Kasus Bungkil Kedelai; Dihantui Urusan Bungkil [19/07/04]

Polisi kesulitan membuktikan adanya korupsi dalam impor bungkil kedelai, tapi perkara dibiarkan menggantung.

BAGAIKAN hantu, kasus korupsi impor bungkil kedelai terus membayangi Beddu Amang sampai di bui. Bekas Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) ini sekarang mendekam di Penjara Cipinang, Jakarta, menjalani hukuman empat tahun dalam kasus tukar guling tanah Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Tapi dia juga terus diincar oleh polisi karena diduga terlibat pula dalam korupsi impor bungkil kedelai yang merugikan negara sekitar Rp 300 miliar.

Sudah setahun perkara tersebut ditangani polisi, tapi penyidikan seperti berjalan di tempat. Pengacara Beddu sendiri, Djoko Prabowo Saebani, merasa kliennya dizalimi karena masih dalam status tahanan. Ini kan seperti digantung. Masa tahanannya sudah habis, tapi tak ada surat penangguhan penahanan, ujar Djoko.

Kasusnya bermula dari krisis ekonomi menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Bulog sebagai importir tunggal berbagai komoditas bahan pangan berusaha membantu perusahaan pakan ternak untuk mengimpor bungkil kedelai, salah satu unsur bahan pakan ternak. Kebetulan saat itu rupiah sedang gonjang-ganjing, dengan kurs antara Rp 12 ribu dan Rp 16 ribu per dolar AS.

Demi meringankan beban para peternak, akhirnya Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad memberikan subsidi kurs Rp 5.000 buat pengimpor bungkil pada Februari 1998. Artinya, berapa pun kurs rupiah terhadap dolar, para pengimpor bungkil kedelai hanya membayar Rp 5.000 setiap dolarnya. Untuk selisihnya, pemerintah yang menomboki. Belakangan, pada zaman Menteri Keuangan Fuad Bawazier, subsidi kurs ini diubah menjadi Rp 6.000.

Dengan adanya subsidi itu, diharapkan harga pakan ternak bisa ditekan hingga Rp 1.500 per kilogram. Kenyataannya? Jauh dari harapan. Harga pakan ternak di pasar sekitar Rp 3.500 per kilogram. Karena itulah sejumlah peternak yang tergabung dalam Peternak Ayam Ras Rakyat Jawa Barat dan Persatuan Peternak Unggas Indonesia bereaksi. Menemukan kejanggalan, mereka melapor ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada November 1998.

Dalam hitungan para pelapor, diduga Bulog dan sejumlah perusahaan makanan ternak telah mengkorup uang negara Rp 300 miliar. Angka itu berasal dari kelebihan harga jual pakan ternak setiap kilonya dibanding harga yang diharapkan, lalu dikalikan dengan produksi pakan ternak yang mencapai 150 ribu ton.

Di mata Djoko Prabowo, semua yang dituduhkan oleh para peternak tidak benar. Para pelapor mencampuradukkan antara crash program untuk mengatasi masalah makanan ternak dan impor bungkil, ujarnya. Padahal subsidi kurs merupakan hal rutin untuk mengurangi dampak krisis moneter.

Lagi pula, menurut Djoko, saat itu semua pengusaha ternak sudah ditawari mengimpor bungkil kedelai dengan subsidi kurs, tapi hanya beberapa yang sanggup. Mereka pun hanya mampu mengimpor 150 ribu ton dari 600 ribu ton bungkil yang ditargetkan. Jadi, tiada unsur pidananya, ujar Djoko.

Di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, kasus ini diberhentikan karena tidak cukup bukti. Setelah dilempar ke Kejaksaan Agung, perkara ini pun tidak diteruskan ke tingkat penyidikan. Hanya, tahun lalu tiba-tiba Markas Besar Kepolisian RI menyidiknya.

Tak cuma Beddu Amang yang ditetapkan sebagai tersangka. Dua bekas Deputi Kepala Bulog juga dijerat. Begitu pula pengusahanya, yakni Hadi Gunawan (Direktur PT Charoen Pokphand), Ahmad Syaefuddin Haq (Direktur PT Japfa Comfeed), Hadi Sutanto (Direktur CV Cibadak), dan Edi Kusuma (Direktur PT Teluk Intan).

Belakangan para pengusaha itu mendapat penangguhan penahanan. Menurut orang yang dekat dengan pengusaha yang diperiksa polisi, mereka telah memberikan uang sangu terhadap pejabat polisi yang mau pensiun. Tapi juru bicara Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Paiman menampik tudingan ini. Tidak ada itu. Enggak benar, katanya.

Kendati begitu, Irjen Paiman membenarkan bahwa polisi memiliki kendala untuk mencari benang merah kasus korupsi dalam pengadaan bungkil kedelai itu.

Kesimpulan itu semakin membuat gemas Djoko Prabowo karena kliennya masih berstatus tahanan. Kalau memang tak ada bukti, ya, hentikan saja penyidikan. Jangan malu-malu mengakui kesalahan prosedur, katanya.
(Ahmad Taufik)

Sumber: Majalah Tempo, No. 21/XXXIII/19 - 25 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan