JANGAN PILIH CALON HAKIM AD HOC TIPIKOR BERMASALAH!
- Hanya ada 3 calon yang dinilai layak menjadi Hakim Ad Hoc Tipikor -
Mahkamah Agung (MA) pada penghujung tahun 2016 ini melakukan proses seleksi terhadap calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Hakim Adhoc Tipikor). Proses seleksi calon hakim adhoc tipikor 2016 perlu dikawal karena Pengadilan Tipikor saat ini mendapat banyak sorotan dari publik. Hingga kini sudah ada 7 hakim tipikor yang tersandung perkara korupsi. Institusi Pengadilan juga dinilai belum memberikan efek jera terhadap koruptor karena rerata vonis untuk terdakwa korupsi hanya 2 tahun 2 bulan penjara.
Proses seleksi dilakukan karena alasan beberapa Pengadilan Tipikor di Indonesia masih kekurangan Hakim Ad Hoc Tipikor untuk memerika dan mengadili perkara korupsi. Proses seleksi calon Hakim Ad Hoc dilakukan oleh MA dan diketuai oleh Artidjo Alkostar. Direncanakan pada 10 -13 Oktober 2016 akan melakukan tahapan seleksi profile assesment dan wawancara terhadap 85 orang calon hakim ad hoc Tipikor pada tingkat pertama dan banding.
Agar MA tidak salah memilih hakim adhoc dan sekaligus menyelamatkan Pengadilan Tipikor, Koalisi Pemantau Peradilan melakukan penelusuran rekam jejak (tracking) terhadap 85 orang calon hakim Ad Hoc Tipikor yang akan mengikuti proses seleksi profile assessment dan wawancara. Dari 85 calon, saat ini Koalisi telah menyelesaikan proses penelusuran terhadap 58 calon Hakim Ad Hoc. Selebihnya atau 27 calon masih dalam penelusuran.
Dalam melihat kelayakan calon, Koalisi Pemantau Peradilan melihat pada 4 Indikator utama yaitu administratif, integritas, kompetensi, dan independensi dari calon hakim adhoc tipikor:
1. Administrasi. Mempunyai pengalaman 15 tahun di bidang hukum. Syarat ini merupakan syarat yang mengikat bagi MA, karena UU No. 46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan bahwa calon hakim ad hoc tipikor harus berpengalaman 15 tahun di bidang hukum (bukan 15 tahun setelah menjadi sarjana hukum);
2. Integritas. Tidak pernah dilaporkan bermasalah atau bersengketa dan tidak pernah menjadi pembela hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi. Poin ini penting untuk ditekankan sebagai bentuk komitmen moral dari para calon hakim ad hoc.
3. Kualitas atau kompetensi. Terdiri dari dua poin yaitu: a) mempunyai kompetensi yang relevan dengan posisi sekarang (calon hakim ad hoc tipikor); b) Bukan termasuk kategori job seeker (bukan calon yang pernah melamar dalam beberapa seleksi jabatan publik dan gagal);
4. Independensi. Tidak pernah menjadi pengurus partai politik dalam 10 tahun terakhir. Hal ini penting utk mengeliminir kemungkinan pengadilan korupsi dibajak oleh partai politik tertentu. Karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa salah satu permasalahan yang kita temui di daerah, korupsi politik yang terjadi di daerah secara kuantitas makin meningkat. Untuk itu perlu calon-calon hakim tipikor yang benar-benar bebas dan imparsial dari kepentingan politik partai politik tertentu.
Berdasarkan empat indikator tersebut, Koalisi kemudian melakukan membuat tiga kategori hasil penilaian bagi calon hakim adhoc tipikor yaitu Merah, Kuning, dan Hijau. Masuk kategori Stabilo merah apabila calon ditemukan adanya masalah administrasi, integritas, kualitas, atau independensi. Kategori kuning apabila calon sementara ini tidak ditemukan masalah soal administrasi, integritas, kualitas, atau independensi namun perlu diperdalam lagi oleh Pansel dalam proses wawancara. Terakhir adalah kategori hijau yang artinya calon dinilai layak menjadi hakim tipikor karena dinilai memenuhi kriteria administrasi, integritas, kualitas, dan independensi.
Dari catatan sementara Koalisi, dari 58 calon sebanyak 49 orang masuk kategori merah. Selain itu terdapat 6 calon masuk kategori kuning, dan hanya ada 3 calon yang berkategori hijau atau dinilai layak menjadi hakim tipikor. Selebihnya 27 orang belum teridentifikasikan.
Dari asepek integritas berdasar temuan hasil penelusuran, latar belakang profesi advokat menjadi profesi terbanyak. Namun sejauh ini tidak ditemukan prestasi yang menonjol. Hampir tidak pernah menangani perkara yang menarik perhatian publik (high profile). Selain itu masih ditemukan advokat yang pernah membela kasus korupsi. Temuan lain yang menarik adalah tercatat calon yang terindikasi merupakan “pencari kerja”. Indikasi ini dilihat dari adanya calon yang pernah mengikuti beberapa seleksi calon pejabat publik, atau sedang tahap persiapan pensiunan atau bahkan telah pensiun. Ada pula calon hakim adhoc tipikor yang sebelumnya merupakan hakim karir yang telah dipecat karena terbukti melakukan perselingkuhan. Selain itu masih banyak calon yang merupakan hakim ad hoc PHI yang tidak melaporkan LHKPN saat menjadi hakim.
Dari aspek kompetensi, sayangnya masih ditemukan sebagian calon yang berhasil diwawancara atau ditelusuri tak memahami isu korupsi maupun pencucian uang secara baik. Bahkan calon tak tahu jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001. Calon juga tak menguasai persoalan teknis tentang pidana tambahan berupa uang pengganti atau pidana tambahan lain seperti pencabutan hak politik. Calon tak dapat menjelaskan soal kewenangan KPK melakukan penuntutan pencucian uang. Muncul juga gejala adanya perpindahan hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial berupaya menjadi hakim Adhoc Tipikor.
Independensi, dari hasil penelusuran masih didapati calon yang berafiliasi dengan partai politik bahkan tercatatat masih aktif sebagai anggota partai politik dan pernah menjadi anggota DPRD atau mendaftarkan menjadi calon anggota DPRD. Ini tentu akan menggaggu calon jika terpilih sebagai hakim. Independensi calon akan diragukan oleh publik. Sedikitnya ada 7 calon yang berafiliasi dengan partai politik.
Berdasarkan uraian tersebut maka kami meminta Panitia Seleksi Calon Hakim Adhoc Tipikor dan MA untuk:
1. melakukan proses seleksi yang ketat dan tidak berkompromi (mengkatrol) terhadap calon-calon yang bermasalah hanya untuk memenuhi kekurangan hakim adhoc tipikor.
2. tidak meloloskan calon hakim ad hoc tipikor yang berstabilo merah atau tidak memenuhi kriteria administrasi, integritas, kompetensi dan independensi.
Jakarta, 10 Oktober 2016
Koalisi Pemantau Peradilan
Indonesia Corruption Watch - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) FH UI
Cp. Aradila Caesar (ICW) Hp 081318648406 , M. Rizaldi (MAPPI) Hp 085781207042