Judi dan Rekening Janggal Anggota Polri; Moment of Truth bagi Sutanto

We are made wise not by the recollection of our past, but by the responsibility for our future. (George Bernard Shaw)

Mister Clean. Itulah julukan bagi Kapolri baru Jenderal Sutanto. Julukan sebagai Mister Clean seolah mewakili harapan masyarakat akan korps Polri yang bersih, yang harga dirinya tak tergadai. Sutanto dipandang sebagai salah satu warga Polri yang bersih dan memiliki komitmen kuat, termasuk untuk memutus simbiosis patologis dalam urusan uang yang dinilai kerap mewarnai hubungan polisi dengan masyarakat.

Reaksi positif terhadap Sutanto diharapkan memunculkan pygmalion effect. Segala nilai positif dan kepercayaan publik itu semoga akan diinternalisasi Sutanto untuk berkinerja terbaik sesuai dengan harapan masyarakat yang terjerembap di tengah supremasi hukum dan dekadensi moral.

Tanpa bermaksud pesimistis adalah fakta berapa kali sudah warga negeri ini harus menelan kecewa akibat performa tak memadai yang diperagakan para tokoh yang justru kadung dianggap larger than life, menjadi tumpuan semesta harapan karena -konon- memiliki idealisme dan profesionalisme tinggi.

Sekian banyak nama -yang dipandang laksana orang suci- diberi amanah memimpin instansi penegakan hukum di tanah air. Persoalannya, tidak sedikit di antara mereka, yang setelah menginjakkan kaki di kursi jabatan formal, menjadi lumpuh tidak hanya karena diimpit kehidupan nasional yang pelik, tetapi juga kebobrokan institusional yang sistemik.

Sutanto adalah polisi antijudi. Begitu salah satu tabiat Sutanto yang paling dikenal sebagai indikasi bahwa dia seorang petarung. Polisi tempur, polisi dengan kemampuan kerja lapangan yang tinggi. Persoalannya, pencitraan Sutanto selaku polisi tempur antijudi tidak memadai dalam dua hal.

Pertama, karena julukan untuk seseorang merupakan miniatur perlakuan masyarakat terhadap individu tersebut, maka penekanan terus-menerus atas prestasi Sutanto selaku musuh para bandar judi -tanpa sadar-merefleksikan tilik pandang publik (termasuk media massa) yang bisa jadi symptomatic atau maksimal schematic atas diri Sutanto selaku seorang penegak hukum.

Dengan kata lain, dalam konteks penegakan supremasi hukum, dikhawatirkan kali ini masyarakat lagi-lagi terbuai dalam kecenderungan menyimplifikasi realita. Pada saat yang sama, mereka menaruh ekspektasi terlalu tinggi sehingga menyumbat kejernihan rasio dan memandang hukum (baca: Sutanto) sebagai instrumen yang reaktif serta terdevaluasi dari desain konstruksi yang seutuhnya.

Kedua, citra yang dibangun berdasarkan catatan prestasi seseorang tidak menjamin kinerja dan penilaian atas diri yang bersangkutan pada masa mendatang. Ketika situasi kerja mendatang tidak sesuai dengan citra yang kadung melekat, rekam jejak individu yang sebelumnya begitu positif akan sangat mudah terbenam, terlupakan.

Itu berarti, seperti pepatah George Bernard Shaw di awal tulisan ini, reputasi Sutanto akan lebih ditentukan performanya selama menjabat Kapolri ketimbang keberhasilannya pada rentang waktu sebelumnya.

Terlepas dari komitmen antijudi Sutanto yang masih perlu pembuktian, yang lebih dinanti khalayak luas adalah pandangan holistik Sutanto tentang penataan organisasi dan kerja Polri di pelataran hukum negeri ini. Faktualnya, wacana itu hingga sekarang belum terekspos ke masyarakat.

Individu ke Organisasi
Belum lagi program perang terhadap perjudian berjalan memuaskan, terkuak kasus rekening tidak wajar milik 15 anggota Polri yang tengah diaudit Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Kegemparan baru itu merupakan agenda tambahan Sutanto untuk membuktikan kesungguhannya dalam membangun institusi Polri yang bersih dan profesional.

Dalam konteks tersebut, perlu dicermati lebih mendalam konsep diri Sutanto sebagai bagian dari organisasi Polri, bukan individu Polri seperti dalam hal anti-perjudian. Sutanto dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya berpikir konseptual sekaligus mengeksekusi rancangannya terkait pembenahan organisasi Polri. Saya tidak berpretensi mengatakan bahwa Sutanto -sebagai polisi yang terkesan berorientasi tempur- tidak memiliki kemampuan memadai untuk menata organisasi dan kerja Polri.

Namun, minimnya data tentang gagasan besar Sutanto yang berkenaan dengan grand design Polri menjadi dasar bagi rekomendasi perlunya penguatan jajaran kepemimpinan Polri guna mengimbangi orientasi kerja Sutanto yang lebih terarah pada bidang operasional.

Konkretnya, sesuai filosofi kompetensi, karena Sutanto pada masa-masa silam terbukti mumpuni pada urusan pemberantasan kejahatan, dia perlu diberikan ruang untuk mengonsentrasikan dirinya lebih maksimal pada bidang itu.

Sebaliknya, pembenahan organisasi dan kerja Polri yang selama ini tidak terdata sebagai keahlian Sutanto diserahkan kepada wakil yang memang memiliki rekam jejak kuat untuk itu. Komposisi kepemimpinan Polri yang muncul dari situ adalah kombinasi antara polisi kesatria dan polisi cendekia.

Analog dengan komposisi presiden dan wakil presiden kita saat ini, keduanya saling komplementer sehingga tidak ada istilah ban serep, bayang-bayang, simbol pelengkap, dan sejenisnya.

Publik, termasuk Sutanto sendiri, perlu realistis bahwa Indonesia menghadapi problem luar biasa kompleks. Karena itu, Sutanto tidak perlu sungkan-sungkan mendistribusikan tugas sebagai solusi untuk mengatasi -andai ada- keterbatasannya.(e-mail:r_amriel@yahoo.com)

* Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Australia

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 3 Agustus 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan