Jalan (I)Legal Korupsi
Pengalaman sejarah bangsa- bangsa di dunia—zamanpurbaataumodern— menunjukkan, kejatuhan sebuah rezim pemerintahan selalu berpangkal pada penguasa despotik,baik otoriter maupun demokratis, yang sarat praktik korupsi dan aneka bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Korupsi menjadi anatema bagi ketahanan sebuah kekuasaan politik. Korupsi merupakan kendala utama bagi sebuah bangsa untuk bergerak mencapai kemajuan dalam upaya menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi karena (1) menyebabkan inefisiensi dalam proses produksi; (2) menciptakan kegiatan ekonomi berbiaya tinggi sehingga tidak kompetitif; (3) memarjinalisasi kaum buruh sebagai kekuatan produksi sangat vital, namun berada dalam posisi paling lemah.
Tak pelak, korupsi menggerus nilai-nilai kebajikan publik,melemahkan etos kerja produktif,dan melemahkan kohesi masyarakat yang berujung pada ketidakpercayaan publik pada otoritas pemerintahan,sehingga dapat meruntuhkan sendi-sendi bangunan bernegara. Negara berada dalam ancaman serius ketika korupsi dibiarkan merajalela dan penguasa negara menjalankan kekuasaan tanpa kontrol, bahkan bersekongkol untuk melakukan tindakan ilegal.
Saksikan, praktik korupsi menjadi amat kompleks ketika menyangkut pejabat tinggi negara, tokoh politik, parpol, dan pengusaha dalam suatu jalinan bisnis politik berburu rente.Sungguh,korupsi seringkali merupakan bagian dari transaksi ekonomi politik yang dilakukan melalui kontrak terselubung antara pemegang kekuasaan, elite parpol, dan pebisnis seperti telah terlihat dalam aneka skandal besar: pemilihan Deputi Gubernur BI dan bailoutBank Century.
Negara Kleptokrasi
Korupsi politik selalu melibatkan dan berlangsung di institusi pemerintahan negara. Para aktor negara menggunakan mekanisme resmi dalam administrasi pemerintahan dan memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan tindakan ilegal. Mereka bahkan dengan sangat canggih memanipulasi instrumen hukum untuk melindungi tindakan ilegal yang dilakukan melalui mekanisme formal dan legal dalam struktur pemerintahan negara.
Pola demikian merupakan fenomena klasik yang sudah muncul di abad-abad lampau dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Karena itu, Frederic Bastiat,ekonom dan pengarang ter-pandang Prancis, dua abad silam telah mengingatkan: “When plunder becomes a way of life for a group of men living together in society,they create for themselves in the course of time a legal system that authorizes it and a moral code that glorifies it.” Bila lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi.
Istilah kleptokrasi menjadi populer setelah digunakan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang melukiskan: A ruler or top official whose primary goal is personal enrichment and who possesses the power to gain private fortunes while holding public office. Maka, kleptocratic government merujuk pada suatu pemerintahan yang sarat dengan praktik korupsi dan penggunaan kekuasaan, yang bertujuan mencari untung secara tidak halal—the use of public powers for illegal rent seeking.
Aktor Korupsi
Ada empat aktor kunci dalam negara kleptokrasi: (i) pejabat negara; (ii) aparatus birokrasi; (iii) anggota parlemen; dan (iv) sektor swasta, pelaku bisnis. Relasi kuasa di antara keempat aktor tersebut menggunakan pola hubungan patronclientage dengan komitmen tunggal: memberi keuntungan mutualistik. Para aktor dalam negara kleptokrasi melakukan korupsi politik secara terorganisasi dan berjenjang, yang lazim disebut organized corruption in hierarchies.
Praktik korupsi yang melembaga secara berjenjang ini dilukiskan oleh Rose-Ackerman: “As high ranking officials cover up lower-level corruption in exchange for bribes,corruption at high levels of a government administration feeds on lower-level corruption, while at the same time shielding it,and each level is encouraged by the other” (lihat Corruption and Government, Cambridge,1999). Praktik korupsi terorganisasi dan berjenjang ini menggunakan dua pola: buttom-up dan top-down.
Yang pertama, aparatur pemerintahan negara pada level bawah memberikan upeti sebagai bentuk suap dan membaginya dengan pejabat di atasnya dengan kompensasi mendapat promosi jabatan atau perlindungan politik.Yang kedua, korupsi dilakukan oleh pejabat pada level atas dan membaginya dengan anak buah yang loyal dengan maksud agar mereka menutupi praktik tercela itu.Kedua pola ini membentuk struktur piramida berjenjang, yang masing-masing lapisannya berkepentingan untuksaling menjaga,melindungi, dan menguatkan.
Aktor Non-negara
Segala bentuk praktik korupsi tentu harus diberantas. Mengingat banyak elemen dalam institusi pemerintahan negara menjadi bagian dari praktik ilegal, jangan pernah bersandar pada aktor-aktor negara yang korup untuk dapat memerangi korupsi yang sudah menjadi gurita.KPK yang menjadi tumpuan dalam memberantas korupsi bahkan tidak henti didera oleh upaya pelemahan secara sistematik oleh aktoraktor korup di lembaga negara.
Tak heran, bila gerakan pemberantasan korupsi justru dipelopori oleh dan banyak bertumpu pada aktor-aktor nonnegara: LSM, ormas sosial keagamaan, kalangan kampus, dan kelompok kelas menengah terpelajar. Mereka inilah yang punya kesadaran sosial dan preferensi politik untuk memahami persoalan-persoalan kritikal negara.
Sebagai kelompok terdidik, mereka punya political credentialsyang ditopang oleh political literacy, sehingga mampu menyuarakan kritik publik dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Mereka juga punya akses yang luas ke media massa—pilar keempat demokrasi dan instrumen ampuh penggalangan opini publik— untuk memobilisasi dukungan publik dalam membendung jalan (i)legal korupsi terorganisasi. ●
AMICH ALHUMAMI, Peneliti Sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom
Tulisan ini disalin dari harian Seputar Indonesia, 16 April 2011