Kasus KBRI Thailand; "Buka Audit BPKP"
"Kasus itu cukup ditindak dari internal," kata Hendarman.
Kejaksaan Agung diminta membuka hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus dugaan korupsi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Thailand. "Jaksa Agung harus membuka audit tersebut karena dia sendiri yang meminta," ujar Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho saat dihubungi kemarin. Menurut aktivis pegiat antikorupsi ini, dibukanya audit itu bisa menjelaskan ada-tidaknya kerugian negara dalam kasus tersebut.
Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat kemarin menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi di Kedutaan Besar RI di Thailand cukup ditindak secara internal. Kasus itu tidak diperlukan proses pidana karena buktinya tidak kuat. "Kalau dilihat, ada pelanggaran administrasi. Tentunya pejabat yang bersangkutan harus ada tindakan internal, bukan pidana," kata Hendarman.
Kasus itu terjadi pada 2008. Kejaksaan menemukan sisa anggaran tahun itu tak dikembalikan ke kas negara. Kedutaan berdalih bahwa duit itu digunakan, antara lain, untuk membiayai kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-14 di Bangkok. Padahal, menurut Kejaksaan, kunjungan Presiden ke Konferensi telah dibiayai Sekretariat Negara. Kejaksaan telah menetapkan tiga tersangka. Mereka adalah Duta Besar Muhammad Hatta, Wakil Duta Besar Djumantoro Purbo, dan mantan Bendahara Kedutaan Suhaeni.
Audit BPKP menduga negara dirugikan sekitar Rp 2,7 miliar dalam kasus ini. Meski telah diaudit, Kejaksaan mengatakan, uang tersebut masih utuh dalam brankas. "Memang ada penyalahgunaan dan perbuatan melawan hukum. Tapi tidak memperkaya diri karena uang masih utuh," ujarnya. Adapun Badan Pemeriksa Keuangan, menurut Hendarman, menilai hal itu sebagai pelanggaran administrasi.
Karena kasus ini termasuk pelanggaran administrasi, Kejaksaan akan mengirimkan kasus ke Kementerian Luar Negeri untuk dilakukan tindakan administratif kepada pejabat yang berwenang.
Emerson mengatakan, jika kasus itu dianggap pelanggaran administrasi, sanksi terberat hanyalah teguran keras. "Sehingga tidak ada efek jera," ujarnya. Karena itu, ICW mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan supervisi terhadap Kejaksaan. "Harus ada gelar perkara bersama," ujarnya.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Asdi Narang, mempertanyakan kelanjutan kasus tersebut. Dalam kasus itu telah ada pernyataan dari BPK dan BPKP tentang adanya indikasi korupsi. "Apakah sudah mempertimbangkan temuan BPK dan BPKP?" ujar Asdi. SUKMA | AQIDA SWAMURTI
Sumber: Koran Tempo, 9 Februari 2010