Jurang Gelap Skandal BLBI
Silang sengkarut skandal korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti berada di bibir jurang. Setelah proses hukum obligator BLBI tersendat-sendat hampir 10 tahun, Kejaksaan Agung justru menghentikan penyelidikan kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan Anthoni Salim (28 Februari). Tiga hari berselang, publik dikejutkan oleh kabar tertangkapnya UTG, Ketua Tim Jaksa BLBI, dalam dugaan suap Rp 6 miliar.
Silang sengkarut skandal korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti berada di bibir jurang. Setelah proses hukum obligator BLBI tersendat-sendat hampir 10 tahun, Kejaksaan Agung justru menghentikan penyelidikan kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan Anthoni Salim (28 Februari). Tiga hari berselang, publik dikejutkan oleh kabar tertangkapnya UTG, Ketua Tim Jaksa BLBI, dalam dugaan suap Rp 6 miliar.
Di tengah tingginya perhatian publik untuk mengungkap kasus BLBI, Mahkamah Agung justru mengurangi hukuman salah seorang obligator BLBI, David Nusa Wijaya, hingga 4 tahun pidana. Ketidakpercayaan sekaligus kekecewaan publik telah bertumpuk. Indonesia Corruption Watch mencatat, putusan ini salah satu bentuk ketidakberpihakan pengadilan umum terhadap agenda antikorupsi.
Secara makro, lemahnya komitmen pengadilan umum dalam kasus korupsi dapat dilihat dari tren putusan tahun 2005 hingga 2007. Sebagian besar hakim memutus bebas atau menerapkan pidana minimum terhadap terdakwa korupsi. Pada 2005, lebih dari 75 persen putusan dikategorikan tidak berpihak pada agenda antikorupsi, dengan perincian 41 persen diputus bebas dan 34,6 persen dihukum pidana minimal kurang dari 2 tahun. Fenomena ini tidak berubah secara mendasar hingga 2007.
Seperti catatan ICW, bahkan pada 2007 putusan bebas mencapai angka 56,8 persen, dan hukuman minimal sejumlah 15,2 persen. Dari catatan ini dapat dibaca fenomena krisisnya pemberantasan korupsi jika masih ditangani pengadilan umum. Atas dasar itulah, korupsi BLBI sebagai sebuah megaskandal yang merugikan rakyat ratusan triliun rupiah harus dijauhkan dari prosedur yang berujung pada pengadilan umum. Di titik inilah dorongan agar KPK mengambil alih dan proses hukum dilaksanakan pada pengadilan tindak pidana korupsi harus disikapi serius.
Jika dicermati, inilah putusan yang kesekian kalinya menafikan aturan hukum fundamental. Hakim secara tegas telah tak mengacuhkan kewajibannya. Bab IV Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur tiga pasal mendasar tentang kewajiban hakim. Disebutkan, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1), dan dalam mempertimbangkan berat-ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau jahatnya terdakwa (ayat 2).
Semangat antikorupsi pada putusan kasasi sebelumnya juga disingkirkan dengan alasan hakim kasasi tidak memperhatikan itikad baik terdakwa. Selain melalaikan kewajiban untuk mengikuti rasa keadilan masyarakat, hakim memelintir ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Seolah ingin dikatakan, pidana terhadap terdakwa harus dikurangi karena ia telah bermaksud baik mengembalikan aset. Tapi tidakkah pengembalian aset adalah kewajiban yang seharusnya dituntaskan secara sukarela sebelum adanya proses hukum? Kenapa terdakwa tidak menuntaskannya? Bukankah pengembalian setelah diadili justru merupakan bentuk sikap tidak beritikad baik dari terdakwa? Sebab, hal tersebut dilakukan atas dasar keterpaksaan. Seperti diketahui, David baru mengembalikan sebagian kecil aset setelah proses hukum berjalan. Selain itu, David tidak menghargai supremasi hukum ketika memutuskan kabur. Seharusnya ketidaktaatan ini menjadi catatan memalukan bagi MA sebagai penjaga keadilan, bukan justru menjadi alasan peringan bagi terdakwa.
Disebutkan di atas, hakim PK dapat dikatakan menafikan kewajibannya menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kemudian, memelintir makna kewajiban memperhatikan sifat baik dan jahat terdakwa. Dua hal ini diatur pada Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004, bab Hakim dan Kewajibannya.
Pada bab yang sama dicantumkan juga sumpah dan janji hakim untuk memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Dan pelanggaran terhadap sumpah dapat menuai konsekuensi serius. Hakim Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat jika melanggar sumpah atau janji jabatan (Pasal 12 ayat [1] UU Mahkamah Agung). Apakah para hakim berpikir tentang konsekuensi ini? Sebaliknya, apakah Mahkamah Agung berani menjalankan tugasnya untuk mengusulkan pemberhentian hakim bermasalah yang melanggar sumpah jabatan?
Kembali pada pertimbangan hakim PK yang menilai hakim kasasi salah menerapkan hukum karena menggunakan UU Nomor 31 Tahun 1999. Bagian ini harus diakui selalu menjadi perdebatan. Di satu sisi, pihak tertentu akan mengatakan sebuah undang-undang tidak boleh berlaku surut. Atau, untuk perbuatan BLBI yang terjadi pada 1998, tidak dapat digunakan undang-undang yang ada pada 1999.
Untuk hal ini, mungkin hakim PK benar. Tapi tidakkah ada asas yang mengatakan aturan yang baru mengesampingkan aturan sebelumnya? Sehingga, UU Nomor 31 Tahun 1999 dapat menjadi salah satu bagian pertimbangan dalam memutus perkara BLBI. Kecuali jika hakim kasasi hanya menggunakan UU 31/1999 sebagai dasar putusan. Seperti diketahui, hakim kasasi hanya mengambil semangat dari undang-undang yang baru untuk menjatuhkan pidana bagi terdakwa, karena saat proses persidangan telah juga terjadi perubahan aturan hukum yang sekaligus berarti peningkatan semangat antikorupsi.
Ambil alih
Hanya keledai yang jatuh lebih dari sekali di lubang yang sama. Nukilan adagium ini relevan untuk menyingkirkan pikiran agar kejaksaan membuka kembali kasus BLBI. Merupakan kenyataan yang hampir tak mungkin dibantah, kejaksaan telah gagal mengusut kasus BLBI. Buruknya dan rendahnya komitmen internal kejaksaan masih tetap menjadi persoalan mendasar penanganan kasus korupsi di Indonesia, khususnya BLBI. Sehingga, dorongan publik agar KPK mengambil alih penting disikapi.
Persoalannya, apakah KPK jilid II ini punya komitmen mendorong pemberantasan korupsi? Jika ya, KPK harus menentukan sikap untuk menangani BLBI. Atau, kalaupun KPK menolak, harus dijelaskan alasan yang rasional bagi publik. Bukan semata argumentasi retroaktif yang bahkan telah dibantah berulang kali oleh banyak akademisi dan ahli hukum. Sebab, publik tidak ingin skandal BLBI ini jatuh dalam jurang yang gelap dan hening. Sebuah kengerian, BLBI yang tersungkur di Grand Canyon yang tak berdasar.
Febri Diansyah, peneliti Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 27 Maret 2008