Kaltim Prima Coal Menang; Kementerian Keuangan Akui Ada Masalah Berat di Pengadilan Pajak
Komisi Yudisial akan meneliti putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang memenangkan PT Kaltim Prima Coal dalam sengketa pajak senilai Rp 1,5 triliun dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
”Kami akan proaktif minta salinan putusan. Selanjutnya, kami akan menganalisis sesuai koridor undang-undang,” ujar Ketua KY Busyro Muqoddas di Jakarta, Rabu (26/5).
Senin lalu, majelis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA), yang diketuai Paulus Effendie Lotulung, dengan hakim anggota Supandi dan Imam Soebechi, menolak permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak. Perkara nomor 141 B/PK/PJK/2010 itu diputus dalam jangka waktu kurang dari dua bulan.
Seperti dilansir dalam situs resmi MA, perkara itu masuk ke MA pada 29 Maret 2010. Berkas perkara diedarkan ke majelis PK pada 19 April lalu dan putus pada 24 Mei 2010. Kepala Subbagian Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Andri Kristianto Sutrisno membenarkan adanya putusan perkara tersebut.
Masalah berat
Terkait dengan putusan itu, Busyro menagih janji MA yang telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Keuangan dan KY di Kantor Kementerian Keuangan, beberapa waktu lalu. Nota kesepahaman itu, antara lain, berisi tentang pengakuan adanya masalah berat di Pengadilan Pajak dan pembentukan tim untuk mencari format baru bagi pembenahan pengadilan tersebut.
”Kami tagih saja. Komitmen itu kan perlu pembuktian,” ujarnya.
Busyro mengatakan pula, penegakan hukum, termasuk penegakan perpajakan, masih terkendala oleh belum kuatnya kemauan politik dari penegak hukum sehingga apa pun slogan atau jargon yang dibuat oleh pemerintah dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum menjadi percuma jika tidak didukung kemauan yang cukup.
Tunggakan pajak
Kasus yang diputuskan MA itu bermula ketika Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mengumumkan dilakukannya penyidikan terhadap dugaan tunggakan pajak tahun 2007 yang dilakukan PT Kaltim Prima Coal (KPC) senilai Rp 1,5 triliun, PT Bumi Resources Rp 376 miliar, dan Arutmin senilai Rp 300 miliar.
Kasus itu berlanjut hingga ke Pengadilan Pajak yang memutuskan tidak diizinkannya Ditjen Pajak menyidik KPC. Pengadilan Pajak menilai tidak ada alasan dan bukti yang kuat untuk dilakukannya penyidikan tersebut. Putusan dijatuhkan pada Desember 2009.
KPC pernah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena Ditjen Pajak dinilai tidak mematuhi putusan itu. Namun, PN Jaksel tidak menerima gugatan praperadilan tersebut dengan alasan tak berwenang mengadili perkara tersebut.
Berembus ke DPR
Isu ditolaknya PK oleh MA ini menjadi perbincangan di parlemen. Wakil Ketua Komisi III (Bidang Hukum) DPR Tjatur Sapto Edy menilai, penanganan kasus pajak oleh lembaga peradilan harus menjadi perhatian KY. Apalagi terkait kasus penggelapan pajak dalam jumlah besar karena sangat merugikan keuangan negara.
Selain itu, Tjatur juga meminta KY meningkatkan pemahaman para hakim mengenai hukum atau aturan perpajakan. Selama ini lembaga peradilan, termasuk Pengadilan Pajak, kerap memenangkan perusahaan pada saat bersengketa dengan negara.
”Itu menunjukkan pemahaman hukum bisnis dari hakim itu masih lemah. Sering sekali negara dikalahkan saat ada perkara dengan perusahaan meski menyangkut masalah aset negara yang sangat besar,” tutur politisi dari Partai Amanat Nasional itu.
Secara terpisah, politisi dari Partai Golkar, yang juga Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso menyatakan, ”Saya malah baru dengar kabar itu. Sama sekali tidak ada intervensi, apalagi terkait dengan setgab. Kami (parpol) tidak dapat menjangkau (penanganan) hukum”. (ana/nta)
Sumber: Kompas, 27 Mei 2010