Jangan Tunda Keterbukaan Informasi!
Sebuah kelaziman dengan mudah kita jumpai di masjid- masjid Indonesia. Pada awal prosesi ibadah shalat Jumat, seorang pengurus masjid maju ke mimbar, lalu mengumumkan kepada jemaah berapa sumbangan dari hamba Allah yang terkumpul seminggu terakhir, digunakan untuk apa saja, dan berapa saldo yang tersisa.
Entah bagaimana awalnya dan siapa yang memelopori, mayoritas masjid di Indonesia telah mempraktikkan ritual ini, transparansi pengelolaan dana infak mingguan. Takmir masjid juga mempertanggungjawabkan pengelolaan dana infak secara tahunan pada momentum ibadah shalat Idul Fitri. Sebuah kasus menarik, tetapi tidak banyak disadari, tentang transparansi pengelolaan dana publik di akar rumput. Masih banyak kasus lain yang juga menunjukkan betapa dengan kearifan dan kesederhanaannya, masyarakat telah menerapkan apa yang selama ini sepertinya hanya menjadi isu kalangan elite: keterbukaan informasi dan akuntabilitas publik.
Praktik keterbukaan informasi di akar rumput itu perlu digarisbawahi, terutama karena sejauh ini berkembang anggapan di sebagian kalangan pemerintah bahwa masyarakat Indonesia belum siap mempraktikkan keterbukaan informasi. Keterbukaan informasi dilihat sebagai konsep asing yang tak dipahami masyarakat, dipaksakan pelaksanaannya, bahkan dianggap tak sesuai nilai-nilai ”asli” Indonesia.
Anggapan ini tentu saja menyesatkan. Keterbukaan informasi adalah imperatif dalam demokrasi, sebuah keniscayaan dalam upaya pemberantasan korupsi. Di sisi lain, masyarakat bisa jadi tidak familiar dengan istilah transparansi, akuntabilitas, partisipatori, right to know. Namun, masyarakat telah mempraktikkan esensinya pada level penyelenggaraan kekuasaan yang sederhana: jemaah masjid, kumpulan gereja, rukun warga, kelurahan, dan lain-lain.
Lebih dari itu, masyarakat adalah korban langsung absennya keterbukaan informasi. Di mana ada ketertutupan informasi, di situ menjamur korupsi dan pungli. Adakah gugus pelayanan publik yang bebas dari pungli? Ketika mengurus KTP, STNK, SIM, pajak, akta tanah, dan akta kelahiran, masyarakat selalu berhadapan dengan pungli. Bahkan, pengurusan surat keterangan miskin pun dipungli.
Masyarakat selalu jadi korban pemerasan struktural di semua lini pelayanan publik. Ini terjadi karena tak ada transparansi standar pelayanan publik. Pelayanan publik berlangsung dalam modus yang sulit dikontrol masyarakat. Dengan bebas petugas pelayanan publik memungut biaya tak resmi, sementara atasannya selalu pura-pura tak tahu. Perlu digarisbawahi, jika diakumulasi, praktik pungli pada level pelayanan publik yang secara langsung merugikan rakyat kecil adalah skandal korupsi yang besar.
Belajar dari rakyat
Bagaimana menularkan spirit dan praktik transparansi di akar rumput kepada pemerintah? Maukah para pemimpin mengambil suri teladan dari rakyatnya? Inilah persoalannya. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) telah melembagakan prinsip transparansi badan publik dan hak masyarakat memperoleh informasi pemerintahan. Faktanya, hingga menjelang tenggat waktu pemberlakuan UU KIP 30 April 2010 belum terlihat persiapan serius pemerintah.
Mayoritas badan publik belum memiliki prosedur standar operasional UU KIP. Mereka belum memahami benar duduk perkara keterbukaan informasi. Mereka juga kesulitan membayangkan langkah persiapan yang harus diambil karena belum ada petunjuk pelaksanaan. Komisi Informasi, lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan UU KIP, juga belum berfungsi maksimal karena belum mendapatkan fasilitas yang memadai dari pemerintah.
Yang terjadi justru salah interpretasi yang memprihatinkan. Beberapa badan publik dengan jemawa mengklaim diri sudah transparan hanya karena telah memiliki website. Padahal, website hanya medium pengumuman informasi, bagian kecil dari keseluruhan sistem akses informasi. Ada juga yang menafsirkan UU KIP sebagai pemusatan informasi pemerintahan ke satu departemen, kemudian departemen ini jadi satu-satunya pintu bagi pemerintah untuk memberikan informasi ke masyarakat.
Presiden SBY menandatangani UU KIP pada Mei 2008. Pemerintah dan DPR menetapkan masa persiapan dua tahun untuk pelaksanaannya. Maka, pemerintah seharusnya konsisten melaksanakan tepat waktu. Pemerintah seharusnya menjatuhkan sanksi tegas kepada badan publik yang tak mempersiapkan diri untuk pelaksanaan UU KIP, dan memberikan penghargaan kepada badan publik yang sebaliknya.
Tidak ada celah untuk meragukan urgensi keterbukaan informasi. Masalah utama bangsa Indonesia saat ini adalah korupsi. Akar dari persoalan merebaknya praktik korupsi adalah pemerintahan yang berjalan secara tertutup dan penuh kerahasiaan. Korupsi terjadi karena publik tidak memiliki instrumen untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan sumber daya publik. Instrumen tersebut, antara lain, jaminan hukum yang memadai atas hak publik untuk mendapatkan informasi tentang kinerja dan kebijakan badan-badan publik.
Pemberantasan korupsi tidak mungkin terwujud dengan menegasikan keterbukaan informasi. Masyarakat secara langsung juga telah merasakan dampak buruk ketertutupan informasi. Maka, tak ada alasan untuk menunda pelaksanaan keterbukaan informasi. Sekali lagi, maukah para pemimpin kita mengambil teladan dari rakyatnya?
Agus Sudibyo Pegiat Koalisi untuk Kebebasan Informasi
Tulisan ini diambil dari Kompas, 30 April 2010