Kasus Hukum Soeharto: Selesai Pidananya, Sulit Perdatanya
Dini hari 12 Januari dua hari lalu, setelah menengok mantan presiden Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan pihaknya menawarkan penyelesaian damai kepada keluarga mantan presiden Soeharto dalam kasus perdata yang kini sedang bergulir di pengadilan.
Tawaran tersebut secara hukum terasa aneh, menambah anehnya berbagai distorsi lainnya yang menyertai polemik tentang kasus hukum Soeharto yang sudah banyak melenceng dan bercampur aduk tak keruan dengan soal politik.
Mengapa aneh? Karena dari sudut hukum pidana, suka atau tidak suka, kasus Soeharto itu sudah selesai alias sudah ditutup tapi masih diperdebatkan terus secara mbulet; sementara dari sudut hukum perdata masih menjadi persoalan menyangkut hak pemerintah melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto sebagai Ketua Yayasan Supersemar dan yayasan-yayasan lainnya.
Pidananya sudah selesai
Soeharto sudah diajukan ke peradilan pidana dalam perkara korupsi sesuai dengan amanat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, karena alasan sakit permanen, Jaksa Agung telah menghentikan penuntutannya melalui surat ketetapan penghentian penuntutan pidana (SKP3). Suka atau tidak suka, SKP3 dari Jaksa Agung itu telah mengakhiri kasus pidana Soeharto, apalagi SKP3 itu sudah dinyatakan sah secara hukum oleh Pengadilan Tinggi Jakarta setelah sebelumnya dipraperadilankan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
SKP3 merupakan produk hukum yang sah karena didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Menurut Pasal 140 ayat (1) butir a KUHAP, Jaksa Agung memang dibenarkan mengeluarkan SKP3 dengan alasan-alasan tertentu, yakni jika ternyata kasus itu bukan kasus pidana, jika tidak cukup bukti, jika dihentikan demi hukum (misalnya karena kedaluwarsa dan yang bersangkutan meninggal), dan jika alasan demi kepentingan umum.
Dalam Pasal 140 ayat 1 itu memang tidak ada penyebutan sakit permanen sebagai alasan penghentian penuntutan demi hukum, tapi penafsiran Jaksa Agung yang memasukkan sakit permanen itu sebagai alasan SKP3 sudah dinyatakan sah oleh Pengadilan Tinggi Jakarta sehingga tak perlu dipersoalkan lagi, kecuali kemudian ditemukan bukti medis bahwa Soeharto tidak sakit permanen. Namun, menemukan bukti baru bahwa Soeharto tidak sakit permanen, apalagi dengan perkembangannya seperti sekarang, rasanya mustahil.
Jadi secara hukum sebenarnya tak bisa lagi kita ngotot agar kasus Soeharto dibawa lagi ke peradilan pidana. Secara hukum kasus itu sudah ditutup dan tak dapat diungkit-ungkit lagi. Susahnya, sekarang ini upaya politisasi hukum sering memunculkan sikap bahwa penyelesaian hukum itu artinya Soeharto harus dihukum pidana, padahal SKP3 adalah juga bentuk penyelesaian hukum.
Perdatanya tidak mudah
Masalah perdatanya pun tidaklah mudah, bahkan tampaknya Kejaksaan Agung hanya berpura-pura karena tak punya dasar hukum kuat untuk melakukan gugatan perdata. Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh benar saat mengatakan bahwa gugatan perdata tidak harus didahului dengan adanya putusan pidana. Namun, pengajuan gugatan perdata dalam kasus ini tetap sulit dipahami. Sebab, kasus perdata ini merupakan pembelokan setelah kasus pidananya ditutup; jadi tetap saja pijakannya tak pas.
Di dalam hukum perdata seseorang baru bisa digugat jika, antara lain, melakukan wanprestasi (tidak memenuhi kewajiban). Pertanyaannya adalah, kepada siapa dan apa bentuk wanprestasi yang tidak dipenuhi secara perdata oleh Soeharto sebagai Ketua Yayasan Supersemar dan yayasan lainnya? Jika jawabannya adalah lalai dan menimbulkan kerugian dalam pengelolaan dana Yayasan, misalnya karena hanya 15 persen yang disalurkan untuk beasiswa pendidikan, yang berhak mengajukan gugatan atas Soeharto tentulah pihak pengurus Yayasan itu sendiri. Kenyataannya, seluruh pengurus Yayasan tak ada yang mempersoalkan pengelolaan dana itu. Lalu dalam kapasitas dan kerugian apa kejaksaan melakukan gugatan perdata, sementara yayasannya itu sendiri merasa tak ada yang salah?
Jika kejaksaan melakukan gugatan perdata atas nama pemerintah, tentu harus dengan alasan bahwa Yayasan Supersemar melakukan wanprestasi atau mempunyai utang secara perdata kepada pemerintah. Soalnya, kapan, berapa jumlahnya, atau dalam bentuk apa Yayasan Supersemar pernah berutang kepada pemerintah? Sulit juga dipahami ketika Kejaksaan Agung mengatakan bahwa gugatan diajukan karena Soeharto sebagai Ketua Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum yang karena kelalaiannya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KHU Perdata. Persoalannya, kelalaian apa, siapa yang dirugikan, dan berapa jumlahnya?
Jika Kejaksaan Agung mengatakan gugatan itu dilakukan karena Soeharto dan yayasan-yayasannya telah melakukan penyelewengan atau penggelapan dana karena, misalnya, dana digunakan untuk hal-hal yang di luar tujuan yayasan, harus diingat bahwa istilah penyelewengan atau penggelapan itu ada di ranah hukum pidana. Karena itu, Jaksa Agung tak bisa masuk ranah ini melalui hukum perdata. Namun, kalau mau masuk ke pidana lagi sudah tak bisa karena secara hukum kasus pidananya sudah selesai dengan SKP3 dari Jaksa Agung itu sendiri. Njelimet, kan?
Jangan berpura-pura
Sampai sekarang tak pernah diumumkan dengan jelas alasan perdata atau wanprestasi dan kelalaian apa, siapa yang dirugikan, atau utang yayasan yang mana sehingga Soeharto dan yayasannya harus diperdatakan setelah kasus pidananya ditutup. Jika alasannya hanya seperti yang dikemukakan di atas, kelemahannya pun tampak jelas sehingga terkesan langkah gugatan perdata itu tidak bersungguh-sungguh.
Maka, tidak salah jika ada yang menduga apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan menggugat perdata tampaknya hanya ingin melayani orang yang secara emosional ingin terus memburu Soeharto, meski alasannya secara yuridis tidak lagi kuat. Artinya, pengajuan gugatan itu lebih merupakan sikap berpura-pura untuk menghibur lawan-lawan Soeharto.
Saya termasuk yang sangat ingin agar kasus pidana Soeharto itu diselesaikan secara pidana sampai vonis pengadilan. Tapi, karena masalahnya sudah ditutup dengan SKP3 yang sah, kalau terus ngotot tidak akan baik bagi pembangunan hukum kita.
Begitu pun saya ingin agar uang yang begitu banyak di yayasan-yayasan yang dipimpin oleh Soeharto dapat diambil oleh negara melalui gugatan perdata, tapi keinginan itu tidak realistis karena sejauh ini alasan-alasan yang dikemukakan oleh Kejaksaan Agung sama sekali tidak meyakinkan secara hukum. Entahlah kalau ada argumen yang masih disembunyikan sebagai bagian dari strategi
Apakah bukan sudah saatnya kita berhenti berpura-pura? Yakni berpura-pura dalam arti ngotot akan melakukan sesuatu padahal tak ada dasar hukum yang kuat untuk memberi harapan. Bukankah sudah waktunya kita berhenti bermain akrobat untuk mengerjakan hal-hal lain yang lebih produktif bagi pembangunan hukum kita?
Moh. Mahfud Md., Guru Besar Ilmu Hukum dan Anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 15 Januari 2008