Jaksa Tak Bisa Ajukan PK
Penijauan Kembali oleh jaksa dinilai tidak ada dalam ketentuan hukum formil.
Dosen Hukum Pidana dan Hukum Acara dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menilai Kejaksaan tidak memiliki legal standing untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Pasalnya, dalam ketentuan hukum formil tidak diatur bahwa jaksa bisa mengajukan PK. Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak bisa memproses PK yang diajukan jaksa.
"Secara historis, jaksa pernah mengajukan PK pertama kali pada era Orde Baru dalam kasus Mochtar Pakpahan. PK jaksa tersebut tidak bisa dijadikan yurisprudensi. karena PK ada tekanan politik," kata Chairul Huda saat diskusi bertajuk "Kontroversi PK Dalam Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia" di Pressroom DPR, Kamis (9/7).
Menurut Chairul, MA mestinya tidak memproses PK jaksa karena tidak ada celah hukum pula bagi MA. "Secara hukum formil tidak memungkinkan kejaksaan mengajukan PK, maka MA tidak bisa memproses materiil PK yang diajukannya," katanya.
Ia menegaskan, dalam ketentuan yang ada, PK tidak dimungkinkan diajukan dua kali. Permasalahannya, MA kadang mengabaikan ketentuan itu. Ia menambahkan, sejarah lahirnya PK itu untuk mewujudkan keadilan. Namun keadilan ditujukan kepada warga negara atau ahli waris pencari keadilan.
Pada prinsipnya, PK itu bukan dimaksudkan kepada negara yang mencari keadilan. Justru PK itu diperuntukkan bagi warga negara yang mencari keadilan melalui PK.
Chairul mengusulkan kepada DPR segera merevisi peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan PK. Dalam revisi UU itu, kata dia, DPR mestinya mempertegas, apakah Kejagung bisa mengajukan PK ataukah melarang sama sekali Kejagung mengajukan PK.
Langkah politik DPR ini dinilainya akan memberi kepastian hukum bagi warga negara pencari keadilan sekaligus membenahi lembaga MA.
Advokat dari PERADI, Petrus Selestinus juga meminta DPR sebagai lembaga pembuat UU segera merevisi UU khususnya yang mengatur ketentuan penggunaan PK.
Ia juga menilai selama ini MA sebagai lembaga yang merusak tatanan hukum di Indonesia, khususnya inkonsistensi penggunaan PK. MA juga dinilainya telah melakukan kesewenang-wenangannya dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali pada tanggal 12 Juni 2009.
SEMA yang ditandatangani Ketua MA, Arifin Tumpa itu, kata dia, ditujukan kepada Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama. Petrus Selestinus berjanji akan menemui Ketua MA untuk meminta segera membatalkan SEMA itu.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Arbab Paproeka mengatakan dari sisi UU, ketentuan mengenai PK sudah jelas. "Yang menjadi masalah adalah ketidakkonsistenan MA dalam menjalankan Peraturan Perundang-undangan yang ada," katanya.
Menanggapi desakan kepada DPR agar merevisi UU yang mengatur ketentuan PK, menurut Arbab, Komisi III DPR sedang membahas sejumlah RUU, di antaranya revisi UU KUHAP. [by : Friederich Batari]
Sumber: Jurnal Nasional, 10 Juli 2009