Kalangan Media Massa Cemaskan RUU Rahasia Negara

Menhan mengingatkan, tidak ada keterbukaan mutlak.

Kalangan Media massa mengaku cemas terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara yang saat ini sedang dibahas panitia kerja DPR. Hal ini mengemuka dalam pertemuan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dengan pemimpin redaksi media massa cetak dan elektronik di kantor Departamen Pertahanan (Dephan), Jakarta, Kamis (6/8).

Dalam kegiatan yang berlangsung sekitar 3 jam itu, Juwono menjelaskan kinerja Dephan 4,5 tahun terakhir ini. Dari 19 pemimpin redaksi yang hadir, mayoritas mencemaskan RUU Rahasia Negara akan menggiring kembali ke rejim otoriter.

Meskipun demikian, Juwono menegaskan, elemen masyarakat sipil seperti lembaga swadaya masyarakat dan media massa tidak perlu khawatir berlebihan. "Tidak akan seperti dulu di mana tentara terlalu ketat mengawasi. Tidak akan ada pula pembredelan korporasi," kata Juwono.

Dia mengatakan, masyarakat sipil malah diminta menjadi garda terdepan untuk mengontrol. Apa pun pasal-pasal yang disepakati dalam rancangan, harus dikritisi seperti apa implementasinya di lapangan.

"Jadi masyarakat sipil harus tetap menggugat secara faktual supaya aturan tidak disalahgunakan oleh penyelenggaran negara," katanya.

Dephan, kata dia, membuka ruang untuk menyampaikan saran dan masukan yang ada. "Tidak harus formal. Bisa diungkapkan dalam pertemuan silaturahmi seperti ini," kata mantan duta besar Indonesia untuk Inggris itu.

Hanya saja, Juwono mengingatkan, kadar rahasia diperlukan pemerintahan mana pun di dunia ini. "Tidak ada keterbukaan mutlak."

Direktur Pacivis Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, menganggap rancangan versi Dephan tak layak diundangkan. Rancangan hanya memenuhi satu syarat dari tiga parameter.

"Hanya lolos untuk prosedur penentuan rahasia negara," katanya saat diskusi yang digelar Institut Studi Arus Informasi (ISAI), dua hari lalu.

Dia menilai rancangan memberi kewenangan jelas dan terbatas pada pengelola rahasia negara. "Pejabat jadi tidak bisa seenaknya mengecap suatu dokumen rahasia."

Namun, dari sisi ruang lingkup rahasia yang menjadi parameter lain, rancangan tidak memenuhi kriteria. Definisi rahasia negara terlalu luas. "Harusnya hanya informasi strategis," katanya.

Parameter terakhir, yaitu akses dan distribusi informasi juga belum dijabarkan. Tidak diatur bagaimana kalau masa retensi berakhir.

Dia mencurigai adanya niat pemerintah untuk kembali otoriter seperti zaman Orde Baru. Pasalnya, cakupan yang sangat luas menutup banyak hal. "Transparansi pun jadi tidak ada," kata dia.

Staf Ahli Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indraya mengatakan, pemerintah dan DPR mesti membenahi substansi rancangan yang dinilai belum pas. "Sehingga rancangan layak disandingkan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik," katanya.

Anggota Komisi I (bidang pertahanan) DPR, Dedy Djamaluddin Malik menambahkan, draf yang sedang dibahas masih terbuka untuk dikaji ulang. Dia berjanji rancangan tetap dalam koridor demokrasi dan supremasi sipil. "Kami juga tidak ingin UU Keterbukaan jadi sia-sia," kata dia.[by : Adhitya Cahya Utama]

-----

Kekhawatiran terhadap RUU Rahasia Negara Jangan Berlebihan
by : Adhitya Cahya Utama

UU KIP diakui menjadi acuan utama RUU Rahasia Negara.

Menteri Perhanan Juwono Sudarsono meminta kepada masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan media massa tidak terlalu mengkhawatirkan RUU Rahasia Negara secara berlebihan. Hal ini mengemuka dalam pertemuan antara Menteri dengan para pemimpin redaksi media massa cetak dan elektronik di kantor Departamen Pertahanan (Dephan), Jakarta, Kamis (6/8).

Dalam kegiatan yang berlangsung sekitar dua jam itu, Juwono sebetulnya lebih banyak menjelaskan kinerja Dephan selama 4,5 tahun terakhir ini. Meskipun demikian, saat menjawab pertanyaan Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional Ramadahan Pohan tentang RUU Rahasia Negara, Juwono menegaskan, masyarakat sipil dan media massa tidak perlu khawatir berlebihan.

"Tidak akan seperti dulu di mana tentara terlalu ketat mengawasi. Tidak akan ada pula pembredelan korporasi," kata Juwono, saat ditanya wartawan usai acara tersebut.

Juwono mengatakan, masyarakat sipil malah diminta menjadi garda terdepan untuk mengontrol. Apa pun pasal-pasal yang disepakati dalam rancangan, harus dikritisi seperti apa implementasinya di lapangan. "Jadi masyarakat sipil harus tetap menggugat secara faktual supaya aturan tidak disalahgunakan oleh penyelenggaraan negara," katanya.

Dephan, kata dia, membuka ruang untuk menyampaikan saran dan masukan yang ada. "Tidak harus formal. Bisa diungkapkan dalam pertemuan silaturahmi seperti ini," kata mantan duta besar Indonesia untuk Inggris itu.

Hanya saja, Juwono mengingatkan, kadar rahasia diperlukan pemerintahan mana pun di dunia ini. "Tidak ada keterbukaan mutlak."

Senada dengan Juwono, Staf Ahli Bidang Hubungan Ideologi dan Politik Dephan Agus Brotosusilo mengatakan, acuan utama RUU Rahasia Negara adalah UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). "Meskipun demikian, RUU Rahasia Negara juga memiliki keterkaitan dengan UU lainnya, termasuk UUD 1945. Sehingga harus disesuaikan dengan berbagai UU tersebut," kata Agus.

Sebelumnya, Direktur Pacivis Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, menganggap rancangan versi Dephan tak layak diundangkan. Rancangan hanya memenuhi satu syarat dari tiga parameter.

"Hanya lolos untuk prosedur penentuan rahasia negara," katanya saat diskusi yang digelar Institut Studi Arus Informasi (ISAI), dua hari lalu.

Dia menilai rancangan memberi kewenangan jelas dan terbatas pada pengelola rahasia negara. "Pejabat jadi tidak bisa seenaknya mengecap suatu dokumen rahasia."

Namun, dari sisi ruang lingkup rahasia yang menjadi parameter lain, rancangan tidak memenuhi kriteria. Definisi rahasia negara terlalu luas. "Harusnya hanya informasi strategis," katanya.

Parameter terakhir, yaitu akses dan distribusi informasi juga belum dijabarkan. Tidak diatur bagaimana kalau masa retensi berakhir.

Dia mencurigai adanya niat pemerintah untuk kembali otoriter seperti zaman Orde Baru. Pasalnya, cakupan yang sangat luas menutup banyak hal. "Transparansi pun jadi tidak ada," kata dia.

Staf Ahli Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indraya mengatakan, pemerintah dan DPR mesti membenahi substansi rancangan yang dinilai belum pas. "Sehingga rancangan layak disandingkan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik," katanya.

Anggota Komisi I (bidang pertahanan) DPR, Dedy Djamaluddin Malik menambahkan, draf yang sedang dibahas masih terbuka untuk dikaji ulang. Dia berjanji rancangan tetap dalam koridor demokrasi dan supremasi sipil. "Kami juga tidak ingin UU Keterbukaan jadi sia-sia," kata dia.

Sumber: Jurnal Nasional, 7 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan