Kaltim, Wilayah (Bebas) Melakukan Korupsi

Provinsi Kalimantan Timur mendeklarasikan diri sebagai Zona Integritas menuju wilayah bebas korupsi (WBK). Inisiatif pencanangan layak diapresiasi meskipun hasilnya diragukan. Ketika WBK dideklarasikan, Awang Farouk, Gubernur Kaltim, masih berstatus tersangka dalam perkara korupsi, meskipun akhirnya penyidikan dihentikan pada tahun 2013.  Betulkah Kaltim sudah menjadi  Wilayah Bebas Korupsi (WBK)?

Emerson Yuntho, peneliti ICW, mengakui bahwa laporan dugaan korupsi di Kaltim masih tergolong tinggi. “Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2012, Kaltim masuk peringkat 9 besar provinsi yang banyak dilaporkan masyarakat untuk kasus korupsi,” terang Emerson. Hingga akhir 2012, sebanyak 1.742 laporan dugaan korupsi di Kaltim mengalir ke KPK.

Berdasarkan data KPK 2012, KPK sudah menangani langsung 11 perkara korupsi di Kaltim. Tercatat pengembalian kerugian negara sebesar Rp 346 miliar oleh Marthias, terpidana perkara korupsi Penerima IPK dan penikmat kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur Kaltim sebelumnya, Suwarna AF, adalah yang terbesar yang diperoleh KPK hingga saat ini.

Dugaan kerugian negara di Kaltim juga sangat fantastis. Pokja 30, lembaga pemantau anggaran yang bergerak di wilayah Samarinda, mencatat potensi kerugian negara di Kaltim mencapai lebih dari Rp 8 triliun. Pantauan Pokja 30 berdasar pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006-2010.

Laporan Kementrian Kehutanan 2011 juga menyebutkan kerugian negara akibat korupsi sektor kehutanan di Kaltim tergolong tinggi. Emerson menyampaikan, “Agustus 2011, potensi  kerugian negara akibat izin pelepasan kawasan hutan di 7 Provinsi di Indonesia diprediksi hampir Rp 273 triliun,” jelas Koordinator Pokja 30 Carrolus Tuah.

Tuah menuturkan, penyebabnya adalah pembukaan 727 unit perkebunan dan 1722 unit pertambangan yang dinilai bermasalah. “Ini menjadikan Kaltim sebagai salah satu penyumbang kerugian negara hingga mencapai Rp 31,5 triliun, dan menempati peringkat dua sebagai provinsi yang diperkirakan merugikan keuangan negara akibat kejahatan kehutanan,” ujar Tuah prihatin.

Upaya pemberantasan korupsi di Kaltim juga masih mengecewakan. Pemberantasan korupsi di tingkat lokal, khususnya jika menyangkut eksekutif, belum maksimal. Ini menjadikan indepedensi peradilan Kaltim diragukan.

“Selain Kejaksaan dan Kepolisian, komitmen antikorupsi Pengadilan Tipikor Samarinda juga perlu dipertanyakan. Sudah 17 terdakwa korupsi divonis bebas di Pengadilan Tipikor Samarinda,” tukas Tuah lagi. Masyarakat Sipil Antikorupsi di Kaltim menyimpulkan bahwa Kaltim saat ini masih menjadi Wilayah Bebas Melakukan Korupsi.

Namun, masyarakat tak tinggal diam. Untuk mendorong WBK di Kaltim, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi akan mengawasi kasus-kasus korupsi di Kaltim yang ditangani penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Pengadilan Tipikor—termasuk kasus korupsi yang dikordinasi dan disupervisi oleh KPK.

“Secara rinci, ada 32 kasus korupsi yang ditangani jajaran Kejaksaan dan Kepolisian di Kaltim, termasuk 15 kasus korupsi yang berada di bawah kordinasi dan atau supervisi KPK pada periode 2011-2013 yang akan dipantau,” tutur Emerson.

Koalisi akan memantau setiap tahap proses penyidikan, penuntutan, persidangan hingga pelaksanaan eksekusi. Hasilnya, menurut Emerson, akan disampaikan kepada Jaksa Agung, Kapolri dan Ketua KPK sebagai bagian penilaian terhadap kinerja masing-masing pimpinan penegak hukum di tingkat lokal.

Tuah menegaskan, “Apabila nanti ada indikasi mafia hukum dalam penanganan kasus, kami akan meminta KPK untuk mengambil alih kasus korupsi tersebut.”

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Kaltim terdiri dari ICW, POKJA 30, Naladwipa Institute Samarinda, JATAM Kaltim,  Komkep Keuskupan Agung Samarinda, IMM, PMII Kom. STAIN Samarinda, KMDKT, FORUM PELANGI, AMAN KALTIM, Ellie Hasan ( Pekerja Sosial), dan Gusdurian Kaltim.

Unduh: Lampiran Kasus Korupsi di Kaltim dan Perkiraan Kerugian Negara Akibat Kejahatan Kehutanan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan