Jejak Korupsi di Pertanahan

Di sebuah rumah yang cukup mentereng di kawasan Bendogerit Blitar Jawa Timur sore itu ramai oleh banyak orang. Mereka berasal dari unsur petani, nelayan dan penggiat organisasi masyarakat sipil yang tiap hari memang beraktivitas di situ. Sore itu memang mirip acara kondangan suasananya.
 
Di rumah yang mereka sebut sebagai kampung rakyat itu sore 4 Juli 2015 digelar diskusi tentang korupsi di sektor pertanahan. Barangkali memang belum jelas betul, seperti apa korupsi bekerja di sektor pertanahan. Cukup memiliki arti bila kemudian lembaga Komite Rakyat Pemberantasan Korupsi (KRPK) Blitar sore itu menghadirkan Bambang Widjojanto, wakil ketua KPK non aktif. Bersama Lais Abid dari ICW, Bambang menguraikan sisik melik korupsi di seputar pertanahan. 
 
Kedatangan Bambang rupanya cukup meluapkan kegembiraan puluhan petani dan nelayan itu. "Akhirnya Pak Bambang datang mengunjungi kami di Blitar," ujar Trianto, ketua KRPK. Pasalnya dua minggu sebelumnya KRPK pernah menghadirkan kurang lebih 3.500 orang dalam sebuah acara yang sama, dan tak satupun wakil dari KPK yang diundang hadir. Masyarakat Blitar pun pantas kecewa. 
 
Korupsi di sektor pertanahan sejatinya merupakan fenomena yang belum terang betul. Berbeda dengan korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa. Hal ini lantaran korupsi sektor pertanahan cenderung lebih sering muncul sebagai peristiwa-peristiwa konflik. Wujud pidana korupsinya lebih sering tertutupi.
 
Latar belakang penyelenggaraan acara ini sebenarnya bemula dari upaya dari beberapa kelompok warga binaan KRPK yang tergabung dalam Front Perjuangan Petani Mataraman (FPPM) untuk memperoleh legalisasi tanah yang ditempatinya. Selama ini mereka menempati tanah bekas HGU (Hak Guna Usaha) yang ditelantarkan oleh pemegang hak. Peraturan bersama 4 menteri  (Kemendagri, Kemen PU, Kemenagraria, dan Kemenhut) sebenarnya telah memberi harapan kepada mereka. Pemerintah telah member lampu hijau agar para petani dan masyarakat yang menempati tanah seperti ini bisa mendapatkan hak legalitasnya melalui program prona dan redistribusi. Bahkan anggarannya pun telah dialokasikan di APBN. Untuk kasus binaan KRPK permasalahan berhenti pada proses pembentukan tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah dalam kawasan hutan. Tim ini seharusnya dibentuk oleh bupati menurut peraturan bersama 4 menteri tersebut.
 
Warga pun mulai curiga dengan lamanya proses tersebut. Mereka menduganya ada praktik korupsi. Mereka minta KRPK untuk bisa menghadirkan KPK untuk membantu mengurai kebingungan masyarakat petani ini. 
 
Beruntung Bambang Widjojanto yang mengaku sudah bukan pimpinan KPK lagi itu cukup detail menjelaskan wawasan pengetahuan korupsi di sektor pertanahan ini. Menurutnya ada 9 titik masalah di dunia pertanahan di Indonesia. Pertama banyak kasus tumpang tindih kepemilikan tanah. Ada 7,3 juta hektar tanah terlantar. Ada masalah terkait kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Tiadanya database dan pemanfaatan lahan dan penggunaan ruang. Ada problem kesulitan pengurusan sertifikat. Ada masalah pada sumber daya, sarana dan prasarana di sektor pertanahan. Problem pada pengakuan atas tanah adat dan ulayat. Juga masih ada masalah dengan ganti rugi tanah serta banyaknya konflik kepentingan.
 
Selanjutnya menurut Bambang, modus korupsi di sektor pertanahan banyak dipicu oleh adanya fenomena kontak langsung antara petugas dan pemohon sertifikat dengan melakukan back office. Kemudian adanya tarif resmi di bawah biaya operasional pengurusan sertifikat. Kurangnya juru ukur di Badan Pertanahan Nasional yang mengakibatkan munculnya pungli. Menurut Bambang dengan mengutip hasil kajian KPK, saat ini baru ada 2000 orang juru ukur di kantor-kantor pertanahan di seluruh Indonesia. Padahal ukuran yang normal seharusnya ada 4500 orang.
 
Menurut kajian KPK tersebut, titik rawan terjadinya suap dalam pengurusan sertifikat biasanya dimulai dari masuk pintu gerbang kantor pertanahan. Menurut Bambang, untuk menyelesaikan permasalahan di pertanahan, pemerintah harus membangun infrastruktur. Pemerintah harus membuat database pertanahan. Selama ini database pertanahan di Indonesia tidak akurat.
 
Lais Abid dari ICW mengatakan bahwa menurut berkas pengaduan yang disampaikan oleh FPPM ke ICW memang hanya menunjukkan adanya masalah administrasi. Namun tidak menutup kemungkinan dibalik lambatnya pembentukan tim IP4T Kabupaten Blitar ada praktik korupsi. Apalagi bila melihat bahwa program sertifikasi tanah ini sudah dianggarkan di dalam APBN. Namun, Lais Abid menyarankan agar FPPM lebih mendorong penyelesaian permasalahan dengan mendorong dari aspek administrasi dahulu. 
 
Bila masyarakat petani ingin mengungkap kasus korupsinya bisa mengumpulkan bukti-buktinya terlebih dahulu.Nanti bersama KRPK dan ICW bisa dilakukan advokasi lebih lanjut bila konstruksi kasus korupsinya sudah ada dan data-data pendukung juga sudah terkumpul.
 
Di sisi lain, menurut catatan ICW di dalam motiongraphic 4 tahun tren korupsi, ada 26 kasus korupsi  yang berhasil diproses oleh aparat penegak hukum selama 4 tahun (2010-2013). Tentu saja ini adalah kasus-kasus yang telah muncul kerugian negaranya atau sudah ada indikasi suapnya.
 
Acara diskusi di Blitar ini sebenarnya juga sekaligus untuk konsolidasi jaringan masyarakat sipil untuk mendukung gerakan antikorupsi. Setidaknya dengan adanya beberapa komponen seperti petani nelayan, kaum professional seperti tenaga pendidikan dan kesehatan yang dikoordinasi oleh KPK merupakan kekuatan gerakan antikorupsi yang nanti bisa disinergikan dengan kekuatan serupa di daerah lain. --Lais Abid

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan