Jangan Pilih Orang Bermasalah dan Tidak Kredibel Sebagai Hakim Ad Hoc Tipikor!

- 53 %  calon diduga bermasalah dan 47 % diragukan kredibilitasnya -
Pernyataan Pers Koalisi Masyarakat Sipil

Pada tahun 2012 ini pihak Mahkamah Agung (MA) sedang melakukan proses seleksi terhadap calon hakim adhoc tipikor yang akan ditempatkan di sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah. Hingga per Agustus 2012, calon yang lulus seleksi administratif berjumlah 89 orang, dan selanjutnya akan mengikuti proses seleksi profile assesment dan wawancara untuk dipilih menjadi menjadi hakim adhoc. Saat ini kebutuhan hakim adhoc di seluruh Indonesia mencapai sedikitnya 80 orang (Majalah Tempo: 10 September 2012).

Secara umum calon hakim adhoc didominasi oleh advokat/konsultan hukum, kemudian disusul oleh Panitera/Pegawai Pengadilan, PNS dan Akademisi. Dari sekitar 50 orang calon hakim ad hoc tipikor tingkat Pertama, komposisi profesi dari pendaftar  didominasi oleh yang berlatar belakang Advokat/konsultan hukum sebanyak 32 orang (64%), disusul oleh Panitera 6 orang (12%), PNS 5 orang (10%), Dosen 2 orang (4%), Pensiunan PNS 2 orang (4%), LSM & swasta 3 orang (6%). Kemudian dari sisi Usia, tercatat yang berusia 40-45 tahun berjumlah 20 orang (40%),  46-50 tahun sebanyak 22 orang (44%) dan diatas 51 tahun sebanyak 8 orang (40%).

Sedangkan dari sekitar 39 orang calon hakim ad hoc tipikor tingkat banding, komposisi profesi dari pendaftar berasal dari kalangan advokat sebanyak 13 orang (33%), Panitera 9 orang (23%), PNS 5 orang (13%), Dosen 6 orang (15%), PNS/purnawirawan 5 orang (13%), dan LSM/swasta 1 orang (3%). Kemudian yang berusia 40-45 tahun berjumlah 10 orang (26), 46-50 sebanyak 12 orang (31%), dan diatas 51 tahun sebanyak 17 orang (43%).

Hingga proses berjalan, publik sendiri tidak mengetahui kriteria seperti apa yang dibutuhkan oleh MA untuk mendapatkan hakim adhoc tipikor yang ideal (parameter yang jelas tentang kebutuhan hakim ad-hoc tersebut). Berangkat dari kerancuan kerangka berpikir demikian, yang pasti: publik tentu saja berharap seleksi hakim ad hoc tipikor gelombang kedua yang dilakukan oleh MA ini menghasilkan para pengadil yang berintegritas dan berkualitas. Berdasarkan hasil seleksi gelombang pertama lalu, cukup sudah publik terkecoh oleh seleksi hakim ad hoc yang ternyata menghasilkan beberapa orang koruptor!

Kriteria Calon Hakim Adhoc Tipikor versi Masyarakat Sipil
Berdasarkan Pasal 12 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, disebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;
f. tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i.melaporkan harta kekayaannya;
j .bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan
k. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.

Diluar kriteria berdasarkan UU Pengadilan Tipikor, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ILR, ICW dan MaPPI-FHUI menemukan beberapa kriteria yang seharusnya dicermati oleh MA dalam menyaring para hakim ad hoc tipikor ke depan. Kriteria yang dimaksud antara lain:

1. Administrasi.
Mempunyai pengalaman 15 tahun di bidang hukum. Syarat ini merupakan syarat yang mengikat bagi MA, karena UU No. 46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan bahwa calon hakim ad hoc tipikor harus berpengalaman 15 tahun di bidang hukum

ð  bukan 15 tahun setelah menjadi sarjana hukum; karena beberapa calon hakim ditemukan bahwa calon hakim menjalani pekerjaan tidak konsisten pada satu profesi tertentu selama 15 tahun tersebut (misalnya : Dosen, Advokat, Jaksa, dll)

2. Integritas.
Tidak pernah dilaporkan bermasalah atau bersengketa dan tidak melakukan tindakan suap atau korupsi dalam menangani suatu perkara. Dalam hal ini penting pula dicermati pembela hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi, apakah mereka juga melakukan tindakan koruptif untuk membela kliennya? Hal ini yang penting untuk ditelusuri. Poin ini penting untuk ditekankan sebagai bentuk komitmen moral dari para calon hakim ad hoc.

3.Kualitas.
Mempunyai kompetensi yang di atas rata-rata dan relevan dengan posisi sekarang (calon hakim ad hoc tipikor);

4. Independensi.
Tidak pernah menjadi pengurus dan anggota partai politik 10 tahun terakhir. Hal ini penting untuk mengeliminir kemungkinan pengadilan korupsi dibajak oleh partai politik tertentu. Karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa salah satu permasalahan yang kita temui, korupsi politik yang terjadi di daerah secara kuantitas makin meningkat. Untuk itu perlu calon-calon hakim tipikor yang benar-benar bebas dan imparsial dari kepentingan politik partai politik tertentu.

5. Orientasi dan komitmen pemberantasan korupsi.
Calon mendaftar karena ingin berjuang terlibat aktif dalam pemberantasan korupsi dan bukan job seeker (calon yang pernah melamar dalam beberapa seleksi jabatan publik dan gagal, atau motif pribadi tertentu yang tidak sejalan dengan upaya pemberantasana korupsi);

6. Usia Masih Produktif.
Faktor usia tidak dapat dipungkiri punya pengaruh bagi upaya kualitas dan produktifiktas seseorang. Berdasarkan usia pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu 56 tahun, maka harus dipilih calon –calon yang dinilai masuk usia produktif kerja dan sekaligus menghindari hakim adhoc tipikor diisi oleh para masa pensiun .

Hasil Penelusuran Rekam Jejak Calon Hakim Adhoc Tipikor
Untuk memberikan masukan kepada Pansel, Koalisi Masyarakat sipil yang terdiri dari ICW, MaPPI-FHUI, dan ILR melakukan penelusuran rekam jejak terhadap 89 orang calon Hakim adhoc Tipikor ditingkat pertama dan banding. Selain di Jakarta, kegiatan penelusuran juga dilakukan dengan dukungan anggota Koalisi di Semarang (KP2KKN), Padang (LBH Padang dan PUSAKO), Riau (Jikalahari) dan Banten (Masyarakat Transparansi Banten). Metode yang digunakan adalah investigasi, obeservasi studi dokumen/CV, penelusuran melalui media dan proses wawancara. Karena alasan waktu yang terbatas, sumber daya dan lokasi tidak semua metode tersebut digunakan untuk seluruh calon hakim ad hoc tipikor.

Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan berdasarkan hasil penelusuran, Koalisi Masyarakat Sipil kemudian menemukan 47 orang (53 persen) dari 89 calon hakim adhoc tipikor diduga bermasalah. Secara terperinci temuan Koalisi menemukan  antara lain:



Temuan


Jumlah


Pernah
menjadi kuasa hukum tersangka/terdakwa kasus korupsi.


7


Tidak
memiliki orientasi yang jelas/Pencari kerja/peruntungan. Pernah mengikuti
proses seleksi calon hakim adhoc tipikor sebelumnya (2010 /2011). Atau
seleksi pejabat publik lainnya seperti  calon pimpinan KPK, Komisi
Kejaksaan, BPK, KPU, dan Pengadilan Pajak.


14


Masih
aktif dalam partai politik (baik sebagai pengurus/mantan anggota DPRD/calon
anggota legislatif dari partai)


5


Belum
memenuhi syarat administratif, pengalaman di bidang hukum yang kurang dari 15
tahun.


6


sedang menjadi pihak yang
sedang bersengketa.


1


Berusia
lanjut (diatas 54 tahun)


14


Total


47*

Sedangkan selebihnya 42 orang atau 47 persen diragukan kredibilitasnya. Keraguan ini ini didasarkan pertimbangan bahwa calon sementara ini tidak ditemukan catatan buruk dan juga tidak ditemukan kontribusi yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari seluruh calon yang ada, tidak ada satupun yang direkomendasikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil.

Berdasarkan hal itu maka kami meminta MA selaku panitia Seleksi:

  1. Tidak memaksakan diri untuk memenuhi kouta kebutuhan hakim adhoc saat ini (80 orang) dengan memasukkan calon yang diragukan maupun diduga bermasalah sebagai hakim adhoc tipikor.
  2. Memperdalam dan memaksimalkan hasil penelusuran rekam jejak yang dilakukan oleh masyarakat sipil maupun Komisi Yudisial, dalam proses seleksi profile assesment, wawancara atau jika diperlukan MA dapat dilakukan investigasi tambahan untuk mendapatkan hakim-hakim adhoc tipikor terbaik.
  3. Mencoret calon-calon yang diragukan (baik karena aspek administratif, integritas maupun kualitas, indepedensi, orientasi atau komitmen yang jelas dalam pemberantasan korupsi). Bahkan dalam kondisi yang sangat khusus, MA sebaiknya mencoret semua calon hakim adhoc tipikor yang jika menurut MA calon-calon tersebut dianggap meragukan. Hal ini penting agar tidak terjadi lagi hakim tipikor yang ditangkap oleh penegak hukum atau munculnya putusan-putusan yang dinilai kontroversial.

Jakarta, 17 September 2012

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi


Temuan


Jumlah


Pernah
menjadi kuasa hukum tersangka/terdakwa kasus korupsi.


7


Tidak
memiliki orientasi yang jelas/Pencari kerja/peruntungan. Pernah mengikuti
proses seleksi calon hakim adhoc tipikor sebelumnya (2010 /2011). Atau
seleksi pejabat publik lainnya seperti  calon pimpinan KPK, Komisi
Kejaksaan, BPK, KPU, dan Pengadilan Pajak.


14


Masih
aktif dalam partai politik (baik sebagai pengurus/mantan anggota DPRD/calon
anggota legislatif dari partai)


5


Belum
memenuhi syarat administratif, pengalaman di bidang hukum yang kurang dari 15
tahun.


6


sedang menjadi pihak yang
sedang bersengketa.


1


Berusia
lanjut (diatas 54 tahun)


14


Total


47*

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan