Jihad Lawan Korupsi dan Kemiskinan
Korupsi dan kemiskinan adalah dua patologi sosial yang saling berkaitan. Bisa dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya praktik korupsi di semua sektor kehidupan.
Mengapa? Sebab, kita tentu mafhum, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Faktanya justru sebaliknya. Pengangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota.
Mereka semua hidup susah, tidak jelas berapa pendapatan sehari-harinya. Berdasar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 17,75 persen. Setahun kemudian, pada Maret 2007, angka tersebut meningkat menjadi 39,30 juta orang.
Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lain. Terutama, pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat. Bila dibiarkan, tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini.
Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik yang bisa ditoleransi.
Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menggurita tersebut, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri ini seperti tidak pernah berkurang, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.
Sebagaimana diberitakan Jawa Pos belum lama ini, dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di peringkat ke-143 di antara 179 negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia (Jawa Pos, 27/9).
Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut jauh dibandingkan Malaysia sebesar 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa korupsi seolah terus dipelihara dan dibiarkan. Di sini, pemerintah juga terkesan masih tebang pilih. Belum tuntasnya kasus korupsi Soeharto dan keluarganya hanyalah salah satu bukti.
Bersatu Padu
Melihat dampak korupsi yang melanggengkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dalam konteks semacam ini, mungkin tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.
Bagaimana caranya? Pertama, upaya yang perlu ditempuh adalah melacak akar masalah korupsi dan kemudian merumuskan langkah strategis pemberantasannya.
Abdul Aziz mengutip Alatas (1987) melihat, ada dua penyebab utama menjamurnya praktik korupsi di Asia. Yakni, yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu, bagi Alatas, lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin; minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika; budaya kolonialisme; kemiskinan; tidak adanya hukum yang tegas; budaya; serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup.
Dalam konteks Indonesia, tesis yang dikemukakan sungguh tampak nyata sebagai realitas yang kasat mata. Ia membentang terang benderang di seluruh negeri ini mulai bawah hingga atas. Ia masuk dalam relung-relung birokrasi, pemerintahan, parlemen, parpol, lembaga pendidikan, organisasi militer, hingga departemen agama. Karena itu, ia menjadi masalah besar yang sangat gawat dan memberi andil besar bagi kerusakan serta kehancuran bangsa ini (Syafi'i Ma'arif, 2001).
Lalu, bagaimana strategi pemberantasannya? Menurut saya, karena latar masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutus lingkaran setan korupsi itu. Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan bersama-sama.
Pertama, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.
Lebih dari itu, sudah sepatutnya perilaku menyimpang yang sering dilakukan elite politik perlu diganti dengan keteladanan moral yang baik.
Kedua, semua pihak di berbagai instansi dan institusi publik, agama, pendidikan, politik, media massa (pers), LSM, serta publik diharapkan berperan serta dan bertanggung jawab dalam penciptaan clean and good government.
Ala kulli hal, di tengah-tengah jeritan hidup akibat kemiskinan dan korupsi, masih adakah harapan bagi rakyat di negeri ini untuk bisa hidup sejahtera tanpa korupsi?
Choirul Mahfud, dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 1 Oktober 2007