Kasus-kasus Korupsi Besar Masih Terus Terjadi

Setelah terungkap kasus korupsi di Bank BNI senilai Rp 1,6 triliun, kita berharap di era reformasi ini tidak ada lagi kasus-kasus korupsi besar semacam itu. Biarkanlah masalah penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus-kasus korupsi triliunan rupiah lain menjadi bagian dari masa lalu dan mimpi buruk kita sebagai bangsa. Yang penting jangan terulang, terlebih sekarang kita telah memasuki era baru, yakni demokrasi, transparansi, dan reformasi. Sayang harapan itu masih terlampau muluk. Kenyataan menunjukkan hal yang jauh berbeda. Korupsi masih terjadi baik di lingkungan eksekutif, legislatif, dan lembaga yudikatif serta BUMN. Nilainya pun tak kalah besar, sehingga Indonesia masih termasuk peringkat teratas sebagai negara terkorup.

- Kita menduga kasus-kasus yang terungkap barulah puncak dari sebuah gunung es. Artinya, akan lebih banyak lagi kasus yang bisa diungkap termasuk penyelewengan dana dengan segala bentuk dan polanya. Ada yang mengatakan, kalau dulu korupsi memusat di Jakarta, sekarang merata hampir ke semua daerah. Kalau dulu melulu terkait dengan birokrasi, maka sekarang sudah merembet ke anggota Dewan, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Bahkan, yang baru saja terungkap adalah dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diperkirakan mencapai Rp 300 miliar. Sekarang pun Kejaksaan Agung dikabarkan sedang mengusut dugaan kasus korupsi, dalam bentuk kredit macet, di Bank Mandiri sebesar Rp 1 triliun lebih.

- Komitmen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk menangani kasus-kasus KKN dan menanggulangi praktek-praktek seperti itu tidak perlu diragukan. Tetapi apalah arti komitmen tanpa didukung oleh langkah-langkah strategis dan taktis yang cerdas. Tanpa didukung oleh aparat penegak hukum, LSM, pers, dan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai negara yang dikategorikan terkorup tentu akan banyak koruptor yang diadili. Tetapi dalam kenyataannya hanya beberapa orang dan jumlahnya relatif kecil. Meskipun kita sangat menghargai adanya kemajuan seperti pengadilan atas kasus korupsi Gubernur NAD Abdullah Puteh dan Adrian Waworuntu dalam kasus pembobolan Bank BNI. Keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun dan seumur hidup.

- Proses hukum pada pelaku korupsi termasuk yang sekarang menimpa banyak mantan anggota DPRD di daerah merupakan sesuatu yang nyata sebagai bagian dari upaya memerangi korupsi dan menegakkan hukum. Walaupun baru sebagian kecil, setidak-tidaknya diharapkan bisa menjadi shock therapy atau efek jera bagi yang lain. Untuk sementara ini cukup efektif karena anggota Dewan tak lagi sembrana dan semaunya dalam mengalokasikan APBD. Namun di pemerintahan dan juga BUMN, kita menduga KKN masih begitu subur dan banyak kasus yang belum terungkap. Inilah yang menjadi tugas berat aparat penegak hukum dibantu seluruh komponen masyarakat, yakni membongkar kasus-kasus korupsi yang masih terjadi.

- Sangatlah sulit menangani keseluruhan kasus karena berbagai keterbatasan menyangkut jumlah personel, anggaran, dan sarana lainnya. Lembaga baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan besar yang dimilikinya seakan-akan menjadi pertaruhan pada saat lembaga lain seperti kejaksaan dan kepolisian sering dikhawatirkan sudah banyak ''dibeli'' oleh koruptor. Bersyukur masih ada anggota KPK Khairansyah Salman yang berani menolak suap Rp 150 juta, sehingga kasus dugaan korupsi di KPU mulai terkuak. Bagaimana kalau tidak ada Salman dan semua aparat penegak hukum menjadi mandul. Tetapi lagi-lagi harapan tak boleh terlampau muluk. KPK sangat memiliki keterbatasan dibandingkan dengan jumlah kasus yang harus ditanganinya.

- Ini bukan suara yang menggambarkan pesimisme. Haruslah diakui semua itu bukan pekerjaan mudah dan karena itu memerlukan energi luar biasa. Menurut istilah pakar hukum Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, diperlukan gerakan besar dan kuat seperti gelombang tsunami agar bangsa ini bisa terbebas dari korupsi. Masih panjang tampaknya perjalanan itu, karena yang dijumpai sehari-hari bukannya sesuatu yang positif dan menambah harapan, melainkan kekecewaan dan keprihatinan. Betapa banyak kasus korupsi yang baru terungkap dan jumlahnya pun tak kalah besar dibandingkan dengan masa-masa lalu. Bisa jadi ini akan terus berlangsung entah sampai kapan. Jangan pernah bosan, jera, dan patah semangat, karena negara seperti Inggris pun membutuhkan waktu lebih 100 tahun untuk mengikis kultur korup.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Suara Merdeka, 14 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan