Jangan Parkir Uang Korupsi; Berpotensi Gelapkan Uang Negara

Kejaksaan seharusnya tidak boleh memarkir uang sitaan korupsi dan uang pengganti di dalam rekening giro atas nama kejaksaan. Penempatan uang bukan miliknya ke dalam kas kejaksaan bisa menimbulkan potensi penggelapan uang hasil korupsi.

Hal ini diungkapkan oleh pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji; Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan; dan Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismet Hasan Putro, Minggu (19/8).

Otto mendesak agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera melakukan audit investigatif terhadap uang sitaan korupsi, uang pengganti korupsi, dan semua rekening kejaksaan. Audit itu tidak cuma yang ada di Kejaksaan Agung, tetapi juga di seluruh kejaksaan negeri maupun kejaksaan tinggi di Indonesia.

Pemberantasan korupsi dimaksudkan tidak hanya menahan orang, tetapi juga mengembalikan kerugian negara. Akan tetapi, kalau situasinya uang hasil korupsi itu malah tidak jelas pengelolaannya, sia-sia saja pemberantasan korupsi selama ini, kata Otto.

Indriyanto mengatakan, sebenarnya kejaksaan cukup memblokir rekening tersangka atau terdakwa perkara korupsi, tidak perlu memindahkan ke rekening lain. Kalaupun memang ingin memindahkan, ya seharusnya ditempatkan di escrow account atau rekening penampung saja yang tanpa bunga. Kalau ditempatkan di rekening kejaksaan, apalagi ada bunganya, sebenarnya tidak bisa karena itu bukan hak kejaksaan, ungkapnya.

Indriyanto melanjutkan, jika ditaruh di rekening penampung, para terdakwa korupsi yang telah dinyatakan bebas biasanya kesulitan untuk memperoleh kembali uang yang ditaruh di rekening penampung itu. Pengawasan terhadap rekening itu bagaimana? Pasti sulit sekali melakukan pengawasan, apalagi pengawasan dilakukan sendiri oleh kejaksaan, tidak ada pihak lain yang tahu, katanya.

Langkah kejaksaan menempatkan uang seperti itu dengan ketidakjelasan pengelolaan bunga bisa menimbulkan potensi penggelapan uang negara. Penggelapan uang negara ini diatur di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Ismet meminta Jaksa Agung Hendarman Supandji bekerja sama dengan BPK untuk memulai era transparansi atas pengelolaan uang hasil korupsi ini.

Jaksa Agung harus melakukan pembenahan di tingkat internal. Dia harus memeriksa petinggi- petinggi kejaksaan yang terlibat dan harus berani memecat jaksa yang telah mengorupsi hasil korupsi, kata Ismet.

Ismet juga meminta DPR tidak diam saja menyaksikan peristiwa ini. DPR seharusnya memanggil Jaksa Agung untuk meminta pertanggungjawaban atas pengelolaan uang hasil korupsi.

Di negara-negara maju, seperti Jerman, Perancis, Korea, maupun Jepang, dana yang telah diselamatkan dari hasil korupsi ini bisa diakses publik. Ada pertanggungjawabkan atas pokok maupun bunganya. Di Indonesia justru terkesan ada pingpong rekening keuangan, ujarnya. (VIN)

Sumber: Kompas, 20 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan