Jejak Korupsi KTP Elektronik

Kisruh kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) kembali mencuat. Penanganan perkara yang merugikan negara sebesar 2 Trilyun Rupiah dinilai lambat.

Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, pada 30 September 2016 resmi berstatus sebagai tersangka. Irman diduga melakukan penggelembungan harga dalam perkara e-KTP.

Penetapan tersangka Irman bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 22 April 2014, Sugiharto mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Keduanya diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam mega proyek e-KTP. Irman, yang ketika ditetapkan sebagai tersangka menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik, merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek e-KTP. Sedangkan Sugiharto adalah Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut.

Mereka lalu disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Kasus korupsi e-KTP sendiri memang telah menjadi perhatian serius KPK. Sejak silam, KPK menyatakan kerugian negara akibat kasus tersebut mencapai angka yang besar. “Yang KPK terima kerugian negaranya lebih dari Rp 2 Triliun,” kata Ketua KPK, Agus Rahardjo, di Jakarta, 17 Juni lalu, seperti dilansir cnnindonesia.com.

Jumlah tersebut didapat berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Wakil Ketua KPK, Laode Syarif mengatakan, jumlah yang besar membuat kasus e-KTP menjadi perhatian khusus KPK. “Beda dengan kasus biasa,” katanya, di Kalibata, Jakarta, 18 Oktober 2016.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satrya Langkun mengamini pentingnya pengusutan terhadap kasus tersebut. “E-KTP proyek yang fantastis,” cetusnya, di Jakarta, 24 Oktober 2016.

**

Program e-KTP yang ramai diperbincangkan pasca penetapan tersangka Irman dimulai secara nasional pada 2011 dan 2012 lalu. Kendati demikian, proyek e-KTP sejatinya telah dimulai sejak 2 tahun sebelumnya.

Pada tahun 2009, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan uji petik e-KTP di 6 wilayah, yakni Makassar, Padang, Denpasar, Jogjakarta, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Jembrana. Uji petik dilakukan dalam rangka mempersiapkan program e-KTP berskala nasional. Proyek uji petik tersebut dilaksanakan oleh konsorsium Lintas Peruri Solusi.

Namun implementasi uji petik e-KTP menjumpai berbagai permasalahan. Selain hambatan dalam hal teknis dan non teknis, seperti teknologi yang digunakan kerap bermasalah dan data kependudukan yang tidak mutakhir, proyek tersebut bermasalah akibat kasus korupsi yang timbul.

Kejaksaan Agung pada Juni 2010 menetapkan empat tersangka dalam Penyidikan Perkara Pengadaan Perangkat Keras, Perangkat Lunak, sistem dan blanko KTP pada Dirjen Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri Tahun Anggaran 2009. Empat orang tersangka tersebut yaitu, Irman, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Pendaftaran Penduduk Kementerian Dalam Negeri, Ketua Panitia Pengadaan Barang Paket P. 11, Drs. Dwi Setyantono MM, Direktur PT. Karsa Wira Utama, Suhardjijo, dan Direktur Utama PT. Inzaya Raya, Indra Wijaja.

Penyidikan terhadap kasus tersebut dihentikan oleh Kejaksaan Agung disebabkan bukti yang tidak cukup. Surat Perintah Penghentian Penyidikan seperti dilansir cnnindonesia.com lalu diterbitkan pada tanggal 6 Januari 2012.

Tama menerangkan, program e-KTP memang telah bermasalah sedari awal. Hal tersebut setidaknya terlihat dari pemantauan ICW yang menyoroti program tersebut sejak masih berupa uji coba. Kehadiran program e-KTP seakan mengabaikan program sebelumnya yang telah dijalankan sejak tahun 2003 hingga 2008, yaitu Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).

Program e-KTP, baik versi ujicoba dan penerapan bersakala nasional dianggap tidak terintegrasi dengan SIAK. “Sudah habis ratusan milyar, tiba-tiba 2009 diluncurkan program uji coba e-KTP di enam wilayah. SIAK seperti dilupakan begitu saja.”

Tama menambahkan, 2011 lalu ketika program e-KTP dimulai, ICW telah mengendus adanya permasalahan, diantaranya pada proses pelaksanaan tender. “KPK dan LKPP juga sampai melakukan pengawasan.”

KPK ketika itu memberikan rekomendasi kepada Kemendagri, diantaranya berupa pengadaan yang harus dilakukan secara elektronik dan imbauan pengawalan prosesnya oleh LKPP.

Sedangkan LKPP memberikan rekomendasi agar panitia pengadaan menunda pemberitan berita acara aanwijzing/addendum dokumen pemilihan, dan bila diperlukan memberi kesempatan kedua untuk aanwijzing. LKPP juga sampai 18 April 2011 tidak mendapat agenda kelanjutan proses pendampingan, sehingga tak lagi dilibatkan dalam proses tender.

Indikasi kecurangan dalam proses tender terlihat dari dua hal, yaitu post-bidding dan dugaan persekongkolan tender. Pasca pengumuman tender, spesifikasi alat yang akan digunakan dalam proses pembuatan e-ktp, yaitu signature pad, diubah. Tindakan tersebut dinilai melanggar Pasal 79 ayat 2 Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 yang melarang tindakan post-bidding. Soal post-bidding sendiri menjadi salah satu poin yang disinggung oleh LKPP.

Adapun dugaan persekongkolan tender terlihat dari beberapa hal, yaitu persekongkolan antar peserta, yang juga melibatkan pihak panitia dan konsultan pengadaan.

Menengok hal tersebut Tama kembali menekankan pentingnya penelusuran kembali terhadap kasus tersebut. “Yang pasti ini menjadi PR buat KPK. Penanganan perkara lambat, padahal informasi sudah banyak,” ujarnya.

Tama menengarai banyak pihak-pihak lain yang turut terlibat. Program dengan total biaya sebesar 6 Trilyun Rupiah tidak mungkin hanya melibatkan pihak Kemendagri saja. Rantai pengadaan barang dan jasa menurutnya jelas melibatkan banyak pihak.

Dalam proses perencanaan misalnya, KPK diminta tidak abai menengok aktor legislatif. Pihak swasta yang terlibat dalam proyek e-KTP juga diminta tidak luput dari perhatian. “KPK harus melihatnya secara utuh,” katanya. Penetapan tersangka di luar pihak Kemendagri lalu menjadi mungkin untuk dilakukan.

Laode Syarif mengakui kasus e-KTP tak sulit untuk dituntaskan. Pihak-pihak yang terlibat, baik di dalam maupun di luar negeri membuatnya menjadi kasus yang rumit. Kendati demikian ia memastikan KPK akan memberikan perhatian serius terhadap kasus e-KTP. “Jumlah kerugian negara besar, juga sangat berpengaruh bagi upaya pembangunan di negeri ini.”

Disinggung mengenai informasi dari mantan Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin yang menyebut nama-nama yang terlibat dalam kasus e-KTP, Laode mengatakan akan menelusuri informasi tersebut, “Dia salah satu sumber informasi, tapi bukan satu-satunya. Kami akan menanyakan banyak pihak,” ujarnya.

Adapun ditanyai kemungkinan nama lain yang kerap disebut, yakni mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Agus Rahardjo enggan untuk menjawab lebih lanjut. “Coba saya teliti dulu. Seberapa besar kemungkinan dia diperiksa? Ya belum tahu.,” ujarnya di Jakarta, 28 September lalu.

Gamawan sendiri, dikutip dari Tempo.co menampik keterlibatannya dalam kasus korupsi e-KTP. “Oh pasti nggak pernahlah, nggak pernah, saya jamin itu,” kata Gamawan seusai diperiksa KPK pada Kamis 20 Oktober 2016.

Laode lalu menjanjikan kasus e-KTP akan dituntaskan pada periode pimpinan KPK yang sekarang. Ia juga memastikan akan akan menelusuri semua aliran dana yang berhubungan dengan e-KTP. “Termasuk semua yang ikut menerima dari hasil e-KTP tersebut,” pungkasnya.

(Egi)

***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan