Justice Collaborator

Pada kasus megakorupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan pihak Kementerian Dalam Negeri, pengusaha, dan sejumlah anggota DPR, telah ditetapkan dua terdakwa, Irman dan Sugiharto. Kedua mantan petinggi Kementerian Dalam Negeri itu telah mengajukan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama.

Keuntungan apa yang diperoleh JC? Apa kepentingan penegak hukum memberikan status JC bagi pelaku?

Peran penting JC dapat ditengok dari perkara mafia berkuasa di Amerika (1931), god father Al Capone. Kesulitan yang dihadapi penyidik membuktikan kejahatan Al Capone karena banyak pejabat dan penegak hukum korup sudah dalam kendali bos mafia itu. Kesulitan berhasil diurai ketika penyidik berhasil meyakinkan akuntan Al Capone untuk bersaksi dengan memberikan jaminan keamanan dan pembebasan dari proses hukum kepadanya. Singkat cerita, Al Capone berhasil dipidana berkat keberadaan JC itu.

Dalam beberapa perkara yang ditangani KPK, terdapat sejumlah terdakwa yang menyandang status JC. Misal, Damayanti dan Abdul Khoir pada perkara suap proyek pembangunan jalan di Maluku. Sebagian besar tersangka pada suap hakim PTUN Medan menyandang status JC, kecuali OC Kaligis. Salah satu yang menarik, Amir Fauzi, hakim PTUN Medan, menyandang JC berdasarkan penilaian hakim dalam putusannya. Nazaruddin pun mendapat status JC pada perkara proyek Hambalang.

Sudah tepatkah pemberian status JC tersebut?

Regulasi JC

Di Indonesia, embrio keberadaan JC bisa ditelusuri dari Pasal 10 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diadopsi juga dalam Pasal 79 UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kedua UU tersebut memiliki pasal dengan frasa yang sama, yaitu seorang saksi yang juga tersangka tidak bisa dibebaskan dari tuntutan pidana, tetapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan.

Sekalipun istilah JC sudah muncul dalam konvensi PBB anti korupsi tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006, ketentuan dalam Pasal 37 Ayat 2 dalam konvensi tersebut masih bersifat filosofis. Ketentuan serupa ada dalam konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi yang diratifikasi Indonesia dalam UU No 5/2009.

Operasionalisasi status JC baru terfasilitasi dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, diikuti terbitnya Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, serta LPSK pada tahun yang sama yang mengatur tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama. Selanjutnya, pengaturan soal JC ini tertuang dalam UU No 31/2014 tentang Perubahan atas UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2014 tersebut dapat menjadi pedomanpenegak hukum dalam menetapkan JC karena dalam UU ini telah terpapar tentang syarat JC, perlakuan secara hukum kepadanya, dan penghargaan (reward) yang didapat JC. Masuknya pengaturan tentang JC dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak terlepas dari filosofi bahwa pemenuhan hak JC merupakan bagian dari perlindungan terhadap JC. Namun, sejauh ini belum terkonfirmasi apakah pemberian status JC dalam dua tahun terakhir ini telah merujuk pada UU Perlindungan Saksi dan Korban di atas.

Seorang pelaku dapat dinyatakan sebagai JC jika memiliki keterangan dan bukti yang sangat signifikan untuk mengungkap tindak pidana, bukan pelaku utama, mengungkap pelaku-pelaku yang memiliki peran lebih besar dan bersedia mengembalikan aset dari tindak pidana tersebut.

Kapan status JC diberikan? UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2014memberikan ruang kepada aparat penegak hukum memberikan status JC sejak proses penyidikan. Namun, beberapa pandangan penyidik dan penuntut umum menghendaki status JC tersebut diberikan setelah calon JC menyampaikan keterangannya sebagai saksi di persidangan. Pendapat ini didasarkan pada kekhawatiran bahwa calon JC tidak mengungkap keterangan yang benar ketika bersaksi di persidangan. Kekhawatiran ini beralasan, tetapi tidak sepenuhnya benar.

Penulis menilai, pemberian status JC sebaiknya diberikan sejak penyidikan, jika dalam proses penyidikan pelaku telah menunjukkan itikad baik, mengingat penanganan secara khusus sebagai bagian dari reward, telah bisa dinikmatiJC sejak penyidikan. Penanganan khusus itu berupa pemisahan tempat tahanan dengan tersangka lain. Juga pemisahan pemberkasan dengan berkas tersangka lain.

Apabila penanganan secara khusus bagi JC ini terlambat diberikan, dikhawatirkan tujuan pengungkapan perkara yang diharapkan tidak tercapai. Hal itu karena pelaku lain yang memiliki peran lebih besar tentu tidak menghendaki adanya saksi yang bisa mengungkap kejahatan mereka. Pelaku lain itu bisa menggunakan segala cara, baik bujuk tipu rayu maupun kekerasan, untuk meniadakan saksi yang memberatkan tersebut.

