Juara 1 Surat untuk Presiden: Hasna Shabrinisa

Yogyakarta, 5 Desember 2014

Dengan hormat,
Kepada Bapak Jokowi yang baik dalam budi,

Bagaimana kabar kehidupan di istana, Bapak? Ah, pasti menyenangkan duduk di atas singgasana yang terbalut sutera, dengan kaki menjejak permadani yang bertabur permata. Doa saya, semoga segala tidak membuat Bapak alpa. Semoga mata hati tetap terbuka.

Bapak, mungkin saya bukan siapa-siapa. Saya masih belia, tetapi jiwa saya seperti Bapak di kala muda; berapi dan penuh cita, meski gempita dunia hampir membuat saya tiada. Bapak, ketahuilah, hadirnya mereka yang sedang terseok mengikuti laju roda kehidupan telah menyumbat rongga dada saya. Membuat saya membuka mata bahwa meski satu bangsa, malangnya, tidak semua rakyat Indonesia berada pada ujung-ujung kutub yang sama.

Rasanya, Bapak pasti lebih tahu daripada saya. Konon, Bapak tidak lahir dan tumbuh dalam gelimang harta. Bapak pernah menjadi saksi bagaimana laju roda kehidupan mampu melindas siapa-siapa saja yang tak mau dan tak mampu mengikuti geraknya. Bapak pasti mengerti, Bapak pasti memahami. Hal inilah yang menggerakkan jemari saya, yang membuat saya yakin dan berani untuk menulis surat kepada Bapak selaku wajah baru pemerintahan Indonesia.

Bapak, bangsa yang besar tidak hanya perihal kuasa pun harta sumber daya, tetapi juga perihal membantu rakyatnya untuk sebenar-benarnya merdeka. Lagipula, bagaimana bias menguasai bila rakyatnya sendiri masih dikuasai? Maka, besar harapan saya, era baru kepemimpinan kita mampu membebaskan bangsa dari jerat sengsara. Karena bebas dari sengsara berarti tercapainya sebagian dari apa yang Indonesia cita. Seperti yang founding fathers kita kata, “…untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...

Yang kedua, Bapak, mungkin memang penting bagi Indonesia untuk menjadi adikuasa. Namun, meraih kuasa tidak melulu andalkan logika. Perlu main rasa, perlu nurani. Bapak bersama petinggi lainnya di atas sana, hendaknya menjadikan realitas di bawah sini sebagai gema yang mengingatkan kala hendak mengambil suatu kebijakan.

Di bawah sini, Bapak, masih ada para muda dan tetua yang terbata mengumpulkan lembar demi lembar rupiah. Berusaha menyambung rantai usia meski harus rela menggadai peluh dengan nominal yang tak seberapa. Malangnya, terkadang, yang tak seberapa harus terlepas jua dari genggam untuk sesuatu yang belum jelas apa. Seperti administrasi ini itu, yang acap tak dijelaskan terperinci apa gunanya.

Di bawah sini, Bapak, masih ada pula sebagian dari kami yang mencari-cari kemana haknya dibawa pergi. Sementara di sisi lain, sebagian lainnya justru sengaja membutakan mata sembari menikmati lebih dari apa yang seharusnya mereka terima. Masih ada ketidakadilan di bawah sini, Bapak. Masih ada ribuan tanya yang menguar di udara, berusaha meraba jawaban si mengapa.

Di bawah sini, Bapak, lagi-lagi masih ada realitas yang sama pahitnya. Tiang utama yang seharusnya menjadi tumpuan bangsa justru porak poranda di banyak sisi. Pendidikan, Bapak. Sesuatu yang dahulu membebaskan bangsa dari kejamnya tangan Belanda, kini justru menuai aral yang tiada habisnya. Entah soal kurikulum, entah soal prasarana, selalu saja ada. Begitu banyak putra putrid bangsa, yang meski memiliki gagasan dan cita, terpaksa harus diam sahaja. Merelakan angan dan masa depan ditelan saku petinggi negara.

Kata kerja ubah berkawan dengan kata sifat sukar, memang. Tidak akan mudah membenahi segala yang sudah kadung poranda hanya dalam satu periode pemerintahan. Namun ketahuilah Bapak, sesuatu yang sederhana terkadang bias menjadi pelita. Kita hanya butuh dua kosakata; tekad dan teguh, untuk mengakhiri keburukan yang terlanjur dimulai.

Mari, Bapak, bersama-sama kita bersihkan Indonesia dari apa yang disebut dengan korupsi; tempat segala poranda ini bermuara. Mari kembalikan senyum para muda dan tetua. Mari membuka gerbang bagi gagasan dan impian putra putri bangsa. Mari kita kembalikan harapan yang sempat terlepas dari genggaman. Semua dengan satu langkah sederhana; menjadi putih, bersih tanpa korupsi.

Bapak dan para petinggi lainnya tidak akan sendiri. Akan ada kami, rakyat yang peduli. Mata telinga kami akan ikut jeli, tidak sekadar mengawasi tapi juga menasihati.

Bapak, salam cinta dari saya. Dari kami disini, yang berbaris rapi ingin turut mengabdi pada negeri.

Semoga terlindungi rahmat Ilahi.

-Hasna Shabrinisa-

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan