Jangan Lagi Sekadar Memberi Cek Kosong

STATUS terdakwa saat ini disandang mantan Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan Adjis Saip dan mantan Sekretaris DPRD Abdul Shobur dalam kasus penyelewengan dana operasional DPRD senilai Rp 7,5 miliar. Pencairan dana bahkan dilakukan sebelum penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana itu dibagikan kepada 74 anggota dewan segera setelah rapat paripurna penetapan APBD, Januari 2003.

UANG sejumlah Rp 7,5 miliar hanyalah pencairan tahap pertama. Dana operasional yang dicantumkan dalam APBD Sumsel tahun 2003 itu bernilai lebih dari Rp 12 miliar. Masalahnya, dana yang dibagikan kepada tiap anggota DPRD senilai Rp 100 juta itu nyata-nyata diakui pemimpin DPRD bebas digunakan bagi keperluan pribadi anggota dewan.

Artinya, penggunaan dana itu menyeleweng dari peruntukan yang ditetapkan negara. Masyarakat di daerah ini pun terguncang. Anggota DPRD dipandang tidak patut mencatut berbagai uang ekstra di luar segala pembiayaan anggota dewan yang ketika itu masih disusun mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 mengenai keuangan daerah.

Dalam sidang perkara penyelewengan dana operasional itu di Pengadilan Negeri Palembang awal Maret lalu, hakim menanyakan kepada Wakil Ketua DPRD Sumsel Natsir Djakfar yang diperiksa sebagai saksi, mengapa para anggota dewan akhirnya mengembalikan uang yang mereka terima kepada kas daerah. Uang itu, menurut Natsir, dikembalikan karena gencarnya unjuk rasa dan tuntutan masyarakat. Meskipun dari segi kepatutan uang itu sebenarnya tidak ada masalah, begitu ditambahkan pemimpin DPRD Sumsel ini (Kompas, 3/3).

Kepatutan memang dapat dimaknai jauh, bergantung sudut pandang yang digunakan. Kepatutan dalam pandangan pejabat yang menganggap rakyat sebagai kawula tentu berlawanan dengan arti kepatutan bagi masyarakat luas. Terlebih lagi, jika lebih dari 40 persen penduduk daerah ini tergolong miskin (BKKBN Sumsel, 2001).

PP Nomor 110 Tahun 2000 yang menjadi acuan penyusunan APBD ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung Oktober 2002. Akibatnya, perangkat hukum sebagai kontrol keuangan daerah yang sebelumnya sangat minim semakin terpangkas. Batas antara kesepakatan dan konspirasi antara DPRD dan pemerintah daerah semakin buram ketika kepatutan digunakan sebagai penimbang.

Direktorat Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otonomi Daerah di Departemen Dalam Negeri mencatat sebagian besar APBD mengalokasikan 70-80 persen anggaran keuangan daerah yang antara lain didapat dari dana alokasi umum hanya untuk membiayai anggaran rutin. Akibatnya, nilai APBD yang benar-benar bisa dinikmati rakyat daerah setempat melalui anggaran pembangunan hanya 20-30 persen.

Sebelum dibatalkan, PP itu juga tidak bisa disebut sebagai asas penyusunan keuangan daerah yang dipatuhi. Penelitian Dr Zudan Arif Fakhrulloh dari Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri pada APBD Provinsi DKI Jakarta tahun 2000, misalnya, menunjukkan penghasilan anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta pada tahun itu mencapai Rp 1,059 miliar per orang per tahun atau Rp 88,25 juta per bulan. Padahal, rumus dalam peraturan pemerintah itu memperkenankan maksimum setiap anggota dewan di Ibu Kota ini memperoleh hanya Rp 29,57 juta per bulan (Kompas, 9/3/2003).

IBARAT memberi cek kosong kepada pemerintah. Begitulah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Oentoro SM mengistilahkan mekanisme penyerahan kewenangan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Aturan induk otonomi daerah itu tidak cukup menjelaskan berapa besar bagian kewenangan yang mesti diberikan pemerintah pusat kepada daerah serta bagaimana kewenangan itu mesti dikelola.

Secara legal formal, tidak salah jika kewenangan dalam hal-hal tertentu yang diberikan umpamanya cuma secuil dari bongkahan besar, kata Oentoro. Sebaliknya, ketidakjelasan aturan pengelolaan dan mekanisme pengawasan juga menumbuhkan keleluasaan untuk menyalahgunakan kewenangan di tangan pemerintah daerah dan DPRD.

Oentoro meyakini kecenderungan untuk menyelewengkan kewenangan merupakan sifat yang melekat pada kewenangan itu sendiri. Hal ini menjelaskan mengapa pegawai administrasi yang bertugas memberi nomor surat dan stempel, misalnya, bisa meminta uang pelicin untuk mempercepat surat keluar. Kecenderungan yang sama mendorong pedagang di pasar tradisional memanipulasi takaran.

Penyalahgunaan wewenang juga membuktikan pengawasan tidak efektif, kata Dirjen Otonomi Daerah ini. Pihak yang seharusnya mengawasi, yakni DPRD, justru sering ikut berkolusi dengan pemerintah daerah. Tak mengherankan, anggota DPRD di negeri ini seolah berbondong-bondong diperiksa kejaksaan atau kepolisian berkaitan dengan beragam kasus penyelewengan alias korupsi.

Menurut Oentoro, desentralisasi kewenangan sering dituding sebagai pendorong makin meluasnya praktik korupsi di daerah karena dua masalah utama. Pertama, kelemahan regulasi otonomi daerah itu sendiri. Kedua, pemahaman manajemen pemerintah di kalangan birokrasi, mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah, memang masih sangat memprihatinkan.

Sebagian besar pasal dalam UU No 22/1999 menyatakan pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan pemerintah, aturan perundang- undangan lain, atau peraturan tata tertib DPRD. Pada pasal 10 UU itu disebutkan kewenangan daerah mengatur sumber daya nasional di wilayah laut ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Contoh lain, pasal 18 yang menegaskan pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.

Formulasi perundangan otonomi daerah ini melemparkan pengaturan pada peraturan lainnya, kata Oentoro. Padahal, sering kali peraturan lanjutan itu tak kunjung datang, atau kalaupun ada, semangatnya tidak sinkron dengan konsep otonomi daerah. Pola semacam ini sama artinya memberi cek kosong kepada pemerintah.

Selain penuangan ketentuan dalam regulasi, pemahaman manajemen pemerintahan yang masih sangat minim di kalangan birokrasi dari tingkat pusat, apalagi di daerah-daerah, juga problem mendasar. Pemahaman ini antara lain berkaitan dengan proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan.

Pembuatan kebijakan yang melibatkan segenap pelaku merupakan proses langka. Akibatnya, penyimpangan terus terjadi dan masyarakat yang paling sedikit dilibatkan dalam pengambilan keputusan berposisi lemah dan dirugikan.

Di tingkat pusat, menteri yang membuat keputusan juga sering tidak cukup melibatkan aparat, instansi, apalagi sektor lain yang terlibat. Akibatnya, keputusan menteri, peraturan pemerintah, bahkan aturan perundangan seakan keluar begitu saja, tidak terkoordinasi dengan memadai, kata Oentoro.

Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (PPE) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Syarif Hidayat, menilai otonomi daerah merupakan praktik besar yang diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi riil masyarakat secara komprehensif. DPRD yang diberi kewenangan lebih besar, menurut Syarif, seharusnya lebih mampu mengawasi kinerja pemerintah daerah. Namun, logika ini tidak berlaku ketika pemahaman masyarakat dan anggota DPRD tentang konsep otonomi daerah itu sendiri belum tertanam.

Penelitian PPE LIPI tentang otonomi daerah dalam perspektif lokal selama 2001-2003 di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Nusa Tenggara Barat, dan Banten menunjukkan kegamangan masyarakat dan para penyelenggara pemerintahan daerah dalam memahami konsep desentralisasi dan otonomi tersebut. Kegamangan ini berdampak pada implementasi kebijakan yang dibuat.

Pada tingkat kebijakan, misalnya, isu kemandirian keuangan digunakan untuk membuat peraturan-peraturan daerah yang mendongkrak pendapatan asli daerah walaupun merugikan masyarakat. Pajak dan retribusi daerah digenjot sebagai sumber penambahan PAD. Padahal, bagi hasil badan usaha milik daerah sebenarnya lebih berpotensi menambah pendapatan sekaligus mengembangkan perekonomian daerah.

Namun, meraih keuntungan dari badan usaha milik daerah yang berkinerja baik membutuhkan waktu dan upaya. Sementara para anggota DPRD dan pemerintah daerah bernafsu mengeruk uang dalam waktu cepat. Semakin besar PAD semakin tinggi standar penggajian anggota dewan. Pemerintah daerah yang semakin banyak membutuhkan uang pelicin juga makin berkepentingan mengalokasikan dana nonanggaran. Dana nonanggaran ini hanya mungkin diperoleh dari PAD.

OTONOMI daerah seharusnya menata sistem pemerintahan di daerah, sekaligus memberi ruang yang memadai bagi artikulasi masyarakat yang menentukan akuntabilitas pemerintah. Ironisnya, UU No 22/1999 tidak menyebutkan bagaimana bentuk dan mekanisme partisipasi masyarakat itu mesti dijalankan.

Perundang-undangan tentang otonomi daerah sebagai bentuk dari sistem pemerintahan sepatutnya menjadi rujukan bagi beragam fungsi pemerintahan. Karena itu, inkonsistensi perundang-undangan yang tidak disemangati otonomi perlu menjadi prioritas pembenahan. Perundang-undangan yang terkait dalam otonomi ini antara lain kehutanan, kelautan, pertambangan, investasi, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Oentoro mengemukakan revisi UU No 22/1999 antara lain akan mengupayakan adanya pengawasan bersifat preventif terhadap peraturan daerah yang berkaitan dengan anggaran dan pembebanan masyarakat. Rancangan perda tentang APBD, pajak dan retribusi daerah, serta tata ruang yang telah disepakati pemerintah daerah dan DPRD akan diperiksa tim independen atau pemerintah pada tingkat lebih tinggi sebelum disahkan.

Selama ini berlaku ketentuan melaporkan perda yang telah ditetapkan kepada pemerintah pusat sebagai bentuk verifikasi represif. Namun, verifikasi ini tidak berjalan, kata Oentoro. Peraturan yang ada hanya bersifat administratif. Padahal, dalam administrasi negara tidak terdapat kejelasan sanksi, juga tidak ada hukum acara dan kodifikasi.

Kepala daerah mendatang telah ditetapkan untuk dipilih secara langsung. Namun, Syarif mengingatkan perlu diupayakan agar pencalonan kepala daerah tidak sangat didominasi oleh partai politik. Dominasi akan tetap mengakibatkan loyalitas kepala daerah mendua antara parpol dan rakyat.

Meski demikian, secara umum Syarif meyakini loyalitas pejabat publik terhadap partai akan berkurang karena penekanan DPRD hasil sistem pemilihan baru yang relatif lebih dikenal masyarakat. Di sisi lain, parpol juga tidak bisa betul-betul menekan kepala daerah tanpa pertimbangan kondisi riil yang menentukan opini publik.

Ketika institusi formal termasuk parpol tidak dapat diandalkan untuk menjalankan pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah dan DPRD, penyelewengan kewenangan mesti dilawan dengan pengorganisasian opini publik. Desakan agar para penegak hukum tidak terus melalaikan harkat dan tanggung jawabnya tidak boleh surut.

Seperti diingatkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif, Indonesia tidak dapat terus bertahan dengan korupsi di semua level seperti saat ini. Jika terus begini, negeri kita bisa-bisa berakhir masuk museum.... (Nur Hidayati)

Sumber: Fokus Kompas, 12 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan