Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi; Untuk Populer Kami Sudah Tahu Caranya

Mahkamah Konstitusi kembali membuat gebrakan. Saat membacakan sidang uji meteriil permohonan Bram H.D. Manoppo tentang Pasal 68 UU KPK, muncul pertimbangan hukum yang menyertai keputusan menolak permohonan Bram. Kontroversi muncul berkaitan dengan pertimbangan MK tentang kewenangan hukum KPK tidak berlaku surut. Artinya kasus yang terjadi sebelum UU KPK diundangkan pada 27 Desember 2002 tak bisa ditangani KPK. Keruan saja pertimbangan ini menuai protes. Tak terkecuali dari Ketua KPK sendiri.

Meski disesali banyak pihak, Ketua MK Jimly Asshiddiqie tetap kukuh pada pendirian tadi. Memang putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menimbulkan banyak interpretasi. Sebagian menilai keputusan majelis hakim yang menolak permohonan Bram H.D. Manoppo, yang menjadi rekanan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh dalam pengadaan helikopter, mengambang. Bahkan mematikan langkah KPK memberantas korupsi. Ini karena dalam putusannya, majelis hakim menyertakan pasal 70 dan 72 sebagai pertimbangan dalam kaitannya dengan pasal 68. Berikut ini penuturan Jimly kepada Sunariyah dari Tempo.

Bukankah putusan itu dianggap celah agar korupsi yang terjadi sebelum KPK terbentuk tak bisa dijerat hukum?

Kewenangan KPK biar hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menilai. Kami tidak menilai kewenangan KPK karena KPK bukan lembaga Konstitusi. Karena itu, bukan kewenangan MK menilai kewenangan lembaga yang dibentuk dengan undang-undang. Tapi kalau sengketanya itu menyangkut lembaga yang dibentuk menurut UUD baru kami menilai.

Yang dipertanyakan keputusan MK, kenapa mesti ada pertimbangan pasal 70 dan 72?

Pertimbangan itu dalam rangka mencapai kesimpulan bahwa dia (KPK) tidak retroaktif. Karena tidak retroaktif maka tidak bertentangan dengan konstitusi.

Bukankah yang diperkarakan hanya Pasal 68 UU KPK?

Karena harus menjelaskan kaitannya dengan pasal 68, jadi semuanya harus dilihat. Nah, yang lain-lain itu bisa ditafsirkan seperti yang Anda bilang. Tapi bisa juga orang lain menafsirkan yang lain. Sekarang yang berwenang menafsirkan adalah hakim di bawah lingkungan Mahkamah Agung, yaitu pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Jadi ada kemungkinan munculnya berbagai tafsir?

Media tidak boleh memaksakan diri untuk hanya larut dalam satu tafsir. Sebab, itu kewenangan hakim untuk menafsirkannya harus bebas. Mereka punya kebebasan. Kalau MK tidak menyinggung kewenangan KPK, sebab itu bukan urusan MK. Nah, bahwa dalam kalimat-kalimat ada hal seperti itu, ya jangan diambil satu kalimat, harus seluruhnya. Bahwa pertimbangannya memang harus menyeluruh, tidak boleh sempit. Permohonannya pun menyinggung pasal-pasal yang lain, jadi dinilai. Tapi tidak bisa dikatakan bahwa MK memutlakkan satu tafsir mengenai pertimbangan itu. Tidak begitu, itu dalam rangka menilai keseluruhan pasal 68.

Jika begitu, Tindak Pidana Korupsi yang berhak menafsirkannya?

Seperti tadi malam saya lihat ada dua orang berbeda pendapat. Jadi tidak boleh kami memaksa orang punya pendapat A atau B. Itu adalah kewenangan Tindak Pidana Korupsi. Mengenai penafsiran, bukan urusan MK. Biarlah hakim punya independensi untuk menilai. Kami tidak boleh mendikte hakim biasa. Itulah arti independensi peradilan. Kami pun para hakim jangan dipaksa-paksa untuk memberi kebenaran pada satu tafsir. Biarkan tafsir menyangkut penerapan itu oleh hakim biasa. Yang jelas bagi hakim MK, UU KPK tidak bersifat retroaktif (pasal 68). Sebab, itu tidak bertentangan dengan UUD, karena itu ditolak.

Sebagian pihak menyayangkan bahwa putusan ini bermuatan politis?

Tidak. Kalau mau bermain politik kita ingin populer kan? Nah kalau untuk populer kami sudah tahu bagaimana caranya. Kita ingin meluruskan, apa yang dipersoalkan, dituduh retroaktif kita bilang tidak.

Benarkah di antara tersangka kasus korupsi ada yang berkonsultasi dengan MK?

Nah, Mahkamah Konstitusi itu tidak ada kaitan dengan Abdullah Puteh. Tidak boleh kita menilai kasus konkret. Kasus konkret itu bukan urusan kami. Kami hanya berurusan dengan norma umum.

Apakah pemohon uji materiil boleh berkonsultasi dengan MK?

Tidak. (Jimly segera beranjak pergi menuju mobilnya).

Sumber: Koran Tempo, 23 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan