Kampanye Antikorupsi Calon Presiden Tak Strategis [21/06/04]

Kampanye antikorupsi yang disuarakan para calon presiden selama ini dinilai tidak strategis karena tidak ada komitmen pemberantasan korupsi secara struktural. Yang ada hanyalah komitmen pemberantasan korupsi berdasarkan kebaikan hati capres secara personal.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan niat baik capres memberantas korupsi, termasuk untuk memecat menterinya yang menyeleweng, kata pengamat politik Eep Saefullah Fatah dalam diskusi bertema Menuju Pemilihan Presiden Mendatang di Jakarta, Sabtu (19/6).

Diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Alumni Hanns Seidel Indonesia (PAHSI) tersebut juga menampilkan pembicara Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, dan Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Smita Notosusanto.

Menurut Eep, yang diperlukan dalam kampanye adalah komitmen capres untuk memberantas korupsi secara struktural. Hal itu bisa diukur dari enam hal, yakni siapa aktor penegak hukum yang akan ditunjuk, langkah perbaikan aturan hukum, pemberdayaan lembaga-lembaga, mekanisme pemberantasan korupsi, dukungan publik, dan sistem pemberantasan korupsi. Belum ada satu pun (capres) yang memberikan komitmen untuk membangun enam infrastruktur itu dalam pemberantasan korupsi. Itu kita sesalkan, kata Eep.

Aktor
Infrastruktur pertama mengenai aktor pemberantasan korupsi tersebut bertumpu pada empat sosok, yaitu jaksa agung, kepala kepolisian negara, menteri kehakiman, dan menteri sekretaris negara. Empat posisi strategis itu akan sangat menentukan langkah kerja birokratis untuk pemberantasan korupsi, langkah-langkah hukum, dan politiknya, ujarnya. Di samping itu, capres seharusnya juga menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi dengan memperbaiki sejumlah aturan.

Kandidat doktor Ohio State University mencontohkan aturan mengenai pemecatan terhadap menteri yang menyeleweng. Saat ini, belum ada mekanisme pertanggungjawaban politik atau birokratis bagi menteri-menteri yang menyeleweng. Yang berlaku adalah pertanggungjawaban hukum sehingga menteri tersebut baru bisa dipecat setelah terbukti secara hukum.

Akibat tidak jelasnya langkah pemberantasan korupsi secara struktural oleh para capres, warga negara sebagai pemilih akan kesulitan untuk menagih janji-janji antikorupsi itu kepada capres terpilih. Terlepas dari soal itu, Eep mengakui, struktur politik yang ada tidak bisa memaksa presiden untuk menepati janji-janjinya selama masa kampanye.

Smita menambahkan, minggu terakhir masa kampanye hingga masa tenang akan rawan terjadi pembelian suara terhadap calon pemilih. Pembelian suara akan banyak dilakukan secara berkelompok, misalnya melalui kepala desa-kepala desa dengan iming-iming pembangunan jalan atau infrastruktur lainnya.

Presiden lemah
Dalam diskusi tersebut, Direktur Eksekutif LSI Denny JA mengatakan, siapa pun capres yang terpilih, pemilu mendatang akan menghasilkan presiden yang lemah. Hal ini karena tidak ada satu pun partai yang mengusung para capres itu menjadi kekuatan mayoritas di parlemen.

Situasi tersebut juga akan menciptakan peta politik dalam negeri semakin terfragmentasi. Siapa pun yang terpilih, politik akan semakin terfragmentasi. Presiden yang terpilih juga akan lemah, apakah SBY, Wiranto, atau Megawati, sama saja, kata Denny. (SAM)

Sumber: Kompas, 21 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan