Kami Ingin Jujur
Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menampik anggapan bahwa Pedoman Perilaku Hakim bukan untuk mengesahkan pemberian hadiah. Namun, desakan dari publik agar pedoman itu diubah kencang terdengar.
Yophiandi Kurniawan, Sutarto, dan Fanny Febriana dari Tempo mewawancarai Bagir dalam dua kesempatan terpisah, 3 Juli dan 25 Juni lalu. Berikut ini petikannya.
Mengapa pemberian hadiah muncul dalam pedoman perilaku hakim?
Ada dokumen, namanya Bangalore Principles dan Code of Conduct America II. Dapat ditemukan batas-batas hakim boleh menerima hadiah.
Mengapa boleh menerima dari pihak yang beperkara sebelum perkara diputus?
Sudah dijelaskan, yang boleh diterima itu barang yang tak akan ada pengaruhnya. Jangan dibayangkan yang diberikan itu kunci mobil. Karena itu, kami sengaja menjelaskan, itu barang-barang kecil.
Kok, menerima hadiah tak dilarang?
Kok, soal hadiahnya saja yang dimuat (pers). Tak menulis larangannya? Asasnya kan dilarang dan harus memperhatikan Undang-Undang tentang Gratifikasi. Di dalam penjelasannya ada hal-hal yang masih dibolehkan dan disebut hal-hal yang dilarang. Ini realitas, kami ingin jujur mengatakan hal yang kecil boleh saja (diterima). Tak boleh menerima barang-barang yang menyebabkan orang itu, bahasa kasarnya, menjadi lebih kaya daripada sebelumnya.
Apa yang dilarang?
Diberi contoh dalam pedoman itu, bolpoin yang berharga tak boleh, cincin tidak boleh. Kami ingin publik tahu, kalau sekadar ngirim bunga, ya, tak apa-apa. (Yang menerima) gratifikasi itulah yang wajib melaporkan hadiah-hadiah.
Kalau uang?
Uang sama sekali tidak boleh.
Tak akan mempengaruhi independensi hakim?
Misalnya Lebaran. Masak itu mempengaruhi orang hanya karena satu karangan bunga? (tertawa)
Sumber: Koran tempo, 4 Juli 2006