Jejak Langkah Korupsi di Indonesia

Slogan antikorupsi menjadi salah satu agenda kita sejak bola reformasi bergulir tahun 1998. Setidaknya ada enam agenda pokok reformasi yakni (1) penegakan supremasi hukum (2) pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (3) pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya (4) amandemen konstitusi; (5) pencabutan dwifungsi TNI/Polri serta (6) pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Kini, terhitung kita menjalankan reformasi. Ada yang pesimis bahwa antara idealisme formasi dan kenyataan faktual ibarat jauh panggang dari api. Artinya, kampanye reformasi sedikit banyak merupakan kerja melukis langit terkait dengan pemberantasan KKN yang tidak menggembirakan, pengadilan Soeharto yang berujung di jalan buntu, dan pencabutan dwifungsi ABRI yang pada kenyataannya TNI masih berpolitik. Tetapi ada juga yang optimis dengan menyebut sejumlah perubahan yang kasat mata seperti ruang politik tidak lagi tertutup rapat, kran demokrasi yang tersumbat telah terbuka lebar melalui otonomi daerah yang luas, dan semilir angin kebebasan yang mengalir deras, terutama setelah amandemen UUD 1945.

Dalam rangka reformasi itu pulalah tahun 2003 pemerintahan Megawati membentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) setelah adanya UU Nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Tujuh tahun reformasi berlalu, supremasi hukum masih lemah. Banyak kasus penilapan uang tidak terselesaikan secara tuntas. Di antaranya, kasus mantan presiden Soeharto yang diduga korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) senilai Rp 1,4 triliun. Kasus ini tenggelam sejak majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan dengan alasan Soeharto sakit. Tanggal 2 Desember 1998 memang Presiden Habibie pernah mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto, tetapi hasilnya nihil.

Demikian pun kasus Pertamina tentang dugaan korupsi dalam Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 senilai 24.8 jutadolar AS yang melibatkan dua mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.

Selain itu, kasus projek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat yang menyebabkan kerugian negara di tahun 1995-1996 sebesar Rp 82.6 miliar, tahun 1996-1997 sebesar Rp 476 miliar, dan 1997-1998 sebesar Rp 1.3 triliun. (Tempo Interaktif, 25/10/2004).

Untuk mempercepat kerja reformasi itu, KPK dibentuk yang dalam pasal 11 UU 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sekarang, berapa banyak kasus korupsi yang sukses diusut KPK?

Kalau mau jujur, kerja KPK terkesan lamban dan tidak memiliki skala prioritas yang menjadi target dalam kurun waktu tertentu. Akibatnya, banyak kasus yang berhenti di tengah jalan. Misalnya, Kepala Kejaksaan Agung M.A. Rahman pernah menyinggung korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2004 yang mencapai Rp 23 triliun dari total anggaran Rp 584 triliun. Nyatanya, kasus itu sudah tenggelam tak jelas lagi jejaknya. Hal yang sama juga terjadi dengan kasus penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Ada juga penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Ironisnya, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terlihat sangat sibuk dengan kasus bernilai miliaran rupiah di KPU. Itupun masih bertele-tele dan terkesan sangat lamban. Tanpa bermaksud menakar korupsi dari besar-kecilnya uang yang ditilap, hal yang mau dibilang adalah bahwa kinerja KPK masih jauh dari harapan. Dalam konteks ini, wajar kalau ada yang bertanya, apakah KPK itu solusi atau ilusi?

Berkaca pada lambannya kerja KPK, disertai banyak selentingan belakang layar tentang staf KPK yang menerima uang suap, menguatkan skeptisisme tentang KPK sebagai bukan solusi dalam memberantas virus korupsi yang telah mengkronis, melainkan sebuah ilusi dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokrasinya masih prematur. Dikatakan ilusi karena KPK yang diharapkan sebagai pionir dalam memerangi korupsi belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam mengusut-tuntas korupsi. Dalam kasus korupsi KPU memang ada kesan bahwa KPK bekerja serius. Tetapi saya pikir, kalau memang KPK ingin menjadikan kasus KPU ini sebagai target-project kinerjanya dalam tahun pertama pemerintahan Yudhoyono-Kalla, sudah seharusnya KPK bekerja lebih cepat dan lebih berani. Itu artinya, KPK perlu lebih berani dalam mengusut semua oknum yang terkait dalam korupsi kolektif di KPU itu. Setidaknya Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin segera dipanggil untuk diperiksa.

Dalam menangani kasus korupsi sejumlah pejabat daerah (gubernur, bupati, wali kota) juga ada kesan bahwa KPK tidak memiliki target yang strategis. Padahal ada klausul dalam UU 32 Tahun 2004 yang membatalkan pencalonan seseorang yang secara hukum berstatus tersangka dalam pilkada.

Bupati Manggarai (NTT) Anton Bagul Dagur, misalnya dituduh melakukan korupsi membangun rumah pribadi senilai Rp 6 miliar. Awal tahun ini, Bagul sudah masuk dalam daftar pemeriksaan KPK tetapi hasil verifikasi KPUD Manggarai menetapkan Bagul sebagai calon sah dari partai Golkar. Sampai awal bulan ini, Bagul belum diperiksa oleh KPK. Ini jelas menimbulkan masalah serius di daerah antara kelompok yang menolak Bagul dan kelompok pro-Bagul yang berpotensi memicu kekerasan.

Terkait dengan itu, ada tiga hal yang penting diperhatikan. Pertama, KPK menentukan kasus-kasus korupsi yang menjadi prioritas dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, menjelang pilkada, kasus korupsi sejumlah bupati/wali kota atau gubernur diutamakan untuk mencegah kekisruhan pilkada antara rakyat yang pro-perubahan dan kelompok status quo. Kedua, KPK perlu menjalin kerja sama yang strategis dengan lembaga lain seperti kejaksaan dan kepolisian. Ketiga, KPK lebih transparan dalam menangani kasus-kasus korupsi untuk meminimalisasi kemungkinan penyalahgunaan wewenang atau politisasi kasus korupsi.(Boni Hargens, peneliti di Pusat Kajian Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 8 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan