Kalla Akui Dana Fiktif Kampanye Hanya Rp 600 Juta [05/08/04]
Calon wakil presiden dari Partai Demokrat, Jusuf Kalla, mengaku telah melakukan pengecekan ulang atas seluruh dana yang diterima tim suksesnya untuk keperluan kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden putaran pertama. Dia menyebutkan bahwa dana yang dikategorikan fiktif itu senilai sekitar 600 juta. Untuk itu, Kalla akan memberikan klarifikasi kepada publik mengenai dana yang dikategorikan oleh Transparency International Indonesia dan Indonesia Corruption Watch sebagai dana fiktif tersebut.
Yang terjadi itu adalah kesalahan alamat, kesalahan ketik, atau kesalahan dari penyumbang sendiri dalam memberikan alamat. Contohnya salah menuliskan alamat di Palu. Padahal, setelah kami cek ulang, alamat penyumbang terletak di Poso, ujar Kalla seusai memaparkan visi dan misi ekonomi ke jajaran direksi RCTI, TPI, GlobalTV, dan Majalah Trust di Jakarta, Rabu (4/8).
Atas sejumlah kesalahan yang kemudian disebut Transparency International Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai dana fiktif tersebut, Kalla akan segera memberikan klarifikasi agar ada kejelasan. Menurut pengecekan ulang yang dilakukannya, dana yang dikategorikan fiktif tersebut nilainya sekitar Rp 600 juta bukan Rp 2,65 miliar seperti temuan TII dan ICW yang dilaporkan kepada Panitia Pengawas Pemilu atau Panwas (Kompas, 4/8).
Kalla mengungkapkan, jika laporan TII dan ICW kepada Panwas benar dan penyumbang yang dikategorikan fiktif itu tidak bisa diverifikasi, pihaknya bersedia menyerahkan dana itu ke kas negara sesuai dengan ketentuan undang-undang. Yang jelas, tidak ada unsur kesengajaan dari pihak kami sehingga hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana pemilu, paparnya.
Harus diaudit
Menindaklanjuti laporan hasil temuan ICW dan TII itu, Panwas segera meminta Panwas provinsi untuk mengkonfirmasi laporan itu. Selain itu, Panwas juga akan mengonfirmasi penyumbang dana kampanye berdasarkan laporan yang disampaikan oleh pasangan calon kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), kata Siti Noordjannah Djohantini, anggota Panwas yang menangani laporan sumbangan dana kampanye.
Dalam laporannya yang disampaikan kepada Panwas, Selasa (3/8), TII dan ICW menyebutkan adanya penyumbang fiktif-baik perseorangan maupun perusahaan-kepada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang melaju ke putaran kedua. Oleh karena itu, TII dan ICW meminta KPU menunda penetapan calon presiden dan wakil presiden peserta pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua.
Noordjannah menyampaikan, Panwas sudah melaksanakan rapat pleno pada Rabu pagi, yang menghasilkan putusan untuk mengkaji dan menindaklanjuti laporan mengenai sumbangan dana kampanye. Tindak lanjut itu difokuskan pada laporan yang disampaikan TII dan ICW meskipun nantinya Panwas juga akan meminta konfirmasi kepada KPU, apakah pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon tersebut sudah dilaporkan kepada KPU.
Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya. Pasangan calon yang menerima dana dari penyumbang tersebut tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU selambat-lambatnya 14 hari setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara. Pasangan calon yang tidak memenuhi kewajiban itu dikenai sanksi pidana dan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti mengatakan, kelompok kerja dana kampanye masih akan mengkaji laporan yang disampaikan oleh TII dan ICW. Dari hasil kajian itu dapat diketahui apakah KPU perlu meneliti lebih lanjut sumbangan dana kampanye-khususnya yang diduga fiktif-atau tidak.
Dalam kaitan laporan sumbangan fiktif dana kampanye dari TII dan ICW itu, KPU didesak untuk melakukan audit ulang. Ketua Dewan TII Todung Mulya Lubis dan Direktur Eksekutif Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti, secara terpisah, juga mendesak agar KPU memberikan sanksi kepada capres yang terbukti memberikan laporan sumbangan fiktif.
Lubis mengatakan, KPU harus mengaudit ulang sumbangan fiktif itu untuk merespons laporan dari TII dan ICW karena kedua lembaga swadaya masyarakat itu bisa saja salah. (SIE/INU/idr)
Sumber: Kompas, 5 Agustus 2004