Jika Korupsi, Semua Transaksi Salah; Wawancara dengan Syafruddin Temenggung

Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung akhirnya mau berbicara terkait dengan penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penjualan pabrik gula PT Rajawali III Gorontalo (PGR III). Pria kelahiran Lampung itu berharap penyidik Kejati DKI bisa bertindak profesional dengan mempertimbangkan sejumlah fakta bahwa dalam penjualan aset yang pernah dimiliki PT RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) itu sudah transparan.

Kemarin, mantan pejabat yang akrab disapa Syaf itu bersedia menemui wartawan Jawa Pos Agus Muttaqien di sebuah tempat di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dengan wajah agak pucat, Syaf terlihat santai ketika diwawancarai. Dia mengenakan kemeja panjang abu-abu dan celana gelap. Wawancara berlangsung 1,5 jam dengan gayeng tanpa diburu waktu. Sayang, di akhir wawancara, Syaf menolak difoto. Berikut petikan wawancaranya:

Anda ditetapkan sebagai tersangka korupsi penjualan aset PT Rajawali III Gorontalo. Respons kolega Anda?
Saya kira itu alami sekali dan pasti ada pengaruhnya. Efek pemberitaan luar biasa. Pemberitaan tidak hanya di dalam negeri, juga di luar negeri. Saya banyak menerima telepon berisi simpati dari para kolega, khususnya dari luar negeri. Di luar negeri, saya justru mendapat simpati lebih besar.

Kenapa begitu?
Setelah tidak lagi menjabat kepala BPPN, saya lebih banyak beraktivitas di luar negeri. Mereka tahu bahwa BPPN adalah institusi untuk penyelesaian krisis perbankan zaman dulu. Lembaga sejenis dibentuk di China, Thailand, Malaysia, Korea, hingga Turki. Satu-satunya yang telah selesai masa tugasnya adalah BPPN di Indonesia.

Di luar (negeri), saya sangat direspek karena banyak menyelesaikan urusan di BPPN. Nah, ketika saya ditetapkan sebagai tersangka karena menjual aset di bawah nilai buku yang tidak melanggar aturan, banyak yang bertanya-tanya, bagaimana kepastian hukum di Indonesia. Menjual aset sesuai undang-undang saja disalahkan. Jadi, mereka sangat memprihatinkan apa yang saya alami.

Bagaimana dengan aktivitas Anda?
Saya kan sedang proses menulis buku. Saya sudah menyiapkan sejumlah materi. Saya konsentrasi ke sana selepas tidak lagi menjabat di BPPN. Untuk hidup kan harus mulai berusaha. Ya, dengan begini (penetapan tersangka), pasti ada perubahan. Saya dicekal ke luar negeri. Padahal, saya sedang menyiapkan diri, memenuhi undangan untuk mengisi ceramah di luar negeri.

Saya berharap publik menyikapi secara presumption of innocent (praduga tidak bersalah). Mungkin ada aliran uang yang masuk ke rekening saya, saya kira diperiksa saja. Sekarang ada PPATK yang hasil pemeriksaannya bisa diungkap satu dua hari. Tapi, kalau kebijakannya yang salah, itu bukan saya yang harus bertanggung jawab. Tanyakan saja ke pembuat perundang-undangan.

Bagaimana keluarga menyikapi kasus ini?
Mereka, keluarga dan staf saya di BPPN, mengetahui siapa saya. Mereka mempercayai saya. They trusted me. Mereka ada di belakang saya. Memang, pasti ada gangguan (menyusul penetapan kasus ini), tetapi dari awal mereka tahu saya. Saya kerja sampai jam tiga dini hari untuk negara. Bagi saya, orang yang tahu saya bekerja akan melihat. Saya punya keyakinan besar bahwa keadilan dan kebenaran yang hakiki itu akan muncul. Saya yakin kelak tidak ada permasalahan.

Saya adalah kepala BPPN yang selalu bekerja pada koridor peraturan yang berlaku. Saya tidak pernah melakukan tabrakan-tabrakan prosedural. Saya adalah kepala BPPN yang ketujuh. Sebelumnya ada enam kepala BPPN. Mereka kan ditugasi menyelesaikan urusan di BPPN sampai tuntas. Pertanyaannya, mengapa saya yang harus menyelesaikan semua urusan di BPPN. Banyak faktor, seperti kestabilan politik. Tetapi, mungkin karena saya bekerja dalam koridor perundang-undangan, sehingga tidak ada pilih kasih, yang diperlakukan sama dalam kebijakan pemerintah. Tidak ada yang diselesaikan diskriminatif. Semua akuntabel. Jadi, ada playing field yang sama dalam penyelesaiannya. Saya kira kunci saya di situ.

Penetapan Anda sebagai tersangka kabarnya merupakan ekses pertarungan pemegang saham lama (PT RNI) dengan investor Delux International Ltd atas manajemen PGR III?
Saya nggak ngerti itu ya. Karena waktu proses menjual, kita tidak perlu minta persetujuan nasabah untuk menjual kepada siapa. Dan, Dirut RNI dalam suratnya, silakan (PGR III) dijual. Kedua, kita berhubungan dengan konsorsium itu. Kita nggak tahu siapa di balik konsorsium. Hubungannya, antara penjual dan pembeli.

Bahwa nanti pembeli akan menjual lagi, itu memang cessie dan saham memang bisa diperjualbelikan. Kita hubungannya dengan mereka. Dan, peraturan kita seperti tertuang dalam SPA (sales purchase agreement), RNI-nya bisa memanaj sampai dengan 20 tahun ke depan. Ketentuan itu ada semua. Memang ini yang dikait-kaitkan dengan siapa yang ada di belakang.

Siapa yang mensupervisi perjanjian SPA bahwa RNI masih punya hak mengelola manajemen PGR III hingga 2017?
BPPN tidak punya kewenangan itu. RNI kan sudah punya manajemen kontrak hingga 20 tahun. Ini masalah corporate action di internal PGR III. Itu urusan RNI dengan manajemen baru. BPPN nggak punya urusan itu. BPPN hanya melakukan jual putus. Tadi sudah dijelaskan bahwa ada potensi keributan sehingga ada keinginan membatalkan (penjualan).

Penyidik punya data bahwa investor Delux International Ltd tidak mengakui SPA yang isinya RNI masih punya hak kelola manajemen hingga 2017 dengan mendepaknya dari manajemen?
Itu yang harus didalami. Karena apa? Sewaktu kita jual, manajemen kontrak itu tidak kita putuskan alias dilanjutkan. Artinya, kami masih berasumsi bahwa RNI masih mengendalikan manajemen PGR III. Soal adanya depak-mendepak manajemen, itu di luar kompetensi saya. Yang jelas, saya telah melakukan penjualan secara prosedural.

PGR III sebelum masuk ke BPPN merupakan anak perusahaan BBD (Bank Bumi Daya, sekarang Bank Mandiri) sehingga berstatus aset negara. Mengapa BPPN tidak menjual ke RNI yang juga BUMN?
Terus terang, saya akui isu pertama di balik penetapan saya sebagai tersangka adalah mengapa BPPN kala itu tidak menjual ke RNI. Ada alasannya. Dari sisi saya selaku kepala BPPN, memang tidak ada aturannya untuk menjual ke RNI. Aturannya tidak membolehkan pemegang saham lama memiliki aset yang akan dijual BPPN. Saya sudah menawarkan ke pihak RNI, tetapi mereka justru menyilakan BPPN melanjutkan penjualannya.

Anda ingin menyebut RNI selaku pelapor ke Kejati DKI bahwa ada kerugian negara di balik penjualan PGR III?
Ini kan sudah tipikal sekali. Sebelum-sebelumnya, adanya keributan antara pemilik lama dan pemegang saham baru adalah urusan perdata. Sekarang dilaporkan seolah-olah ada tindak pidana pada saya. Ada kerugian negara. Jadinya, penjualnya yang disalahin.

Saya bisa menangkap, kalau yang dilakukan seperti itu dan kalau mereka bisa meyakinkan pengadilan bahwa itu begitu, transaksinya bisa batal demi hukum. Tetapi, harus dibuktikan dahulu bahwa ada pidana. Di mana kesalahan BPPN. Tadi, yang katanya bahwa mengapa tidak langsung dijual ke RNI, aturannya memang tidak boleh dan RNI memang sudah menyilakan (menjual PGR III).

Saya ini kan kepala BPPN. Saya punya tim penilai internal. Saya berikan kewenangan untuk menilai. Artinya, mereka harus profesional menilai aset PGR III. Kemudian, saya juga minta tim penilai dari luar, seperti PT PNM, Danareksa, dan Heburinas. Itu kan perusahaan penilai yang punya izin dari Depkeu. Mereka sewaktu menilai secara seksama dan profesional.

Maksud Anda?
Seandainya memang ada kesalahan penilaian, apakah kesalahannya ada pada saya? Itu kan kesalahan mereka. Mereka kan yang melakukan penilaian. Penilaian mereka diserahkan kepada kita. Kalau seandainya mereka memberikan penilaian salah kepada saya, dan karena keputusan kita menjadi salah, itu kesalahan saya.

Tetapi, saya kan nggak perintahkan seperti itu. Itu kan tanggung jawab profesional mereka yang ditanggung masing-masing. Kecuali kalau saya salah prosedur, misalnya mereka menyatakan harganya 50 persen, lantas saya buat 11 persen. Tetapi, harga penjualan PGR III kan masih dalam rentang penilaian mereka.

Anda terkejut ditetapkan tersangka dalam tempo cepat?
Itu isu kedua yang saya tangkap dalam pernyataan Kajati di media massa bahwa saya hanya sekali diperiksa, yang tidak ada diskusi panjang lebar mengenai harga buku dan harga penjualan. Semua saya jawab, tetapi tidak ada diskusi. Yang saya tangkap dari pernyataan di media bahwa Bapak Kajati menyampaikan ada potensi kerugian negara sebesar selisih harga buku dengan harga buku sekitar Rp 500 miliar. Jadi, sekarang hanya ingin fokus di situ.

Tadi dikatakan kerugian negara terjadi sejak pemerintah menyalurkan BLBI yang diprediksi BPK recovery rate-nya hanya 8 persen. Nah, dibentuknya BPPN bertujuan agar (aset) yang busuk-busuk diamputasi dan harus diutak-atik untuk dijual. Pemerintah mengamanatkan BPPN secepatnya menjual aset agar cepat me-recover. Jadi, tindakan BPPN untuk menjual di bawah nilai buku merupakan filsafat penanganan kredit macet. Dan, itu merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada BPPN untuk me-recover uang sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya.

Jadi, kalau nilai buku yang dimasukkan ke BPPN, harga pasarnyalah yang dijual tadi. Selisih nilai buku dengan harga pasar itu bukan kerugian negara. Kalau itu dikatakan kerugian negara, semua transaksi BPPN masa sebelum masa saya merupakan korupsi semua. Padahal, undang-undang mengatakan hanya BPPN yang berwenang menjual aset di bawah nilai buku. Dan, itu bukan hal yang ilegal (Syafruddin lantas menunjukkan pasal 26 ayat 2 PP No 17/1999 tentang BPPN sebagaimana yang diubah dengan PP No 95/1999, PP No 99/1999, dan PP No 18/2000).

Saya ulangi lagi, kalau dikatakan setiap BPPN yang menjual aset di bawah nilai buku dikatakan korupsi, semua transaksi di BPPN menjadi salah. Padahal, undang-undang tidak mengatakan seperti itu. Yang penting, Anda jual market price secara kompetitif dan terbuka, berapa pun harganya, silakan. Ada pengamat yang mengatakan aset yang dijual BPPN hingga senilai nol persen pun nggak ada salahnya. Pengalaman saya yang paling terendah hingga 4 persen dan itu tidak pernah dipersoalkan. Bahkan, saya menjual hingga 1 persen di bawah harga pasar itu pernah dilakukan, tetapi tidak laku. (*)

Sumber: Jawa Pos, 9 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan