Kasus KPU Politis, Terkait Suksesi KPK
Independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menangani keterlibatan Menkum HAM (menteri hukum dan HAM) Hamid Awaluddin dalam kasus korupsi KPU sedang diuji. Di tangan penyidik KPK, nasib Hamid akan ditentukan, apakah dia bisa dijerat sebagai tersangka atau tidak. Apalagi, kasus itu sangat bernuansa politis terkait jabatan Hamid sebagai menteri.
Hal itu diungkapkan pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio. Dia lantas mengaitkan dengan suksesi di jajaran pimpinan KPK yang prosesnya dimulai awal tahun depan.
Yang menjadi ketua pelaksana pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK adalah menteri hukum dan HAM. Jika tidak ada reshuffle, berarti Hamid punya peran penting, kata Rudi yang juga anggota Badan Pertimbangan Pemasyarakatan Depkum HAM.
Meski tidak berwenang menentukan pimpinan KPK, Hamid bisa membuat kriteria siapa yang berhak menjadi pimpinan KPK. Apa kata orang jika pimpinan KPK ditentukan oleh orang yang kasusnya sedang ditangani KPK, ujar Rudi.
Jajaran pimpinan KPK yang saat ini dikomandani Taufiequrachman Ruki dilantik 29 Desember 2003. Saat itu, yang melantik adalah Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sesuai pasal 34 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, pimpinan KPK memegang jabatan 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dengan ketentuan itu, masa jabatan Ruki cs berakhir 29 Desember 2007. Persiapan suksesi tersebut berdasar ketentuan UU itu dimulai awal 2007. Atau, selambat-lambatnya enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan. Di sinilah independensi KPK diuji.
Hamid disebut terlibat kasus pengadaan segel sampul surat suara Pilpres I dan II dalam persidangan dengan terdakwa Daan Dimara. Jumat lalu Daan divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider kurungan dua bulan. Vonis tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni 6,5 tahun dan denda Rp 300 juta.
Persidangan Tipikor yang dipimpin hakim Gusrizal itu mengungkap beberapa fakta. Disebutkan, kedudukan Daan sebagai ketua panitia pengadaan segel (sampul surat suara) tidak berdampak pada pengadaan segel tersebut.
Hakim juga membenarkan bahwa yang menentukan harga kertas segel untuk Pilpres I dan II adalah Hamid. Itu berdasar keterangan lima saksi yang dihadirkan dalam sidang sebelumnya. Semua saksi menguatkan soal kehadiran Hamid dalam rapat penentuan harga segel Rp 99 per keping.
Keterangan lima saksi tersebut, menurut Juru Bicara KPK Johan Budi S.P., belum cukup untuk menjerat Hamid sebagai tersangka. Sebab, itu harus didukung fakta lain. Misalnya, dokumen notulensi rapat. Hal tersebut sesuai dengan pasal 26 A UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tipikor. Yang menjadi persoalan, notulensi rapat yang merupakan bukti fisik hingga kini belum ditemukan.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Penggabean ketika dikonfirmasi mengatakan, KPK masih menunggu salinan putusan kasus Daan. Kalau sudah diterima, tentu akan kami (KPK) pelajari. Apa hasilnya, itu bergantung nanti, kata Tumpak yang ditemui seusai menghadiri pernikahan anak bungsu Hendarman Supandji di gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, tadi malam.
Tumpak menolak berkomentar lebih jauh soal kelanjutan penanganan kasus korupsi yang diduga melibatkan Hamid tersebut. Lihat saja nanti, ujarnya. Wakil Ketua KPK lain, Erry Riyana Hardjapamekas, juga menolak berkomentar soal langkah tim penyidik KPK memanggil Hamid.
Sejak kasus Daan yang menyeret Hamid mencuat ke permukaan, Menkum HAM itu sulit ditemui wartawan. Kemarin pagi Hamid dijadwalkan menghadiri jalan sehat memperingati Hari Dharma Karya Dhika Departemen Hukum dan HAM. Tapi, yang bersangkutan tidak hadir. Yang datang hanya istri Hamid, Ny Andi Marcelya. (ein/agm)
Sumber: Jawa Pos, 18 September 2006