Kekhawatiran pelaku atau calon JC tidak memberikan keterangan yang benardalam persidangan seharusnya tidak menjadi alasan menunda pemberian status JC karena putusan aparat penegak hukum dalam pemberian JC tersebut masih dapat dikoreksi jika ternyata pelaku melanggar kerja sama dengan aparat penegak hukum ketika bersaksi di persidangan.

Di sisi lain, pelaku utama dalam suatu perkara bisa saja bermain mata dengan oknum aparat penegak hukum untuk melokalisasi pertanggungjawaban. Kolusi macam ini dapat menutup peluang saksi pelaku yang bekerja sama untuk mendapatkan status JC.

Apabila merujuk pada SEMA Nomor 4 Tahun 2011, terbuka ruang bagi pelaku yang bekerja sama yang tidak ditetapkan sebagai JC dalam tuntutan jaksa memperoleh status JC dari hakim. Alasannya, karena dalam SEMA tersebut hakim diberi wewenang untuk menetapkan terdakwa sebagai JC jika dinilai memenuhi syarat sebagai JC.

Antara ”reward” dan siasat

Ada baiknya para pelaku korupsi KTP elektronik atau perkara korupsi lainnya mempertimbangkan mengajukan diri sebagai JC. Kenapa? Karena dengan menjadi JC, terdakwa mendapat keringanan penjatuhan pidana. Keringanan penjatuhan pidana yang dimaksud dengan mencakup pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lainnya.

Bahkan, dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2014 ditegaskan bahwa hakim harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh rekomendasi LPSK bagi terpenuhinya reward terhadap JC itu.

Reward ini juga berlanjut hingga JC menjadi terpidana. Ia berhak untuk memperoleh remisi tambahan dan hak-hak narapidana lainnya.Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mensyaratkan status JC untuk mendapatkan remisi bagi narapidana korupsi dan tindak pidana tertentu lainnya.

Harap diingat, keberadaanJC ini menguntungkan dua belah pihak, yakni pelaku dan aparat penegak hukum. Pelaku mendapatkan keringanan hukuman, aparat penegak hukum mendapat bukti untuk menjerat pelaku lain.Dengan demikian, peran aktif untuk adanyaJC pada kejahatan teroganisasi dapat lahir dari keinsafan pelaku ataupun tawaran (bargaining) aparat penegak hukum kepada pelaku.

Karena status JC tidak terlepasdari proses tawar-menawar (bargaining), maka wajar timbul tanya di publik terkait pemberian status JC tersebut.Misal, benarkah penerima status JC itu bukan pelaku utama? Dalam perkara suap pembangunan proyek jalan di Maluku, hakim menilai tidak tepat pemberian status JC yang disematkan KPK kepada terdakwa Abdul Khoir, Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama. Sebab, hakim berpendapat Abdul adalah pelaku utama.

Pertanyaan tentang pemberian status JC juga disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada Kejaksaan yang menerbitkan 670 status JC sepanjang 2013 hingga Juli 2016. Pemberian status JC itu seharusnya disematkan dalam proses penyidikan dan penuntutan atau dinyatakan hakim dalam putusan. Apabila pemberian status JC itu diberikan pasca putusan, tentu mengundang tanya.

Guna menguji kelayakan status JC tersebut, sebaiknya ada lembaga yang melakukan audit hal itu. LPSK sebagai lembaga yang dimandatkan memberikan perlindungan kepada JC dapat dilibatkan secara aktif untuk menimbang pemberian status JC itu agar obyektivitas pemberian JC dapat dipastikan telah sesuai, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Terlepas dari motif pelaku mengajukan JC sebagai pintu pertobatan atau strategi meminimalkan hukuman, bagi kepentingan hukum, sepanjang keterangan pelaku tersebut dapat membuat terang perkara dan menjerat pelaku utama lainnya, motif pelaku tersebut tidaklah penting.

Namun, patut dipertimbangkan itikad baik pelaku dalam membongkar kejahatan pelaku lainnya. Itikad baik ini mensyaratkan keterangan yang diberikan bukan keterangan palsu, sumpah palsu, atau permufakatan jahat. Soal ini, integritas calon JC penting diuji oleh penegak hukum sebelum menetapkan status JC.Penyematan status JC juga harus dipastikan bukan lahir dari proses transaksional atau politisasi hukum yang menargetkan pihak tertentu lainnya dijadikan pesakitan.

Untuk memetik kemenangan perang melawan korupsi, seleksi lencana JC pada mereka yang bukan pelaku utama pada perkara KTP elektronik dapat menjadi pintu masuk untuk mengakhiri peran god father korupsi yang selama ini sulit disentuh. Perang ini harus dimenangkan.

EDWIN PARTOGI, WAKIL KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

-----------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "”Justice Collaborator”".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan