Jangan Biarkan Koruptor Menjabat Kembali Sebagai Kepala Daerah!

Pernyataan Pers
Tim Advokasi Untuk Pemerintahan Daerah Yang Bersih

Negeri ini sudah menanggung malu karena selalu masuk golongan negara paling korup di dunia. Namun lebih memalukan, ketika pemimpin di negeri ini - khususnya di daerah - yang diharapkan dapat menjadi pelopor pemberantasan korupsi justru menjadi pelaku korupsi.

Jumlah mantan kepala daerah dan kepala daerah aktif yang terjerat dalam kasus korupsi dari waktu ke waktu terus bertambah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada rapat kerja dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah, awal Januari 2011 lalu memaparkan ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi dan 17 orang di antaranya adalah gubernur. Setiap pekan ada kepala daerah yang diproses dalam kasus korupsi.

Jumlah yang disampaikan Gamawan tidak jauh berbeda dengan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga Meret 2011 sudah 175 kepala daerah yang terdiri dari 17 gubernur dan 158 orang bupati dan walikota yang menjalani pemeriksaan dilembaga antikorupsi ini.

Jumlah keseluruhan bisa jadi lebih besar jika ditambah dengan kasus korupsi kepala daerah yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir terdapat sedikitnya 203 kepala daerah yang diperiksa dalam kasus korupsi. Baik dalam kapasitas sebagai saksi maupun tersangka. Sebagian diantaranya sudah diproses penegak hukum dan dihukum bersalah oleh pengadilan serta mendekam di penjara.

Terhadap kepala daearah yang tersangkut korupsi maka menurut ketentuan hukum yang bersangkutan diberhentian sementara ketika dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sedangkan mereka yang telah terbukti bersalah berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) maka
proses hukum selanjutnya adalah pemecatan atau pemberhentian tetap dari jabatannya sebagai kepala daerah.

Ketentuan mengenai pemberhentian sementara dan tetap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 30 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan:

(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Proses pemberhentian sementara maupun tetap kepala daerah koruptor pada umumnya tidak mengalami hambatan. Namun demikian proses pemecatan kepala daerah tidak selamanya mulus, saat ini muncul perlawaanan balik dari koruptor ketika posisinya sebagai kepala dearah dilengserkan oleh
pemerintah pusat.

Contoh perlawanan ini adalah yang dilakukan oleh Agusrin Najamuddin, mantan Gubernur Bengkulu dan terpidana kasus korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap upaya pemecatan terhadap dirinya selaku Gubernur. Pada Januari 2012 lalu Agusrin divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dan dinyatakan terbukti melakukan korupsi serta telah dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.

Proses peralihan kepala daerah/Gubernur dari Agusrin kepada penggantinya di Bengkulu gagal akibat adanya putusan sela dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sebagaimana yang
dimintakan oleh Agusrin. Dalam gugatan terhadap presiden, pihak Agusrin bersama kuasa hukumnya mendalilkan bahwa pemberhentian terhadap dirinya tidak sah. Menurutnya berdasarkan Pasal 30 UU
Pemerintahan Daerah pemberhentian hanya dapat dilakukan terhadap perkara pidana yang diancam pidana minimal 5 tahun penjara.

Penafsiran Agusrin terhadap Pasal 30 UU Pemda sangat berbahaya bagi upaya pemberantasan korupsi dan mengganggujalannya roda pemerintahan daerah. jika hal ini dibiarkan tidak saja menguntungkan Agusrin namun semua koruptor kepala daerah. Meskipun terbukti korupsi dan dihukum penjara, namun ia tidak dapat dipecat sebagai kepala daerah kerena tiada satupun ketentuan pidana dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi maupun UU lainnya yang menyebutkan ancaman pidana minimal 5 tahun.

Dalam kasus Agusrin, apabila proses pemecatan sebagai Kepala Daerah/Gubernur tersebut dinyatakan tidak sah dan muncul vonis peninjauan kembali  MA yang membebaskan dirinya, maka bukan tidak
mungkin sang koruptor akan kembali menjabat sebagai Gubernur Bengkulu. Jika sang koruptor kembali menjabat sebagai kepala daerah, hal ini bisa jadi malapetaka bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan sekaligus membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin merosot.

Untuk menghindari multitafsir yang menguntungkan bagi koruptor, maka kami dari “Tim Advokasi untuk Pemerintahan Daerah Yang Bersih” yang terdiri dari ICW,YLBHI, PUKAT UGM, dan PUSAKO Sumbar akan mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi
terkait ketentuan pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemda tentang pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah.

Kami memaknai Pasal 30 tersebut sebagai berikut: bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD. Bila putusan pengadilan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, kepala daerah/wakil kepala daerah bersangkutan diberhentikan sementara dan bila putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap diberhentikan secara permanen (tetap).

Bahwa menurut kami meskipun seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dijatuhi hukuman kurang dari 5 (lima) tahun, tetapi tindak pidana yang dilakukannya diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, yang bersangkutan tetap diberhentikan sementara (bila belum berkekuatan hukum tetap) dan diberhentikan secara permanen (bila sudah berkekuatan hukum tetap).

Dalam hal ini kami meminta Mahkamah Konstitusi dalam putusannya:

(1)     Menyatakan Pasal 30 UU ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah konstitusional sepanjang dimaknai berlaku untuk kepala daerah dan/wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, baik berdasarkan putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap maupun putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

(2)     Menyatakan makna yang terkandung dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut merupakan makna yang dimaksudkan oleh pembentuk UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sehingga sudah berlaku sejak undang-undang tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 15 Oktober 2004;

Jakarta, 23 Juli 2012
Tim Advokasi Untuk Pemerintahan Daerah Yang Bersih

Pemohon
Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M, (selaku individu, Direktur PUKATUGM), Feri Amsari, S.H., M.H., (selaku individu, Peneliti PUSAKO Sumbar) dan Indonesia Corruption Watch (diwakili oleh Danang Widoyoko)

Kuasa Hukum
Abdul Kadir W, S.H., Alvon Kurnia Palma, S.H., Andi Muttaqien, S.H., Donal Fariz, S.H. , Emerson Yuntho, S.H., Febri Diansyah, S.H., Hamami, S.H. , Iki Dulagin, S.H., M.H., Mustikal, S.H.  , Ridwan
Bakar, S.H. , Wahyu Wagiman, S.H., Wahyudi Djafar, S.H.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan