Kasus Mantan Presiden Soeharto

Di tengah mantan Presiden Soeharto menjalani perawatan intensif, muncul pro dan kontra diadili-tidaknya mantan orang terkuat ini.

Namun, tuntutan untuk mengadili orang yang dalam keadaan sakit bisa dikatakan tidak etis. Apalagi, pembicaraan itu muncul ketika yang bersangkutan sedang dalam kondisi tidak sehat, bahkan sedang dalam perawatan intensif.

Sungguh aneh masalah hukum yang terkait mantan presiden ini karena dari sisi hukum, tuntutan pidana telah dihentikan dengan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SKPP) oleh Jaksa Agung Abdulrahman Saleh dengan alasan sakit permanen.

Arti sakit permanen dalam SKPP tidak ada penjelasan. Dan sepanjang diketahui, belum ada pertanggungjawaban Jaksa Agung ke DPR sesuai ketentuan Pasal 37 Ayat 2 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Namun, yang pasti, hal itu sudah dipertanggungjawabkan kepada presiden karena Jaksa Agung adalah pejabat negara setingkat menteri.

Langkah ganjil
Lebih ganjil lagi langkah Kejaksaan Agung yang melakukan gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto dan seluruh yayasannya. Alasannya, seluruh harta yayasan adalah milik negara, bahkan telah merugikan negara sekitar Rp 3 triliun. UU No 20 Tahun 2001, yang mengubah UU No 31 Tahun 1999, Pasal 38 C menegaskan, jika terbukti ada dugaan kuat masih ada harta kekayaan terpidana yang berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dirampas setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, negara dapat melakukan gugatan perdata.

Ketentuan Pasal 38 C merujuk Pasal 38 B Ayat 2 yang menganut pembuktian terbalik. Tetapi, semua mengetahui, mantan Presiden Soeharto telah memperoleh SKPP dari Jaksa Agung (saat itu) Abdulrahman Saleh berdasar Pasal 140 Ayat 2 a Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan alasan sakit permanen, meski alasan sakit permanen tidak terdapat dalam ketentuan pasal itu.

Diskresi Jaksa Agung
Tampaknya hal itu hanya merupakan diskresi Jaksa Agung. Sebenarnya lebih elegan jika dikeluarkan ketetapan penundaan proses penyidikan sampai yang bersangkutan sembuh karena hal ini lebih aspiratif terhadap perasaan keadilan masyarakat sekaligus menjunjung tinggi Tap MPR I Tahun 2003 yang memperkuat Tap MPR XI Tahun 1998.

Bertolak dari langkah hukum itu, tampaknya kasus ini sulit dilaksanakan sungguh-sungguh karena sarat dengan berbagai kepentingan masa lampau selain masalah kemanusiaan semata-mata.

Meski demikian, kita dapat melihat bagaimana langkah hukum di negara lain dalam kasus yang sama. Terakhir kita saksikan, sejumlah presiden dan calon presiden harus diperiksa tim penyelidik independen. Lihat apa yang terjadi terhadap mantan Presiden Marcos (Filipina), Sani Abacha (Nigeria), dan Fujimori (Peru).

Langkah hukum dan politik
Perlu diingat, salah satu tujuan gerakan reformasi tahun 1998 adalah menuntaskan kasus mantan Presiden Soeharto. Sejalan adagium, meski langit akan runtuh tetapi hukum tetap harus ditegakkan, maka masih ada banyak jalan ke Roma. Solusi untuk mengatasi masalah pro-kontra ini secara hukum adalah, pertama, langkah hukum maupun langkah politik harus dilakukan bersamaan karena yang menjadi obyek tersidik adalah mantan presiden yang telah banyak berjasa terhadap bangsa dan negara. Dengan demikian, keputusan politik dan hukum harus bijaksana dan mencerminkan jiwa negarawan.

Usulan amnesti pun tampaknya bernuansa penghormatan, tetapi tidak tepat karena usulan itu hanya berlaku untuk kejahatan politik (pemberontakan).

Usulan deponeering vide Pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan juga tidak tepat karena status hukum mantan Presiden Soeharto sudah di-SKPP oleh Kejaksaan Agung, sedangkan deponeering hanya untuk kasus pidana, bukan perdata, di mana kini sedang dilakukan gugatan perdata.

Dua langkah
Untuk mengatasinya, diusulkan dua langkah. Pertama, agar dibentuk tim penyidik independen, terdiri dari unsur ahli hukum, ahli kedokteran, ahli lain yang relevan; politisi; dan birokrat termasuk penegak hukum, guna secara menyeluruh meneliti kembali kasus mantan Presiden Soeharto.

Langkah kedua, dilaksanakan peradilan in absentia sebagai terobosan hukum karena tidak dapat dihadirkan dalam persidangan dan merupakan solusi aspiratif serta tetap menjunjung tinggi due process of law dan keadilan. Kemudian, jika putusan memutuskan Pak Harto bersalah, kesempatan pemberian grasi merupakan langkah elegan.

Solusi terakhir, perlu ada kesepakatan politik untuk mencabut Tap MPR sebagaimana disebutkan di atas karena Tap MPR itu merupakan payung politik untuk dilaksanakannya penuntutan hukum terhadap Pak Harto. Selama Tap MPR itu belum dicabut, solusi hukum apa pun yang ditawarkan, kecuali penuntasan secara hukum, akan tetap mengambang karena langkah dan keputusan hukum yang diharapkan rakyat Indonesia melalui perwakilannya di MPR adalah penuntasan kasus mantan Presiden Soeharto, baik secara pidana maupun perdata.

Masalahnya, apakah kita berani menuntaskan gerakan dan cita reformasi 1998 atau menusuk gerakan reformasi 1998 yang telah mengakibatkan pergantian Orde Baru kepada Orde Reformasi?

Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan