Jangan Terulang Vonis Angie

Rabu (30/01), ICW dan YLBHI yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendatangi Mahkamah Agung untuk menyerahkan catatan hukum mengenai vonis Angelina Sondakh untuk Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Muda Pidana Khusus (Tuada Pidsus) Artidjo Alkostar.

Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga mendukung Mahkamah Agung untuk mendorong para hakim agar menjatuhkan vonis yang lebih sesuai, karena tren vonis tindak pidana korupsi (tipikor) akhir-akhir ini cukup rendah.

Yang  teranyar adalah kasus yang menyeret Anggota DPR dari Partai Demokrat, Angelina Sondakh yang divonis 4 tahun 6 bulan.

Rendahnya vonis hukum untuk terpidana kasus korupsi menjadi perhatian Koalisi. Ini mengkhawatirkan karena dapat menjadi preseden buruk ke depan.

Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa Putusan PN Jakarta Pusat baru-baru ini yang hanya menghukum Angelina Sondakh 4 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar 250 juta rupiah nampaknya masih jauh dari rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

Jika melihat kapasitas Angelina sebagai wakil rakyat, perbuatannya yang mengiring sejumlah proyek dan sejumlah uang yang diterimanya yang tidak disita oleh Negara, putusan PN Jakarta Pusat tersebut dapat dikategorikan ringan. Berangkat dari kondisi demikian, maka Koalisi Masyarakat Sipil memandang sangat perlu untuk mengkritisi putusan tersebut. “Koalisi Masyarakat Sipil meminta Mahkamah Agung agar mendorong supaya semua hakim di Indonesia menjatuhkan hukuman paling berat untuk koruptor,” tegas Febri Diansyah, peneliti ICW.

Data yang diperoleh Koalisi Masyarakat Sipil memuat dua catatan yang mengkhawatirkan dan penting disimak terkait putusan Angelina. Pertama adalah penggunaan Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi oleh hakim, padahal dari fakta-fakta persidangan yang diyakini terbukti oleh hakim, seharusnya unsur-unsur perbuatan pidana pada Pasal 12 huruf a UU Tipikor dapat diterapkan dalam kasus ini. Kemudian catatan kedua, pelanggaran Undang-undang Tindak Pidana Korupsi oleh hakim karena menolak menggunakan Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi untuk kepentingan perampasan aset terhadap terdakwa.

Minimnya pemahaman hakim ad hoc tipikor dalam memahami UU Antikorupsi dan semangat yang terkandung di dalamnya tentu saja menjadi salah satu permasalahan yang serius bagi upaya pemberantasan korupsi ke depan. Inilah yang didorong oleh Koalisi Masyarakat Sipil kepada Mahkamah Agung, agar jangan sampai kemungkinan minimnya pemahaman hakim yang berkorelasi erat dengan kapasitas yang dimiliki hakim-hakim tersebut, memengaruhi jatuhnya vonis ringan pada pelaku kasus korupsi, apalagi untuk kasus-kasus lain selanjutnya.

Koalisi juga menyampaikan keluhan soal lambatnya pengiriman salinan putusan dari Mahkamah Agung. Kasus yang menjadi contoh adalah kasus di Kota Batu, dimana Astin Lilandari, bekas Bendahara Daerah atau Kepala Kas Daerah Kota Batu belum juga dipecat dengan alasan menunggu salinan amar putusan Mahkamah Agung. Astin tersangkut kasus dugaan korupsi dana Kas Daerah sepanjang 2004 – 2007 sebesar Rp 12 miliar. Keputusan MA secara resmi menyatakan Astin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Namun, karena salinan amar putusan ini belum didapat Pengadilan Negeri Surabaya, pemecatan belum bisa dilakukan oleh Pemerintah Kota Batu.

Emerson Yuntho, peneliti ICW mempertanyakan, “Saya khawatir, apakah persoalan keterlambatan ini merupakan soal administrasi, ataukah persoalan mafia peradilan? Walau mungkin persoalan ini belum tentu datang dari Mahkamah Agung atau pengadilan, bisa saja persoalan ada di Kejaksaan Agung.” Mahkamah Agung, dalam kesempatan ini, berjanji akan mengecek masalah pengiriman salinan putusan ini.

“Kita juga mengeluhkan performa kejaksaan, dimana Djoko Chandra yang kabur ke luar negeri, diburu habis-habisan. Tapi, pelaku atau terpidana korupsi yang ada di Jakarta, yang mungkin jaraknya hanya beberapa kilometer dari Kejaksaan Agung, misalnya saja Sumita Tobing, itu belum dieksekusi hampir dua tahun,” tukas Emerson.

Dukungan Koalisi Masyarakat Sipil disambut baik oleh Ketua Muda Pidana Khusus Artidjo Alkostar. “Tentunya ini akan diteruskan ke Ketua,” ujar Artidjo, memaksud Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan