Kantin Kejujuran, Pendidikan Antikorupsi

Di SMA 5 Surabaya, jaksa agung akan meresmikan Kantin Kejujuran dalam pekan pertama November 2008. Mungkin, atas berita itu, sebagian di antara kita refleks menyikapi: Seorang jaksa agung masih sempat mengurusi peresmian sebuah kantin dan di Surabaya lagi? Tak adakah pekerjaan lain yang lebih urgen?

Jujur, Jujur!

Di antara masalah besar (untuk tak menyebut yang terbesar) di sekitar kita adalah korupsi. Sekadar secuil fakta, pada 2005, berdasar laporan sebuah survei, Indonesia raja korupsi di Asia. Sementara itu, pada tahun yang sama, hasil survei Transparency International Indonesia menyebutkan bahwa Surabaya sebagai kota terkorup kedua di Indonesia setelah Jakarta.

Atas fakta itu, siapa pun yang masih punya nurani akan tergerak untuk terus memikirkan bagaimana cara mengatasi penyakit yang memalukan dan merugikan itu. Di level negara, berbagai cara pemberantasan korupsi telah dipilih. Terakhir, kita memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang manfaatnya telah kita rasakan.

Sekalipun demikian, ide terus digali untuk mencari metode terbaik memberantas korupsi, termasuk bagaimana cara mengasah kejujuran dan menumbuhkan mental antikorpsi di kalangan pelajar. Karena itu, lahirlah konsep Kantin Kejujuran (KK) bagi murid-murid. Apa KK itu?

KK -sebagaimana kantin pada umumnya- adalah sebuah tempat di sekolah yang menjual makanan dan minuman. Kantin biasa dikunjungi murid saat istirahat. Tapi, ada hal pokok yang membedakan KK dengan kantin biasa, yaitu tiadanya penjaga kantin atau kasir sehingga si pembeli harus mengambil sendiri makanan dan minuman yang diinginkan, lalu menyelesaikan sendiri pembayarannya. Si pembeli meletakkan uang tepat sejumlah rupiah yang harus dibayarkannya di kotak uang. Jika uangnya lebih besar daripada harga yang harus dia bayar, uang kembali dia ambil sendiri dari kotak uang itu.

Dengan demikian, KK bisa menjadi ajang pembelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, yang pada akhirnya akan bermuara kepada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus memunculkan generasi antikorupsi.

KK akan merefleksikan tabiat para murid yang ada di sekolah itu. Jika KK tak bertahan lama karena bangkrut, bisa dipastikan murid di sekolah itu tak berlaku jujur. Sebaliknya, KK akan semakin maju saat semua murid memegang tinggi asas kejujuran dalam kesehariannya. Lalu, apa implikasi lebih lanjut untuk yang disebut terakhir itu?

Diyakini, korupsi hanya akan terjadi jika ada kesempatan dan kemauan. Kesempatan (untuk korupsi) -secara umum- dimiliki oleh mereka yang memegang kekuasaan (pemimpin). Sementara sampai kini tak terbantahkan ungkapan bahwa ''Student today leader tomorrow (Sekarang pelajar, esok (akan menjadi) pemimpin)''.

Bagi (semua) pelajar, kantin sekolah adalah salah satu tempat yang paling sering dikunjungi. Di tempat itu terjadi transaksi jual beli. Sekalipun nilainya tak besar, peluang untuk korupsi tetap ada. Yakni, menyebut secara tak jujur jumlah makanan atau minuman yang dimakan. Misalnya, makan tiga pisang goreng dan minum dua teh botol, tapi dilaporkan ke kasir hanya dua pisang goreng dan sebotol teh.

Karena itu, dengan KK, diharapkan pelajar (yang kelak akan menjadi pemimpin itu) akan terlatih jujur sehingga dia sama sekali terhindar untuk bermental korup. Jika pembelajaran -teori dan praktik- terus diterima dan dipraktikkan di sekolah, kelak diharapkan para mantan murid yang di kemudian hari menjadi pemimpin itu tak akan tergoda untuk berlaku korup dalam menjalankan jabatannya.

KK itu didesain untuk menyiapkan pelajar (SMA, SMP, dan SD) menjadi generasi yang jujur, yang antikorupsi. KK bertujuan agar murid mendapat pelajaran untuk selalu jujur saat transaksi jual beli. Murid yang lain diharapkan juga ikut saling mengawasi agar semua tetap bersikap jujur dalam melakukan transaksi di KK itu sekalipun tak ada yang menjaga. Itulah sebentuk kontribusi sekolah bagi usaha pemberantasan korupsi.

Mengingat tujuannya sangat mulia, program KK tersebut mendapatkan dukungan banyak pihak. Sebagai contoh, Jaksa Agung Hendarman Supandji meresmikan KK ke-1000 di SMA Negeri 42, Jakarta Timur, pada 15 Oktober 2008. Dalam acara itu, Jaksa Agung mengatakan bahwa keberadaan KK itu tidak lain untuk memupuk sifat jujur dan mengembangkan budaya malu kepada diri murid. Dia percaya bahwa pendidikan kejujuran itu harus melalui proses, yakni dilatihkan sejak dini.

KK juga didukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Eko Soesamto Tjiptadi sempat mengatakan bahwa KK merupakan media praktik pendidikan kejujuran bagi murid sekolah. Murid akan dihadapkan pada dua pilihan, ingin menerapkan kejujuran hati nuraninya atau tidak.

Ayo, Semua!

Banyak yang berharap agar KK bisa menjadi langkah awal pelajaran antikorupsi sejak dini untuk menuju masa depan yang lebih baik. Karena itu, sejumlah kota bersegera untuk memiliki KK seperti yang telah dilakukan Jakarta, Bekasi, Bandung, Semarang, Padang, dll.

Memang, secara konsep, KK sangat bagus. Karenai tu, semua harus mendukungnya. Untuk itu, perlulah kita ikut mengawalnya. Pertama, KK perlu dimulai sedini mungkin. Misalnya, di Jambi dimulai sejak SD.

Kedua, pejabat terkait -seperti level gubernur atau bupati/wali kota- wajib membantu pengadaan dan pengembangan KK. Yang paling awal, pejabat itu harus memikirkan bagaimana KK tersebut bisa segera memasyarakat. Lebih detail lagi, diharapkan pejabat-pejabat itu memberikan dana ''pemancing'' bagi (sejumlah) sekolah untuk menerapkan sistem KK.

Ketiga, langkah sosialisasi harus melibatkan banyak kalangan. Pemimpin dan pejabat harus ikut mengampanyekan itu. Sejumlah pejabat itu, misalnya, ketua DPRD, kepala kejakaan (tinggi atau negeri), rektor perguruan tinggi, dll.

Terakhir, dalam hal menumbuhkan spirit antikorupsi, kita bisa belajar kepada siapa saja. Misalnya, para pejabat negara bisa belajar kejujuran dengan berkaca kepada murid sekolah (dasar dan menengah). Jika murid (SD, SMP, SMA) saja bisa berbuat jujur, mengapa masih banyak pejabat yang bermental korup?

M. Anwar Djaelani , alumnus PPs Unair, dosen STAIL Hidayatullah, Surabaya

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 6 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan