Karut-marut Hukum di Indonesia

Karut-marutnya sistem peradilan negeri ini sudah menjadi rahasia umum. Jual beli perkara di pengadilan untuk mengurangi hukuman sampai membebaskan terdakwa sering terjadi. Tapi, hingga saat ini belum ada bukti yang bisa menyeret pengacara dan hakim nakal ke meja hijau.

Paling tidak ada tiga kecenderungan putusan peradilan Indonesia. Menjatuhkan vonis berat dalam kasus terorisme, tetapi membebaskan terdakwa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Sebut saja pelanggaran HAM Tanjungpriok, Timtim, dan Abepura.

Kepercayaan masyarakat pada peradilan sampai titik nadir. Upaya pembersihan sangat diharapkan. Secercah harapan muncul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Harini Wijoso, Jumat (30/9), bersama lima pegawai Mahkamah Agung atas tuduhan suap.

Mereka diduga akan menyuap hakim MA yang menangani kasasi perkara korupsi Probosutedjo. KPK yakin kasus itu bisa membuktikan mafia peradilan itu ada dan bisa diberantas.

Guru Besar di Bidang Hukum Perdata dan Perlindungan Konsumen Universitas Katolik Parahyangan Bandung Prof Dr Wila Chandrawila Supriadi mengatakan, untuk meminimalisasi penyelewengan oleh hakim, masyarakat harus terlibat aktif mengawasi kinerja hakim.

Salah satu cara efektif mengawasi kinerja hakim dan lembaga peradilan pada umumnya, menurut Wila, adalah dengan memperbaiki sistem registrasi perkara. Sistem ini sebaiknya dibuat online atau setidaknya ada sistem komputerisasi registrasi perkara. Dengan sistem itu, masyarakat bisa dengan mudah melihat dan menilai putusan majelis hakim, apakah sesuai dengan kepastian hukum dan rasa keadilan atau belum.

Berikut petikan wawancara dengan Wila di sela kesibukannya memberi pelatihan hukum bagi para dokter di Bandung:

Mau dibawa ke mana peradilan kita sekarang ini?

Sulit juga kalau saya mengatakan. Sebagai praktisi, saya melihat hakim memiliki kemandirian memutus perkara. Berbeda halnya dengan hakim di negara Anglo Saxon. Dalam kasus besar, hakim dibantu keberadaan juri. Juri bukan praktisi hukum, melainkan masyarakat biasa. Rakyat ikut memutus apakah terdakwa salah atau tidak. Sementara yang menentukan hukuman adalah hakim. Sistem peradilan di Indonesia tidak mengenal hakim tunggal, kecuali untuk pidana ringan. Hakim kita jumlahnya tiga orang. Kita juga tak kenal juri.

Kemandirian hakim bisa dilihat di sini. Bisa saja dalam suatu perkara, dua hakim menolak membebaskan terdakwa. Satu hakim anggota membebaskan.

Contoh terbaru kasus Probosutedjo. Sebelum Ketua MA Bagir Manan merombak majelis hakim, sebenarnya kan sudah ada pertimbangan hakim. Dua hakim agung menilai Probo tak bersalah dan harus bebas. Ketua MA Bagir Manan tak mengatakan tidak. Tetapi, dia mengatakan bahwa berkasnya diperiksa ulang. Berarti dia (Bagir Manan—Red) tak setuju Probosutedjo bebas.

Apakah itu mencerminkan sistem hukum kita bermasalah?

Tidak. Sistem hukum kita bagus. Sekarang tergantung pada pribadi hakim. Hukum bisa dilihat dari berbagai sudut. Sumber hukum kita banyak, yakni undang-undang, kebiasaan, traktat, hukum internasional, dan yurisprudensi. Tergantung hakim, ingin memakai mana. Bahkan, doktrin juga menjadi sumber hukum.

Dalam kasus Akbar Tandjung, yang digunakan adalah pendapat pakar hukum atau teori hukum. Pengadilan kasasi, majelis hakim hanya melihat dasar penerapan dasar hukum dalam perkara itu.

Majelis hakim di pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding masih melihat hubungan fakta hukum dan dasar hukum. Salah satu anggota majelis hakim kasus Akbar Tandjung pernah bercerita, mereka tidak melihat fakta hukum, tetapi penerapan dasar hukumnya. Ternyata, berdasarkan doktrin penerapannya tidak benar. Akhirnya, majelis hakim kasasi membebaskan Akbar.

Kalau begitu, kelemahannya di mana? Apa jaksanya salah?

Belum tentu. Tergantung sudut pandang mana yang digunakan MA dalam membuat putusan. Kalau majelis hakim agung menyatakan pengambilan putusan berdasarkan kepastian hukum, mereka hanya melihat dasar hukumnya. Yurisprudensi dan doktrin hukum tidak boleh digunakan. Tetapi, bila kita melihat putusan itu dari sisi keadilan hukum, boleh saja. Karena adil bagi yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya.

Dalam sistem hukum Indonesia, hakim hanya melihat kepastian hukum. Hakim hanya menggunakan undang-undang atau peraturan hukum. Hidup ini tak semua baik dan tak semua buruk. Sistem kita, kalau dijalankan benar akan baik.

Tapi, masyarakat melihat penerapan hukum sudah miring?

Masyarakat harus sadar sistem hukum di Indonesia tak menganut sistem keadilan, tetapi sistem kepastian hukum. Selama kita menganut sistem kontinental, kita belum memberi keadilan hukum. Inginnya, kepastian dan keadilan hukum berjalan bersama. Masalahnya, keadilan hukum bisa mengorbankan kepastian hukum.

Mafia peradilan

Menurut pandangan Wila, praktik mafia peradilan di Indonesia susah dibuktikan. Kasus suap di MA, misalnya, sulit dibuktikan. Probo, misalnya, mengaku habis Rp 16 miliar untuk kasusnya mulai dari tingkat terbawah. Namun, kenyataannya dia malah dihukum di pengadilan negeri maupun tinggi.

Hakim harus memutuskan berdasar kebenaran dan di atas kebenaran. Kalau memang hal itu yang terjadi, semua bisa baik. Orang yang berani hanya orang yang benar. Orang yang salah, meski punya banyak uang, tidak akan berani maju kalau hakimnya berprinsip seperti itu. Suap akan hilang dengan sendirinya.

Bagaimana dengan pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial?

Munculnya Komisi Yudisial sebagai pengawas kinerja hakim memunculkan harapan tersendiri bagi pencari keadilan. Tapi, karena komisi ini merupakan lembaga baru dan sebagian besar anggotanya bukan praktisi hukum/peradilan, kemampuannya dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan.

Ini bisa menjadi masalah. Anggota Komisi Yudisial berhak mengangkat staf yang memiliki keahlian di bidang hukum atau praktisi hukum. Staf ahli inilah yang akan meneliti pengaduan yang masuk dan merekomendasikan apakah pengaduan ini bisa diteruskan atau tidak.

Yang juga harus dibenahi adalah sistem registrasi perkara, baik di pengadilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi. Selama ini pihak-pihak yang berperkara saja sering sulit mendapatkan salinan putusan pengadilan. Apalagi pihak luar, pasti lebih sulit.

Lembaga ini harus membenahi sistem informasi atau registrasi perkara, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga pengadilan tingkat kasasi. Hal ini diperlukan agar mereka bisa memetakan masing-masing perkara dengan mudah.

Bila telah ada sistem registrasi atau informasi perkara secara online, hakim akan berhati-hati dalam memutus perkara. Sebab, putusannya bisa dilihat, dipelajari, dan dinilai masyarakat. Dari situlah masyarakat bisa ikut mengawasi kinerja hakim.

Kalau hakim memutus bebas orang yang salah, masyarakat pasti menduga ada apa-apa dibalik putusan itu. Logika awam akan mengarah ke suap. Kalau sistemnya tak dibenahi, satu generasi lembaga ini tak bisa membenahi sistem peradilan dan hakim-hakimnya.

Mahdi Muhammad

Sumber: Kompas, 3 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan