Jangan Cari Kekayaan Di DPR
Wakil rakyat, seharusnya merakyat. Itulah kutipan dari sindiran lagu Iwan Fals kepada DPR di era Orde Baru. Barangkali itu masih sangat relevan untuk kondisi sekarang yang justru di era reformasi.
Mental anggota DPR yang elitis, tidak memihak rakyat, berorientasi mencari keuntungan, kekayaan, dan sejenisnya ditampakkan oleh perilaku anggota DPR sebagai wakil rakyat yang memegang amanat rakyat. Bahkan, kesan bahwa jika mau kaya, jadilah anggota DPR akan menjadi kenyataan.
Hal itu tampak pada rencana DPR melalui Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk menaikkan tunjangan. Tidak tanggung-tanggung, tunjangan operasional itu sebesar 25 juta. Berarti, total gaji anggota DPR yang sekarang Rp 15 juta akan menjadi Rp 40 jutaan.
Lagi-lagi DPR terkesan hanya mementingkan urusan gaji, penghasilan, serta perut. Itu jelas-jelas menyalahi tugas utama DPR sebagai wakil rakyat. DPR benar-benar buta dengan kondisi rakyat yang mengalami kesulitan dan kesusahan akibat rentetan bencana alam, krisis BBM, dan sebagainya. Bahkan, kasus busung lapar, muntaber, pengangguran, dan polio masih tergambar jelas di depan mata kita.
Bila dilihat dari kondisi ekonomi orang-orang di DPR, mereka adalah orang yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas. Sejak pencalonan mereka sebagai anggota legislatif, sudah banyak uang yang mereka korbankan agar dapat terpilih sebagai anggota DPR.
Jika tidak, mustahil mereka bisa terpilih menjadi anggota legislatif yang mereka dambakan. Entah semangat apa yang mendorong mereka menjadi anggota DPR.
Apakah semangat mencari jabatan dan kekayaan?
Ataukah, semangat menjalankan amanat sebagai
wakil rakyat? Jawabannya bisa kita lihat pada realitas perilaku mereka saat ini.
Showroom Mobil
Jika menengok ke pelataran parkir basement gedung
DPR RI Nusantara I, akan tampak tempat parkir seperti showroom mobil saja. Berjajar berbagai mobil jenis built up sampai mobil-mobil baru lain yang ditunggui para sopirnya. Seperti BMW, Mercy, Opel Blazer, Carnival, dan lain-lain.
Sementara itu, kinerja DPR secara objektif selama ini tidak menunjukkan perilaku positif di mata rakyat. Pemandangan negatif itu, antara lain, perkelahian fisik antaranggota dewan, sering absen pada waktu rapat, tidur di tempat, dan tidak serius pada saat rapat, serta berwisata ke luar negeri (walau dibungkus dengan studi banding).
Yang lebih parah, anggota DPR mendapat julukan dari masyarakat dengan 4 D, yakni datang, duduk, diam, dapat duit. Sungguh sebuah perilaku yang sangat memalukan.
Jika ditelusuri lebih lanjut, kita pasti berdecak kagum terhadap berbagai fasilitas dan gaji yang diterima anggota dewan. Sebagai gambaran, dari keterangan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR dan beberapa anggota DPR, setiap bulan anggota dewan memperoleh gaji pokok Rp 9,7 juta.
Selain itu, mereka masih mendapat fasilitas perumahan plus tunjangan listrik, telepon, dan PAM Rp 2 juta per bulan, serta tunjangan renovasi rumah Rp 20 juta. Untuk mobilitas, ada tunjangan transportasi Rp 70 juta per tahun. Masih ada juga tunjangan komunikasi intensif Rp 3 juta per bulan atau sekitar Rp 35 juta per tahun.
Di luar gaji dan fasilitas di atas, setiap mengerjakan tugas-tugas sebagai wakil rakyat, mereka mendapat tunjangan lagi. Bayangkan saja, hanya untuk hadir dalam persidangan, ada tunjangan sidang Rp 150 ribu.
Kemudian, jika anggota dewan masuk dalam panitia khusus (pansus) membahas suatu kasus atau menyiapkan undang-undang, mereka mendapat tunjangan pansus Rp 750 ribu. Itu disediakan pihak DPR, belum dihitung berapa yang didapat dari departemen yang menjadi mitra kerjanya.
Apabila masa reses dan anggota DPR harus kembali ke daerahnya, ada tunjangan reses selama 5-8 hari sebesar Rp 150 ribu per hari plus tiket pesawat pulang pergi. Meski reses pulang ke kampung tempat daerah pemilihan, ada jatah uang hotel dengan platform Rp 1,2 juta.
Selain mendapat berbagai gaji, fasilitas, dan tunjangan yang wah, masih ada tunjangan keluarga, tunjangan kehormatan, tunjangan kunjungan kerja komisi, tunjangan kesehatan, dan tunjangan inventaris yang besarnya bervariasi. Apa tidak menggiurkan menghitung-hitung pendapatan mereka di tengah kesulitan rakyat yang diwakilinya.
Belum Puas
Kondisi tersebut belum puas dirasakan anggota DPR. Mereka masih berencana mendapatkan tunjangan operasional, dengan alasan untuk meningkatkan semangat kinerja dewan, iuran partai anggota dewan, dan operasional lainnya.
Sungguh itu bukan alasan yang tepat dan sangat bertentangan dengan kondisi rakyat yang terlilit kesulitan ekonomi yang memprihatinkan.
Seharusnya, anggota DPR benar-benar memasang nuraninya untuk menjalankan amanah sebagai wakil rakyat. Mereka harus menghentikan niatan busuk mencari kekayaan di DPR sebagai lembaga wakil rakyat yang berwibawa. Tugas mereka adalah memperjuangakan penderitaan rakyat akibat krisis dan bencana, bukan malah memperjuangkan nasib mereka sendiri dengan semena-mena.
Sebagai manusia yang memiliki hati nurani dan perasaan, anggota DPR tidak pantas menerima tunjangan operasional sebesar 25 juta tersebut. Semangat dan kinerja mereka sebagai wakil rakyat harus didorong dengan sikap amanah, bukan uang (money).
Kemudian, partai-partai politik sebagai partai rakyat juga harus melarang anggotanya menerima tunjangan operasional itu serta melarang anggotanya yang di DPR untuk memperkaya diri dengan hanya memikirkan perut dan kekayaan pribadi.
* Muh. Badrus Zaman, mahasiswa Teknik Sistem dan Pengendalian Kelautan ITS Surabaya
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 12 Juli 2005