Kasus Dugaan Korupsi Adiwarsita Mulai Disidang
Empat terdakwa kasus korupsi dana Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), kemarin.
Empat terdakwa tersebut adalah Adiwarsita Adinegoro (mantan Ketua Umum APHI), Abdul Fattah DS (mantan Wakil Ketua Umum APHI), Yusran Syarif (mantan Bendahara APHI), dan Zain Masyhur (mantan Wakil Bendahara APHI).
Persidangan empat orang terdakwa itu dilakukan dengan berkas perkara terpisah dan dengan ketua majelis hakim dan jaksa yang berbeda, namun ruangan sidang dilaksanakan di tempat yang sama.
Untuk terdakwa Adiwarsita dan Yusran persidangan dipimpin majelis hakim Lilik Mulyadi, terdakwa Fattah sidang diketuai hakim Mulyani, sedangkan persidangan Zain dipimpin Agus Subroto.
Sidang empat terdakwa mulai digelar sekitar pukul 10.00 WIB hingga 16.00. Para terdakwa mendapat pengawalan ketat dari petugas pengamanan dalam (pamdal) Kejaksaan Agung dan aparat kepolisian.
Empat terdakwa itu dijerat dakwaannya berlapis oleh jaksa M Jasman, yakni Pasal 1 ayat 1 sub a, Pasal 2 ayat 1, dan Pasal 3 jo Pasal 28 jo Pasal 34 c UU No 3/1971 jo Pasal 43A UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam dakwaannya, jaksa Jasman menuduh terdakwa Adiwarsita telah melakukan perbuatan berlanjut dengan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri baik langsung, maupun tidak langsung sehingga merugikan negara sebesar Rp21,345 miliar dan US$100 juta.
Menurut jaksa Jasman, dana tersebut oleh terdakwa Adiwarsita, terdakwa Zain dan Fattah kemudian dibagi kepada Zain Rp725 juta, MZP Hutagaol Rp20 miliar ditambah US$100 juta, Dadang Ruskandar (Yayasan Raudhatul Janah) Rp450 juta, dan Sudradjat DP (Panita Pusat Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional) Rp170 juta. ''Sesuai dengan perhitungan BPKP, dana tersebut bagian dari dana inventarisasi dan pembinaan hutan, seperti untuk pemotretan udara dan pemetaan areal HPH yang disetorkan ke APHI sejak 1988 hingga Juli 1998 senilai US$194,257 juta.''
Dana tersebut berasal dari para pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), dan para pengusaha atau badan hukum yang secara sah memiliki hak dan kewajiban sebagai pelaksana dalam kegiatan perhutanan yang menjadi anggota APHI.
Anggota APHI antara lain, PT Inhutani I hingga V dan sebagian besar Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), serta sebagian besar anggota Perhimpunan Pengusaha Kilang Kayu Terpadu Indonesia (ISA). ''Terdakwa seharusnya menggunakan dana APHI tersebut untuk program inventarisasi dan pembinaan hutan, namun faktanya tidak,'' ujar jaksa.
Diuraikan jaksa, terdakwa Adiwarsita telah mengorupsi dana APHI sejak 28 Desember 1998 dimulai dengan nilai Rp50 juta yang diserahkan Sudradjat DP, Ketua Umum Panitia Pusat Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN). Caranya, terdakwa Adiwarsita dan Zain menandatangani bilyet giro No GW 492001, yang didebet dari rekening APHI pada PT Bank Dagang Negara (Persero) cabang Jakarta di Gedung Pusat Kehutanan (sekarang Bank Mandiri). ''Pengeluaran dana itu oleh terdakwa dibukukan sebagai bantuan ke HKSN, dengan bukti pengeluaran No Reff 2.14-01.0699 pada Desember 1998,'' kata jaksa.
Lebih lanjut jaksa mengatakan, terdakwa Adiwarsita secara berturut-turut memberikan dana APHI sebesar Rp725 juta kepada terdakwa Zain. Lalu, sebesar Rp20 miliar ditambah US$100 juta kepada MZP Hutagaol, Rp450 juta kepada Dadang Ruskandar, dan Rp170 juta kepada Sudradjat.
Sedangkan kerugian negara yang dikorupsi oleh terdakwa Yusran Syarif sebesar Rp4,080 miliar ditambah Rp100 juta.
Sedangkan jaksa Muhammad Hudi menuduh terdakwa Abdul Fattah, telah mengorupsi dana APHI Rp20 miliar. Dana tersebut diberikan terdakwa Fattah, Adiwarsita, dan terdakwa Zain kepada MZP Hutagaol senilai Rp20 miliar. Selain itu, Adiwarsita mendapat bagian Rp1,58 miliar.
Sidang kasus itu dilanjutkan Selasa (14/6) dengan agenda eksepsi dari terdakwa. (Sur/J-3)
Sumber: Media Indonesia, 8 Juni 2005