Jawa Tengah Lumbung Korupsi?

SETELAH menunggu sekian lama, publik akhirnya dibuat lega saat akhirnya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menetapkan mantan Bupati Sragen, Untung Wiyono, sebagai salah satu tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan keuangan kas daerah Pemerintah Kabupaten Sragen APBD 2003-2010. Selain Untung Wiyono, ada dua tersangka lain, yakni mantan Sekretaris Daerah Sragen Kushardjono dan Kepala Bagian Keuangan Daerah Sri Wahyuni. Untung Wiyono, yang menjabat bupati selama dua periode, diduga memindahkan dana dari kas daerah ke PD BPR Djoko Tingkir dan PD BPR BKK Karangmalang, Sragen.

Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Setia Untung Arimuladi membeberkan hasil penyidikan yang merujuk aksi Untung mengalirkan uang dari kas daerah untuk dijadikan sertifikat deposito. Ironisnya, sertifikat itu malah dijadikan agunan untuk permohonan kredit yang mengatasnamakan Pemerintah Kabupaten Sragen.

Jumlah kredit itu cukup fantastis. Di kedua BPR itu tercatat 108 surat perjanjian kredit yang diterbitkan dengan total pinjaman lebih dari Rp 36,3 miliar serta 22 surat perjanjian kredit dengan pinjaman Rp 6,134 miliar. Jadi total pinjaman lebih dari Rp 42,51 miliar.

Seharusnya uang hasil pinjaman menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah berupa sertifikat deposito berasal dari kas daerah dimasukkan dan dicatat dalam kas daerah. Pengelolaannya juga seharusnya melalui mekanisme APBD. Namun yang terjadi sebaliknya. Uang hasil pinjaman itu justru digunakan untuk kegiatan di luar kedinasan.

Hingga semester I tahun ini, tercatat ada 75 perkara korupsi yang disidik, 11 kasus di antaranya ditangani Kejati dan sisanya di 36 kejaksaan negeri. Kerugian negara diperkirakan Rp 87 miliar, sedangkan yang dapat diselamatkan Rp 1,57 miliar.

Kejati menyatakan berapa pun kerugian negara dalam setiap kasus korupsi akan ditangani secara serius. Namun kejaksaan akan lebih mengutamakan dari sisi kualitas penanganan perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi. “Kami akan terus mengoptimalkan penanganan kasus korupsi dan pemulihan keuangan negara menjadi fokus kami,” katanya.

Mencemaskan
Praktik korupsi di Jawa Tengah memang sangat mencemaskan. Barangkali wilayah ini tak hanya jadi lumbung padi yang berhasil menyangga pangan nasional, tetapi juga menjadi salah satu lumbung korupsi.

Berdasar data Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, misalnya, selama kurun waktu 10 tahun terakhir ada 20 kepala daerah, dua wakil kepala daerah, satu mantan gubernur yang terseret korupsi, serta beberapa yang lain belum ditetapkan menjadi tersangka. Potensi kerugian negara seluruhnya sekitar Rp 187 miliar.

Empat kepala daerah yang masih aktif menjadi tersangka dugaan korupsi penyalahgunaan APBD. Mereka adalah Bupati Batang Bambang Bintoro, Bupati Pati Tasiman, Bupati Rembang M Salim, dan Bupati Tegal Agus Riyanto. Belakangan Kejati melangkah secara progresif dengan menahan Agus Riyanto pada 28 Juni. Kepala Kejaksaan Tinggi Widyopramono telah menegaskan tidak akan tebang pilih, meski tersangka masih menjabat bupati sekalipun.

Agus Riyanto diduga terlibat korupsi proyek pembangunan Jalan Lingkar Kota Slawi (Jalingkos). Dana yang diselewengkan ditengarai Rp 1,73 miliar yang berasal dari APBD Tegal 2006-2007. Dari proses penyidikan diketahui, dana yang seharusnya untuk pembayaran pengadaan tanah, malah digunakan untuk kepentingan pribadi secara bertahap. Tersangka juga menggunakan dana Rp 2,225 miliar dari uang pinjaman daerah dari Bank Jateng Cabang Slawi dalam rekening pribadi. Kerugian negara dalam kasus itu diperkirakan Rp 3,9 miliar.

Berdasar informasi Humas Pengadilan Negeri Semarang, sejak Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang dioperasikan mulai Januari 2011 hingga akhir Juni tercatat 50 kasus korupsi telah disidangkan. Maka dengan pelimpahan berkas Agus Riyanto pada 6 Juli, kasus itu menjadi perkara korupsi bupati aktif pertama yang segera disidangkan di Pengadilan Tipikor Semarang.

Langkah progresif Kejati dalam penanganan kasus korupsi, khususnya yang menyangkut bupati yang masih aktif, mendapat apresiasi. Sekretaris KP2KKN Jawa Tengah Eko Haryanto menilai upaya Kejaksaan Tinggi, terutama pada semester I tahun 2011, jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, menurut pendapat Eko, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam penuntasan kasus korupsi yang menyeret kepala daerah. Sebab, selama ini penanganan selalu terhambat birokrasi perizinan.

“Padahal dalam hukum acara, prosedur izin itu tidak ada buktinya. Ada banyak contoh juga kepala daerah yang bisa diperiksa sebelum izin turun. Seharusnya tidak perlu ada perlakuan istimewa karena semua orang di muka hukum berkedudukan sama,” ujar Eko.

Dia juga menyoroti betapa banyak kejaksaan negeri yang minim penanganan kasus korupsi, meski ada pula yang sangat progresif dan memiliki komitmen serius menangani perkara korupsi. Dia menyebut Kejaksaan Negeri Demak, Jepara, Purwodadi, Kudus, Ambarawa, Pekalongan, Temanggung, Surakarta, dan Wonogiri minim prestasi.

Selain banyak kasus yang dipetieskan, bahkan terdakwa juga dibebaskan, sering kali muncul keluhan soal keminiman sumber daya manusia dalam proses pemeriksaan atau penyidikan. Akibatnya, dalam penanganan perkara, aparat penegak hukum tak bisa maksimal. Aspidsus Setia Untung pernah menyatakan ada sembilan kejaksaan negeri dengan penyidikan korupsi nol. Kendati enggan menyebut wilayah mana saja, Kejaksaan Tinggi menyatakan akan menyupervisi dan mencari tahu apa saja kendala yang dialami di daerah.

Tergantung Pemimpin
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) UGM Hifdzil Alim berpendapat berhasil atau tidak langkah penuntasan perkara itu sangat tergantung pada level pemimpin. “Catatan kami menunjukkan, pemimpin yang baik dan berkomitmen mengakselerasi penanganan perkara korupsi itulah yang berhasil. Satu yang kami lihat cukup konsen adalah Kejaksaan Negeri Batang,” ujar Hifdzil.

Dia menuturkan salah satu pemicu kenapa banyak pemimpin daerah bisa terjerat korupsi adalah sistem ijon politik. Seseorang yang maju dalam bursa pencalonan pemilihan kepala daerah hanya berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan bukan pengusaha akan kesulitan karena kebutuhan dana sangat besar. Dana itu untuk kampanye, lobi, dan bukan tidak mungkin “serangan fajar”. Ya, semua membutuhkan biaya besar. “Semua uang itu harus dikembalikan sehingga mereka acap menghalalkan segala cara,” tutur dia.

Penyalahgunaan anggaran yang terjadi, lanjut dia, sudah menyebar ke semua level. Tak hanya kalangan DPRD atau pejabat pemerintah daerah seperti kepala dinas, tetapi juga melibatkan pihak lain seperti direktur perusahaan daerah. Korupsi, kata Hidzfil, sudah ibarat shalat berjamaah. Selama yang dieksekusi adalah salah satu jamaah, shalat bisa tetap berjalan karena masih ada imam yang memimpin (korupsi).

“Jadi percuma saja kalau aparat hukum hanya menjegal bawahan karena masih ada imam (atasan) yang juga memimpin korupsi,” tandas dia.

Pengamat hukum dari FH Unissula Semarang, Rahmad Bowo, menilai sudah banyak untuk mencegah dan mengurangi korupsi dilakukan. Namun angka kejahatan korupsi belum menunjukkan penurunan berarti. Desentralisasi politik dan administrasi kepada daerah juga berdampak terhadap kemerebakan praktik korupsi di daerah. Daerah menjadi lahan subur bagi praktik korupsi.

Penuntasan kasus korupsi sering kali berjalan lamban, tersendat-sendat, penyidikan dihentikan oleh penegak hukum, bahkan ada yang dibebaskan pengadilan. Salah satu faktor penyebab keterhambatan penuntasan kasus korupsi di daerah yang mendapat perhatian luas dan serius dari aktivis antikorupsi adalah pengaruh kuat unsur musyawarah pemimpin daerah (muspida). “Keterlibatan penegak hukum dalam unsur muspida itulah yang diyakini banyak kalangan sebagai salah satu faktor yang memperlemah penegakan hukum tindak pidana korupsi di daerah, terutama bila berhubungan dengan korupsi yang dilakukan kepala daerah,” ujarnya.

Setelah melihat upaya penanganan kasus korupsi yang dilakukan kejaksaan, bagaimana keseriusan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah dalam mengeksekusi korupsi? Pada 6 Mei 2011, harapan besar membubung dengan peresmian Kantor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus). Kantor di Jalan Sukun Raya, Banyumanik, Kota Semarang, itu memiliki empat subdirektorat, yakni Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Subdirektorat Tindak Pidana Ekonomi, Subdirektorat Kejahatan Dunia Maya, dan Subdirektorat Sumber Daya Lingkungan.

Pada waktu peresmian, Kapolda Irjen Edward Aritonang memberikan penekanan pada Subdirektorat Tipikor yang mendapat banyak perhatian dari masyarakat. Namun harapan itu menguap begitu saja. Dua bulan berselang tak pernah ada kabar penanganan berbagai kasus korupsi di Polda Jawa Tengah. Bukan hanya tak ada kasus baru yang disidik, kemajuan penanganan kasus-kasus lama pun makin tidak jelas.

KP2KKN mencatat penanganan enam kasus korupsi bernilai miliaran rupiah dan melibatkan kepala daerah di Jawa Tengah terbengkalai di tangan Polda. Kasus itu antara lain dugaan korupsi APBD 2003 Pati tahun 2002 senilai Rp 1,9 miliar yang melibatkan Bupati Tasiman serta kasus dugaan korupsi penyertaan modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya (RBSJ) dari APBD 2006 dan 2007 senilai Rp 5,2 miliar yang melibatkan Bupati M Salim. Kasus lain adalah dugaan korupsi Sistem Informasi Pemerintahan Desa (Simpemdes) senilai Rp.6,8 miliar yang melibatkan mantan Bupati Cilacap Probo Yulastoro serta kasus dugaan korupsi Jalan Lingkar Selatan (JLS) Kota Salatiga dengan kerugian keuangan negara Rp 12,23 miliar.

Kasus Fenomenal

Kasus Bupati Pati Tasiman paling fenomenal. Sejak disidik 5 Maret 2008 melalui surat perintah penyidikan bernomor Sp.Sidik/118A/III/2008/ Reskrim, sang bupati belum juga diajukan ke pengadilan. Padahal tersangka lain, yakni Ketua DPRD Pati 1999-2004 Wiwik Budi Santosa telah diadili di Pengadilan Tipikor Semarang dan divonis empat tahun penjara.

Selama tiga tahun ini, sejak ditetapkan sebagai tersangka, Tasiman bahkan belum pernah diperiksa. Polda selalu beralasan belum mendapat izin pemeriksaan dari Presiden. Tasiman hanya pernah diperiksa sebagai saksi untuk berkas perkara Wiwik. Perkembangan terbaru, penanganan kasus itu justru makin jauh dari Tasiman, setelah ada penetapan tersangka baru, yakni mantan Wakil Bupati Pati, Kotot Kusmanto.

Kasus Rembang mulai disidik Polda dengan penerbitan surat perintah penyidikan bernomor Pol: SP Sidik/251A/V/2010/Reskrim tertanggal 25 Mei 2010 atas nama tersangka Siswadi (Direktur PT RBSJ) dan nomor Pol: SP Sidik/251B/V/2010/ Reskrim tertanggal 25 Mei 2010 untuk dan atas nama tersangka Moch Salim (Bupati Rembang). Siswadi sudah beberapa kali diperiksa sebagai tersangka, tetapi Salim sama sekali belum. Dengan alas an, belum ada surat izin pemeriksaan dari Presiden. Namun bagaimana izin bisa turun, jika permohonan belum pernah dilayangkan?

Kapolda Irjen Edward Aritonang sering beralasan, kasus terhambat oleh audit penghitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terlambat. Padahal, BPK pernah mengeluarkan hasil audit investigasi pada 27 Maret 2009. Saat itu ditemukan indikasi kerugian negara Rp 5,2 miliar dari total dana APBD Rembang tahun anggaran 2006-2007 sebesar Rp 35 miliar.

Setali tiga uang. Kasus JLS Salatiga yang semula ditangani Polres Salatiga juga terkatung-katung di Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah. Padahal, petunjuk jelas sudah diberikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jawa Tengah (BPKP). Lembaga itu menyebut ada tujuh pihak yang harus bertanggung jawab atas kerugian negara Rp 12,23 miliar di JLS. Meski tak menunjuk hidung, BPKP memberikan petunjuk bahwa sejumlah pejabat teras Pemerintah Kota Salatiga terlibat. Tapi yang dijerat baru satu, yakni mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Salatiga, Saryono.

Sementara itu, korupsi Simpemdes Cilacap telah dua tahun lebih belum kelar juga. Kali pertama ditangani Polwil Banyumas, saat itu, 11 Januari 2011, Bupati Probo Yulastoro langsung ditetapkan sebagai tersangka. Namun, “karena satu dan lain hal”, penanganan kasus itu diambil alih Polda Jawa Tengah. Alih-alih cepat tertuntaskan, sekarang penanganan kasus yang merugikan negara Rp 7,6 miliar itu justru makin lama kian tak berkepastian. (Modesta Fiska,Anton Sudibyo-51)
Sumber: Suara Merdeka, 11 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan