Jaksa Dakwa Puteh Korupsi
Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD) non-aktif Abdullah Puteh, kemarin, mulai diadili di Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus pembelian helikopter M1-2 PLC Rostov.
Sidang berlangsung di lantai satu Gedung Upindo, Kav C No 19 Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar pukul 09.00 WIB, dipimpin Majelis Hakim Ad Hoc Tipikor Kresna Menon, dengan anggota Gusrizal, Dudu Duswara, I Made Hendra Kusuma, dan Achmad Linoh.
Agenda sidang mendengarkan dakwaan penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni jaksa madya Khaidir Ramli, jaksa madya Wisnu Baroto, dan jaksa madya Yessi Esmiralda.
Dalam surat dakwaan setebal 24 halaman yang dibacakan secara bergantian, penuntut umum menyebutkan bahwa Puteh bersama Bram HD Manoppo, Presiden Direktur PT Putra Pobiagian Mandiri (PPM) (berkas perkaranya dipisah) bersekutu melakukan serangkaian kejahatan korupsi saat pembelian helokopter MI-2 PLC Rostov sehingga negara dirugikan miliaran rupiah.
Perbuatan terdakwa dilakukan di Jakarta dan NAD sekitar Februari 2001 hingga 2004, kata penuntut umum.
Rencana terdakwa membeli helikopter tersebut bermula pada Februari-Maret 2001 saat berlangsung rapat kerja gubernur se-Sumatra di Palembang. Dalam rapat itu Bram melakukan presentasi soal rencana pembelian helikopter tersebut.
Selanjutnya pada 28 Juni 2001, terdakwa menandatangani letter of intent (LOI) nomor: 553.3/23580. LOI itu lalu dikirimkan ke Bram, kemudian fotokopinya dikirimkan ke Mil Moscow Helicopter Plant Russia. Isi LOI antara lain menyatakan bahwa Pemerintah NAD bermaksud membeli satu unit helikopter Type MI-2, VIP Cabin, versi sipil buatan tahun 2000-2001, dari pabrik MI Moscow Helicopter Plant Russia seharga Rp12,5 miliar.
Untuk membeli helikopter itu, kata penuntut umum, terdakwa meminta dana Rp700 juta kepada 13 masing-masing kabupaten/kota yang berada di NAD dengan total dana terkumpul Rp9,1 miliar. Namun, oleh terdakwa dana tersebut tidak dimasukkan dalam anggaran APBD tahun 2001 dan APBD tahun 2002, jelasnya.
Perbuatan terdakwa yang bertujuan menguntungkan diri sendiri dan bersama Bram, tutur penuntut umum, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp13,6 miliar. Kerugian ini dihitung dari jumlah pengeluaran kas oleh bendahara umum daerah.
Tetapi, terdakwa kemudian mengembalikan dana tersebut ke rekening kas daerah sebesar Rp3,6 miliar. Sehingga yang menjadi kerugian negara akibat perbuatan terdakwa adalah sebesar Rp10,087 miliar.
Menurut penuntut umum, perbuatan Puteh melanggar Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 Undang-undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah menjadi Undang-Undang No 20/2001 jo Pasal 55 ayat 1 KUHP, jo Pasal 64 ayat 1 KUHP (dakwaan primer).
Selain itu terdakwa juga dinyatakan melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 1 huruf b Undang-undang No 31/1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang No 20/2001 jo Pasal 55 ayat 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP (dakwaan subsider). Puteh terancam hukuman minimal 20 tahun penjara dan maksimal penjara seumur hidup.
Selama pembacaan dakwaan, Puteh tampak serius mendengarkan. Ia didampingi tim penasihat hukum, antara lain OC Kaligis, Juan Felix Tampubolon, dan M Assegaf. Istri Puteh, Linda Poernomo tampak hadir dalam sidang.
Tidak relevan
Usai pembacaan dakwaan, Puteh langsung menyampaikan eksepsi (tanggapan atas dakwaan). Dalam eksepsinya, Puteh menilai dakwaan penuntut umum tidak relevan karena hanya berdasarkan fakta tertulis tanpa melihat kondisi di lapangan.
Pembelian helikopter itu, katanya, dilatarbelakangi oleh perang antara Pemerintah RI dengan GAM. Ide pembelian helikopter bukan dari Gubernur NAD, tetapi dari para bupati/wali kota, jelasnya.
Selain itu, menurut Puteh, pembelian helikopter tersebut sudah diajukan ke DPRD Provinsi NAD sebanyak dua kali. Bahkan, anggaran yang dipergunakan telah dipertanggungjawabkan pada APBD 2002 dan diterima dengan sah. Saya tidak mengerti pembelian helikopter dalam rangka kelancaran tugas di daerah konflik justru dituduh untuk kepentingan pribadi, kata Puteh. Sidang dilanjutkan Rabu (29/12). (Sur/J-3)
Sumber: Media Indonesia, 28 Desember 2004