Jangan Revisi PP 99/2012

Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengundang gugatan dari para terpidana. Syarat menjadi justice collaborator dan kewajiban membayar uang pengganti adalah hal terakhir yang ingin dilakukan oleh koruptor. Perlawanan yang kemudian menjadi parameter keresahan mereka adalah, usaha melakukan judicial review terhadap PP 99/2012.

PP 99/2012 muncul sebagai inisiatif pemerintah yang patut diapresiasi. Ketika banyak pihak mempertanyakan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi, pengetatan syarat remisi bagi terpidana kasus korupsi justru muncul sebagai jawaban keraguan masyarakat. Yang harus diwaspadai adalah munculnya perlawanan balik dari para koruptor.

Melanggar HAM?
Bermacam alasan didalilkan untuk melegitimasi usaha judicial review. PP 99/2012 dianggap melanggar HAM karena hak memeroleh remisi disamakan dengan HAM, dan PP ini dianggap mendiskriminasi terpidana kasus korupsi, terorisme, narkoba, kejahatan HAM, dan kejahatan transnasional.

Apa yang dimaksud dengan diskriminasi oleh para pendukung revisi PP 99/2012 tidak beralasan. Merujuk pada Pasal 1 angka 3 UU No. 39/1999 tentang HAM, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan yang didasarkan pada suku, agama, ras,kepercayaan, dan jenis kelamin seseorang. Yang dimaksud dalam PP 99/2012 adalah pembedaan perlakuan berdasarkan beratnya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Jika tidak ada pembedaan, keadilan masyarakat dan narapidana kasus lain justru akan terganggu, karena akibat hukum dari korupsi sangat merugikan masyarakat.

Penyamaan hak memeroleh remisi dengan HAM adalah sebuah kesalahan. HAM adalah hak yang asali dan terberi sebagai manusia. Pemenuhannya tidak dapat ditawar dan wajib dipenuhi oleh negara, sehingga kelalaian negara dalam melindungi dan memenuhi HAM warga negaranya adalah pelanggaran HAM. Hak memeroleh remisi bukanlah HAM, karena perolehan remisi bukanlah hak yang terberi. Ada kewajiban berupa syarat perundang-undangan yang harus dipenuhi oleh narapidana yang ingin memeroleh remisi. Jika memakai logika bahwa hak memeroleh remisi adalah HAM, maka para pemakai logika itu mengasumsikan semua manusia adalah narapidana.

Kerusuhan di lapas Tanjung Gusta menjadi titik tolak mencuatnya usaha pengujian PP 99/2012. PP ini dianggap melanggar HAM, dan tidak sejalan dengan UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hal inilah yang dianggap menjadi penyebab kemarahan napi Tanjung Gusta.

PP 99/2012 dikeluarkan 12 November 2012, tujuannya: memerketat hujan remisi di negeri korupsi. Pemberian remisi kepada koruptor jelas kontraproduktif dengan usaha pemberantasan korupsi, terutama karena sangat longgar persyaratan untuk memeroleh remisi. Di masa Kemenkum dam HAM dipimpin oleh Patrialis Akbar, tercatat nama-nama dengan kasus korupsi yang besar seperti Urip Tri Gunawan, mantan jaksa yang jadi terpidana kasus suap BLBI, Yohanes Waworuntu, terpidana kasus korupsi Sisminbakum, hingga Gayus Tambunan, yang ketika memeroleh remisi pertamanya di tahun 2011, belum mencapai sepertiga masa pidananya.

Longgarnya syarat mendapatkan remisi bagi narapidana kasus korupsi dapat dilihat dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a dan b PP No. 28 Tahun 2006, yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana. Artinya, jika seorang terpidana kasus korupsi dipidana penjara selama lima tahun, di tahun ke dua ia dapat menerima remisi, dan akan memangkas masa pidananya menjadi di bawah lima tahun.

Remisi dengan syarat yang mudah semakin membuat jengah jika melihat tren vonis pengadilan Tipikor tiga tahun terakhir. Menurut hasil pantauan ICW, dari 756 terdakwa kasus korupsi, 143 orang dinyatakan bebas, 185 orang dihukum di bawah 1 tahun, 167 orang dihukum antara 1,1 tahun-2 tahun, dan 217 orang dihukum antara 2,1 tahun-5 tahun. Artinya, lebih dari 712 vonis bebas dan ringan diberikan kepada terdakwa kasus korupsi.

Kombinasi kedua hal ini membuat usaha pemberantasan korupsi jalan di tempat. Selain terpidana kasus korupsi dapat dengan mudah lenggang kakung setelah mendapat vonis ringan,ia juga dapat memotong dengan legal masa pidananya karena peraturan pemerintah.

Pemberantasan korupsi kembali menjadi wacana ketika usaha pemerintah menjerakan koruptor justru diartikan sebagai pelanggaran HAM, oleh pihak-pihak yang justru lebih dahulu memotong alur pemenuhan HAM masyarakat. Logika sederhana persinggungan HAM dengan korupsi dapat dilihat dari angka ibu yang gagal bersalin akibat jalanan rusak parah, hingga sekolah yang bubar karena gedungnya runtuh. Korupsi pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan dan pendidikan secara langsung berkontribusi terhadap tidak dipenuhinya HAM warga negara.

Jika akhirnya judicial review terhadap PP 99/2012 benar-benar dilakukan, Mahkamah Agung harus memahami bahwa revisi ini akan menjadi langkah mundur pemberantasan korupsi. Penjeraan koruptor harus dimulai dengan pembenahan aturan-aturan hukum yang sering menjadi celah untuk meringankan hukuman dan kerugian koruptor.

Lalola Easter, Adalah staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW

Tulisan ini disalin dari Suara Pembaruan, 2 Agustus 2013 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan