Jangan Pilih Politisi Busuk

Luky Djani ? Wakil Koordinator ICW

Pemilu 2004 merupakan lembaran baru dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia. Tahun depan, otoritas pemilih semakin luas. Mereka tak hanya mencoblos simbol partai politik tapi juga nama calon anggota legislatif (DPR). Mereka juga berhak memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.

Padahal dulu rakyat hanya memilih anggota DPR saja. Pemilihan presiden dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang terdiri dari anggota DPR serta utusan daerah dan golongan yang diangkat. Cara ini tak lagi dianggap efektif. Karena itu, perubahan yang cukup radikal dilakukan. Tujuannya, agar pemilih dapat menentukan wakil yang tepat untuk mengusung aspirasi mereka.

Apakah perubahan itu akan serta merta melahirkan lembaga legislatif dan eksekutif, yang lebih aspiratif dan responsif pula? Nanti dulu. Jawabannya terletak pada stok kandidat yang ditawarkan masing-masing partai. Jika kualitas dan komitmen kandidat yang dinominasikan di bawah rata-rata, jangan harap akan ada perubahan berarti.

Mari kita lihat proses seleksi dan penetapan calon legislatif oleh partai-partai politik. Realitasnya, mekanisme rekrutmen masih jauh untuk disebut demokratis dan partisipatif. Penetapan calon masih didominasi oleh hubungan kedekatan atau perkoncoan. Padahal pola inilah yang melanggengkan patronase politik di dalam partai politik.

Modus lain adalah membeli kursi. Setoran dana dari kandidat kepada partai berusaha ditutup-tutupi dengan dalih sumbangan, bahkan disebut infak yang ?sukarela tapi mengikat? segala. Bahayanya, calon ?nomor jadi? ditentukan dari jumlah sumbangan. Akibatnya, kandidat yang memiliki kompetensi dan komitmen, tapi tanpa dana yang memadai bakal tersingkir. Proses nominasi pun tak memperhitungkan wawasan, kemampuan, komitmen dan serta pengalaman (track record) yang jelas.

Produk Pemilu 1999 Gagal

Pejabat yang lahir dari pemilihan umum 1999 lalu memang jauh dari harapan masyarakat. Entah kenapa, elit politik seperti terkena penyakit rabun jauh. Demi memperoleh kekuasaan politik jangka pendek, kepentingan kelompok pun diutamakan. Tuntutan reformasi untuk menciptakan pemerintahan yang bebas KKN, menghargai hak asasi manusia serta pemulihan ekonomi tak jua diwujudkan.

Parahnya, pelbagai kebijakan publik tak lagi sensitif terhadap krisis. Kebijakan dibuat untuk mengakomodasi kepentingan kelompok yang menjadi kroni semata. Pola konsolidasi kekuasaan bertumpu pada hubungan patronase politik dan bisnis, demi menguasai sumber daya ekonomi.

Mengapa democratic governance yang dicita-citakan malah tak kunjung tercapai? Padahal pemilu 1999, sempat dianggap pemilihan yang demokratis, jujur, adil, aman dan damai. Apa yang salah?

Penyebabnya yang utama adalah kualitas calon yang jauh di bawah standar. Democratic governance bisa tercipta jika proses pemilu berjalan secara demokratis, dan didukung pejabat publik yang amanah dan kompeten. Jika politisi busuk yang terpilih, maka kekuasaan yang diperolehnya akan memberinya peluang lebih lebar untuk menyeleweng dan korupsi.

Politisi Busuk? No Way!

Siapakah politisi busuk (bad politician) itu? Bagaimana kita membedakannya dengan yang amanah? Berikut ada empat kriteria yang digunakan beberapa organisasi masyarakat dan organisasi non pemerintah untuk membedakan para politisi.

Pertama, si calon tidak pernah melakukan korupsi, kolusi (penyelewengan kekuasaan) dan nepotisme (perkerabatan). Kedua, politisi itu tak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya, kejahatan terhadap kemanusiaan, penganiayaan dan penculikan, penindasan terhadap hak sosial dan politik kelompok masyarakat.

Ketiga, si calon tak terlibat dalam pengrusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan, penebangan hutan secara ilegal. Dan keempat, si politikus itu tak pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang termasuk pula kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan pemerkosaan. Dan terakhir, politikus yang terlibat dalam bisinis dan atau sebagai pengguna narkoba.

Untuk itu, kita perlu melakukan penelusuran terhadap riwayat dan aktivitas para politisi (politician tracking). Caranya, antara lain dengan melakukan investigasi, serta mengumpulkan dokumen-dokumen pendukung. Kemudian, hasil temuan ini dianalisa untuk memastikan si politisi adalah orang yang ?bersih?.

Langkah pertama bisa dimulai dari mencocokkan penghasilan dan kekayaan sang politisi. Jika data itu tak sesuai, bisa jadi si calon melakukan korupsi. Setelah itu, lakukan verifikasi atas temuan dan dokumen, sehingga validitas dan keabsahannya teruji. Jangan lupa, check dan recheck sangat penting, agar kita tak salah orang. Bila kesimpulannya sudah bulat, masukkan si calon ke daftar hitam.

Daftar ini bisa menjadi panduan dalam memilih kandidat. Selain membuang politisi busuk, cara ini juga membantu politisi yang lurus, sehingga ?terpromosikan?. Semoga proses pemilu yang jujur dan adil, serta penyaringan yang ketat terhadap politisi busuk bisa memuluskan jalan menuju demokrasi dan keadilan sosial. Jadi, jangan pilih politisi busuk!

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan