldi Venture Fund Limited.

Jadi, semua proses swap utang antar- perusahaan Nursalim, termasuk penghapusbukuannya, juga telah beres. Atas dasar itu, Nursalim diberi SKL, katanya kepada koran ini kemarin.

Taufik lantas menjelaskan secara detail. Dalam proses verifikasi nilai aset Nursalim, KKSK meminta ke BPPN untuk memeriksa apakah ada utang antar-perusahaan atau tidak. Dan, berdasarkan kajian BPPN, ternyata ditemukan adanya utang antar- perusahaan, yakni utang Dipasena kepada Petrochem senilai Rp 1,2 triliun.

Setelah itu, KKSK meminta BPPN agar utang itu dihapuskan. Permasalahannya, Petrochem telah terjual kepada Garibaldi. BPPN diminta melakukan negosiasi kepada Garibaldi agar bersedia menghapus utang Dipasena kepada Petrochem.

Negosiasi dengan Garibaldi itu harus dilakukan karena Dipasena akan dialihkan ke PPA. Ini yang menjadi syarat Sjamsul Nursalim untuk mendapat surat keterangan lunas.

Selain telah disepakatinya hapus buku utang, yang memuluskan jalan mantan bos PT Gadjah Tunggal Group untuk mendapatkan SKL, Nursalim juga tidak memiliki misrepresentasi (kelebihan kewajiban) pada saat penyerahan aset. Dari hasil kajian secara keuangan oleh kantor akuntan publik (KAP) Ernst & Young, dinyatakan sudah tidak ada lagi misrepresentasi dari pihak Nursalim, tegasnya. (agm/yun)

-----------
Liku-Liku Penyelesaian Utang Sjamsul Nursalim

Tahun 1998
- 14 Februari : BI serahkan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ke BPPN
- 4 April : BDNI berstatus bank take over (BTO)
- 21 Agustus : BDNI dibekukan
- 21 September : Sjamsul diputuskan berutang Rp 28,4 triliun, lalu teken MSAA untuk bayar utang dengan penyerahan aset

Tahun 1999
- 25 Mei : Tanda tangani penyeran 12 aset ke BPPN senilai Rp 27,4 triliun dan membayar tunai Rp 1 triliun
- 25 Desember : Kepala BPPN Glenn M.S. Yusuf menyatakan ada kewajiban Sjamsul yang belum dipenuhi, sehingga release and discharge tak dapat diberikan

Tahun 2000
- 29 Mei : Ketua BPK S.B. Jeodono melaporkan 10 bank yang diduga menyelewengkan BLBI, termasuk BDNI, ke Kejakgung
- 26 Juni : BPPN kirim teguran keras karena Sjamsul belum lunasi setoran Rp 1 triliun (baru Rp 337 miliar)
- 9 Oktober : Presiden Gus Dur minta kejaksaan tunda tuntutan atas Sjamsul, Marimutu Sinivasan, dan Prajogo Pangestu. Mereka dianggap motor ekspor produk Indonesia.
- 23 Oktober : Jaksa Agung Marzuki Darusman yatakan Sjamsul tersangka kasus penyelewengan BLBI
- 14 November : Sjamsul meneken surat sanggup menyerahkan aset tambahan. Utangnya membengkak jadi Rp 51 triliun

Tahun 2001
- 16 April : Sjamsul ditahan kejaksaan karena dinilai rugikan negara Rp 10,1 triliun dalam kasus BLBI
- 15 Mei : Audit investigasi BPK menyatakan dari Rp 20 triliun nilai aset yang diserahkan Sjamsul, nilai komersialnya cuma Rp 1,9 triliun
- 29 Mei : Sjamsul diizinkan berobat ke Jepang oleh Kejaksaan hingga 25 Juni 2001. Hingga kini Sjamsul belum kembali dan tinggal di Singapura

Tahun 2002
- 18 Maret : Pemerintah membentuk tim bantuan hukum (TBH) BPPN untuk memetakan debitor kooperatif dan bandel.
- 12 Juli : Kepala BPPN Syafruddin Temenggung memutuskan menyita aset Sjamsul
- 8 Oktober : Sjamsul sepakat mengganti kekurangan setoran dengan tunai Rp 250 miliar dan aset properti Rp 178 miliar

Tahun 2003
- 17 Maret : BPPN menunjuk Ernst & Young melakukn uji tuntas keuangan atas aset Sjamsul
- 1 Juni : BPPN memutuskan tidak akan menjual Dipasena sebelum merekstrukturisasi utang petambak udang dan meningkatkan nilai perusahaan
- 28 Oktober : GT Tire dan GT Petrochm laku terjual Rp 1,83 triliun ke Garibals di Venture Fund Ltd.(Singapura)
- 24 Desember : Ernst & Young mengumumkan hasil uji tuntas. Ditemukan kelebihan dana USD 1,3 juta dari aset yang diserahkan Sjamsul. BPPN tak akan mengembalikannnya. Sjamsul masih harus membayar kekurangan setoran tunai Rp 150 miliar

Sumber: Pu
Sumber: Jawa Pos, 22 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan