Jangan Lindungi Terpidana Korupsi

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari YLBHI, ICW, Kontras, Transparency International Indonesia, LEiP dan MTI menyatakan dukungan penuh pada Kejaksaan untuk mengeksekusi terpidana kasus korupsi Susno Duadji di Jakarta (25/4). Demi tegaknya hukum, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kejaksaan untuk segera mengeksekusi ulang Susno.

Koalisi juga menuntut Presiden SBY menegur keras Kapolri, atas sikap Polda Jabar yang terkesan melindungi Susno dari upaya eksekusi.

Tama S. Langkun, peneliti ICW, menegaskan bahwa kondisi ini tak dapat dibiarkan. “Kejaksaan harus tegas dan tidak boleh mundur. Pembiaran ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Siapapun yang terbukti secara materiil telah terbukti melakukan korupsi dan seharusnya dihukum, bisa saja menolak eksekusi dengan melakukan cara serupa. Ini bencana bagi pemberantasan korupsi,” tegas Tama.

Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah gagal mengeksekusi Mantan Kabareskrim Komjen Pol (Purn.) Susno Duadji pada 24 April 2013 lalu. Susno menolak dieksekusi dan menggencarkan semua perlawanan. Mulai dari membangun argumentasi hukum yang mengada-ada, berlindung dibalik partai politik, sampai menggunakan tangan institusi kepolisian.

Kuasa hukum Susno menyatakan bahwa perintah eksekusi tidak dicantumkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ini menjadi argumentasi utama kuasa hukum Susno untuk mengaburkan substansi materiil putusan, sekaligus menolak perintah eksekusi Kejaksaan.

Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012, terkait pengujian pasal 197 ayat 1 huruf K dan ayat 2 KUHAP yang diajukan oleh Parlin Riduansyah harusnya mengakhiri perdebatan bisa atau tidaknya Susno dieksekusi.
Tama mengatakan, “Dalam pertimbangannya, Hakim Konsitusi jelas-jelas mengutamakan aspek materil dalam setiap penghukuman kepada pelaku tindak pidana. Ketiadaan perintah penahanan tidak mengeliminir sebuah vonis yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.”

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi menjatuhi Susno Duadji pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar 200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan 4 bulan. Pengadilan Tinggi juga menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 4.208.898.749 (mengubah putusan putusan PN yang menetapkan uang pengganti 4.000.000.000).

Kemudian, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Susno Duadji sama-sama melakukan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) atas putusan Pengadilan Tinggi. Hasilnya, MA menolak permohonan keduanya.

Penolakan kasasi MA terhadap keduanya bukan berarti dapat dimaknai sebagai tidak adanya kepastian hukum untuk perkara Susno. “Ini keliru dan sesat. Penolakan kasasi oleh MA justru dapat dimaknai bahwa Kejaksaan harus melaksanakan Putusan Pengadilan Tinggi,” ujar Tama.

Keberadaan Yusril Ihza Mahendra dalam konteks eksekusi juga menjadi pertanyaan. Padahal, Yusril bukanlah kuasa hukum Susno. “Pendapat Yusril dalam kasus ini tidaklah objektif, karena kapasitas Yusril sebagai Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengusung Susno Duadji sebagai bakal caleg DPR,” tukas Direktur YLBHI Alvon Palma.

Kepolisian, di sisi lain, menunjukkan sikap memalukan dengan upaya yang terkesan melindungi terpidana korupsi dari eksekusi. Kepolisian kembali merusak citranya. Langkah ini justru bisa dikategorikan menghalang-halangi proses penegakan hukum, dan juga kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi.

“Wibawa penegakan hukum pemerintah terletak pada Kepolisian dan Kejaksaan. Maka, sudah seharusnya Presiden turun tangan dan mendukung Kejaksaan yang menurut penilaian kami telah benar-benar melakukan penegakan hukum,” tukas Alvon.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan