Jimly Bela Mahkamah Agung

Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ash-Shiddieqy membela Mahkamah Agung dari tudingan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution. Dia menilai penarikan biaya perkara merupakan kewajaran di setiap lembaga peradilan di dunia.

Tudingan Anwar bahwa penarikan biaya perkara tergolong pungli disampaikan saat menjadi pembicara dalam Dialog APBN 2006 di Hotel Borobudur, Selasa (8/8) lalu. Anwar mengatakan, MA melakukan pemerasan karena memungut biaya besar, namun hanya menyerahkan Rp 1.000 kepada negara. Kelebihan uang yang tidak disetor ke kas negara dapat dikategorikan sebagai pungli.

Jimly menjelaskan, pendapat seseorang harus dapat disertai bukti kuat, apalagi jika yang mengungkapkannya masih dalam kapasitas pejabat publik. Pejabat tidak boleh saling mengkritik tanpa dasar. Hanya jaksa yang boleh memberikan tuduhan, ungkapnya.

Mahkamah Agung menarik biaya perkara untuk kasasi perdata Rp 500 ribu dan pengajuan peninjauan kembali (PK) perdata Rp 2,5 juta. Alasannya, dana itu untuk keperluan pemanggilan terdakwa dan saksi dalam persidangan dan pengiriman surat-surat.

Jimly sendiri menganggap uang perkara tersebut membatasi akses masyarakat untuk mendapat pelayanan hukum. Sehingga, hanya orang mampu yang bisa mengajukan kasasi dan peninjauan kembali (PK) di MA.

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana justru menganggap apa yang disampaikan Anwar sebagai sebuah pemicu untuk membongkar penyelewengan di lembaga peradilan tertinggi tersebut. Kalau tidak ada ribut-ribut, mana pernah ada kasus penyelewengan di lembaga negara yang terbongkar, ungkapnya.

Dia menambahkan, manajemen MA yang misterius justru mencitrakan lembaga tersebut korup. Padahal, jika otoritas dan monopoli dimiliki sebuah lembaga, namun minus transparansi, maka rentan korupsi, ungkapnya.

Sebagai sebuah lembaga yang memiliki otoritas dan monopoli yang dijamin konstitusi, MA seharusnya memperhatikan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban, khususnya dalam penggunaan biaya perkara yang notabene diambil dari publik. (ein

Sumber: Jawa Pos, 14 Agustus 2006
------------
Jimly: Biaya Perkara Sebaiknya Dihapus

Undang-undangnya harus ikut diubah.

JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan biaya perkara yang diterapkan di Mahkamah Agung sebaiknya ditiadakan. Sebab, pengenaan biaya perkara dinilai memberatkan orang yang beperkara dan merupakan bentuk praktek permainan uang di peradilan. Agar tidak ada urusan uang dengan pengadilan, kata Jimly setelah membuka acara peluncuran buku di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat lalu.

Konsekuensi tidak adanya pengenaan biaya perkara, kata Jimly, anggaran pendapatan dan belanja negara untuk Mahkamah Agung harus dinaikkan. Kendati begitu, Jimly mengakui itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.

Persoalan biaya perkara bermula dari pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution pekan lalu. Anwar merasa heran karena uang kas negara yang disetor dari Mahkamah Agung hanya Rp 1.000. Padahal biaya perkara yang dikenakan terhadap pihak beperkara di Mahkamah Agung mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Jimly mengatakan lembaga yang dipimpinnya tidak membebankan biaya perkara kepada pihak yang ingin mengajukan permohonan hak uji terhadap undang-undang, meski anggarannya sedikit. Di Mahkamah Konstitusi tidak boleh ada biaya perkara supaya kami tidak berurusan dengan uang, katanya.

Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa menyatakan setuju dengan usul Mahkamah Konstitusi. Tapi undang-undang yang mengatur pengenaan biaya perkara harus diubah juga, ujarnya saat dihubungi kemarin. Menurut dia, hal itu perlu dilakukan agar tidak menyalahi undang-undang.

Harifin menjelaskan, Pasal 120 HIR (hukum acara perdata) menyebutkan setiap pihak yang beperkara dalam kasus perdata diharuskan membayar biaya perkara. Untuk perkara pidana, tidak dikenakan biaya, katanya.

Adapun pertanggungjawaban biaya perkara itu, menurut Harifin, bukan sebagai uang negara. Pertanggungjawabannya, kata dia, adalah kepada pihak yang mengajukan perkara. Lagi pula, kata Harifin, biaya perkara tidak masuk obyek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. Karena itu, Harifin menyayangkan pernyataan Anwar Nasution yang tidak terlebih dulu melihat undang-undang tentang pengenaan biaya perkara.

Sementara itu, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menilai pengelolaan biaya perkara berindikasi korupsi. Dugaan korupsi itu sangat mungkin muncul dalam praktek pengelolaan biaya perkara, ujarnya saat dihubungi kemarin.

Dia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera menangani hal ini. Sebab, selain melibatkan uang yang tidak kecil, persoalan ini bukanlah delik aduan yang penanganannya harus menunggu laporan. TITO SIANIPAR | SUKMA N LOPPIES | RIKY FERDIANTO

Sumber: Koran Tempo, 14 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan