Jeirry Sumampouw: Anggota BK Tersandera Kepentingan Partai
Relasi bisnis dan politik menjadi pangkal konflik kepentingan dalam pembuatan kebijakan publik. Hal inilah yang kemudian ditengarai menimbulkan kuatnya pusaran politik balas budi antara pejabat dengan kalangan pengusaha yang mendukungnya secara finansial saat pemililihan umum.
Hubungan antara pejabat dan pengusaha, di era pemilihan terbuka oleh rakyat, memang tak bisa dihindari. Pejabat butuh modal untuk merangkul pemilih. Sementara, pengusaha, memanfaatkan kekuasaan pejabat untuk memperkuat posisi dan melancarkan lobi. Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampouw, menegaskan, perlu adanya sebuah lembaga yang mampu menegakkan integritas para anggota dewan terkait kode etik sebagai anggota parlemen, agar tidak tersandera konflik kepentingan dengan barisan pendukungnya.
Demikian petikan wawancara Farodlilah dari ICW dengan Jeirry yang ditemui usai mengikuti Forum Grup Diskusi Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan sejumlah lembaga pemantau parlemen, Jumat (3/11).
Relasi kuat antara pengusaha dan anggota perlemen, apakah berpengaruh pada kebijakan yang dibuat?
Meski belum ada penelitian khusus terkait hal ini, hubungan pengusaha dan politisi, sangat memungkinkan dapat mempengaruhi regulasi yang dibuat. Terlebih di era pemilihan langsung, anggota dewan membutuhkan dana besar untuk berkampanye. Mereka butuh dukungan dana dari pengusaha.
Nah, hubungan balas budi ini, akan mendorong terbitnya regulasi yang menguntungkan perusahaan milik pejabat, kerabat, atau pengusaha yang mendukungnya saat pemilihan berlangsung. Ada upaya untuk melanggengkan kerjasama, memperkaya diri, dan memperkuat hubungan dia dengan kroni-kroninya.
Bagaimana fungsi pengawasan dari badan Kehormatan (BK) di DPR?
BK merupakan badan pengawasan internal anggota dewan. Fungsinya sangat strategis. Namun BK punya kelemahan mendasar, yakni, badan ini hanya bisa bekerja setelah menerima aduan. Akan lebih baik jika BK punya kewenangan untuk melakukan penelitian. BK meneliti setiap anggota DPR, dan kemudian bertindak berdasar hasil pantuannya itu.
Selama ini kan BK hanya mengandalkan pengaduan dan laporan dari masyarakat. Juga laporan dari pimpinan DPR mengenai tindakan negatif anggota DPR. Secara etis sudah bisa dijerat, ketika seorang anggita DPR yang membidangi bidang kehutanan, misalnya, mengalihkan proyek alih fungsi hutan kepada perusahaan tertentu yang memiliki hubungan mutualisme dengan dirinya. Namun yang terjadi sekarang, BK belum dapat bergerak ketika tidak ada aduan.
Kelemahan BK yang lain?
Mekanisme pengambilan keputusan yang mengharuskan persetujuan dari seluruh anggota BK, juga menghambat kinerja. Ketika satu orang saja dari anggota BK yang berjumlah 11 orang, enggan membubuhkan tanda tangan, kelanjutan proses kasus yang ditangani tidak akan berjalan. Ini harus diubah.
Pun, BK cenderung mengandalkan standar legal formal dalam pengambilan keputusan. Sementara, persoalan etika dan moral seharusnya tidak dinilai melalui standar legal, karena banyak hal yang tidak tercantum di dalamnya.
Perlukah menetapkan aturan detail yang mengatur etika anggota dewan?
Tidak perlu membuat aturan-aturan rigid dan detail terkait apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh anggota DPR. Aturan etika sebenarnya sudah menjadi standar umum. Lagipula, pengaturan secara legal seringkali memunculkan celah bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Yang lebih diperlukan adalah penguatan integritas moral anggota DPR secara pribadi. Jika setiap anggota DPR memiliki integritas, segala aturan yang ditetapkan akan berjalan baik.
Reformasi untuk BK?
unsur masyarakat sipil perlu masuk ke dalam BK, agar putusan yang dihasilkan bisa lebih objektif. Masyarakat bisa lebih independen, karena tidak memiliki hubungan langsung dengan anggota DPR yang diproses oleh BK.
Memasukkan unsur luar, berarti mematahkan fungsi BK sebagai pengawas internal?
Memang akan rumit nanti, jika ada unsur masyarakat. Diperlukan pembahasan mendalam untuk memformulasikan unsur pengawas eksternal dari masyarakat ke dalam tubuh BK.
Tapi ada opsi lainnya, yakni dengan membatasi intervensi partai. Ketika BK tengah menangani kasus anggota DPR dari Partai A, misalnya, maka anggota BK dari perwakilan partai A tidak boleh terlibat. Ini untuk menjaga objektifitas. Tapi, bila ini dilakukan, aturan persetujuan seratus persen anggota BK dalam menangani kasus harus diubah.
Sebagai badan pengawas, apakah BK juga terlibat konflik kepentingan, mengingat anggota BK adalah perwakilan fraksi?
Konflik kepentingan sangat mungkin terjadi karena anggota BK seringkali masih tersandera oleh kepentingan fraksi atau partainya. Mereka tidak bisa sepenuhnya melepas baju partai saat berada di BK. Akibatnya, penanganan pkasus anggota DPR yang bermasalah bisa tersendat, ketika yang diproses adalah orang-orang penting partai yang memiliki wakil di BK.
Ini juga menjadi tidak objektif, karena tidak semua partai memiliki wakil di BK. Partai Gerindra dan Hanura, karena porsi suara di DPR minim, tidak memiliki tempat di BK. Akibatnya, kasus yang menimpa anggota mereka bisa dengan cepat diselsesaikan, dihajar oleh BK. Berbeda ketika BK menangani kasus petinggi Demokrat, atau PDIP.